Dapatkan akses satu tahun untuk Konten Premium

Klik tombol dibawah untuk melakukan registrasi member premium dan anda dapat mengakses berbagai konten premium yang ada di website abad.id

images/images-1691643102.jpg

 

 

abad.id-Menuju kemerdekaan Indonesia penuh dengan perjuangan dan pengorbanan. Banyak perintis kemerdekaan mengorbankan segalanya demi Indonesia merdeka. Hal yang kecil sempat terlewat saat detik detik proklamasi dibacakan, ternyata kondisi sang proklamator sedang sakit. Kondisi tubuh masih gemetar dan demam akibat serangan malaria, Soekarno masih melayani kelompok pemuda yang ingin menyatakan kemerdekaan sekarang juga.

 

Menurut Adam Malik salah satu inisyiator proklamasi kemerdekaan dalam catatan Adam Malik dalam buku Mengabdi Republik, sebenarnya peristiwa Rengasdengklok tidak perlu terjadi jika para pemuda mau dengan sabar menunggu waktu kemerdekaan seperti yang dijanjikan pemerintahan militer Jepang. Namun tiba-tiba para pemuda mendengar kabar kurang baik dari Saito seorang warga Jepang yang ikut mengawasi jalannya sidang panitia kemerdekaan. Bahwa pada akhirnya Tenno Heika yang berwenang menentukan Indonesia kelak akan menjadi Republik atau Monarki kerajaan.

 

Tentu saja kaum muda menolak dan berteriak-teriak tidak terkendali. Kelompok Menteng menyatakan bukan Tenno Heika yang menentukan arah kemana perjuangan kemerdekaan Indonesia itu. namun para pemuda yang akan bergerak sekarang juga. “ Kalau pemimpn-pemimpin kita masih mau menerima ketentuan-ketentuan Jepang, mereka akan berhadapan langsung dengan pemuda,”  catatan Adam Malik dalam buku Mengabdi Republik.

 

Sejak peristiwa itu, kelompok pemuda mulai melakukan konvrokasi dengan sasaran pemimpin-pemimpin sendiri. Kelompok pemuda  juga mendatangi Sukarno yang sedang terbaring sakit agar cepat-cepat memproklamasikan kemerdekaan. Agar tidak terjebak dan lengah dengan strategi Jepang. Bahkan para pemuda tidak segan memaki pemimpin yang dianggap lamban, dengan kata-kata kasar “bodoh”.

 

Lagi-lagi pemuda mendesak Sukarno untuk memproklamasikan Bangsa Indonesia di Pegangsaan Timur 56 Jakarta. “Serarang Bung, sekarang,” kata kelompok pemuda berteriak-teriak. Tetapi Sukarno tetap menolak, malahan minta supaya kami tetap tenang dan tunggu saja komandonya,” kata Adam Malik.

 

Menurut Adam Malik, setiap pemuda berbicara menekankan pentingnya kemerdekaan sekarang dan tidak untuk besok atau lusa. Hingga tampak kejengkelan yang tidak pernah Adam Malik lupakan, antara dua orang Blitar bernama Sukarni dengan Sukarno. Dalam keadaan judeg bercampur gregetan, Sukarni berteriak dengan berbahasa jawa kepada Sukarno. Wes tah Bung, cepetan !, Opo se, sing kok doleki maneh?” (Sudahlah bung ayo cepat, apa sing yang kau cari?.

 

Meledaklah amarah Sukarno yang saat itu masih demam dengan perkataan Sukarni yang mendesak itu. lalu dia jawab “ Wes tah menengo ae Koen,” (sudahlah diam saja kamu) kata Sukarno tidak kalah gertak.

 

Adam Malik mengaku sangat mengagumi dua sosok yang dianggap  berjasa menjadi arsitek kemerdekaan. Keduanya berasal dari kota kecil Blitar, yakni Sukarno dan Sukarni. Keduanya berperawakan tampan, berbadan tegap, bersikap radikal dan berwatak sama-sama ngotot. Untuk mengejek Sukarno, menamankan Sukarni sebagai Ringleader (kepala gerombolan). Sebaliknya Sukarni yang lebih muda menamakan Sukarno Diehard (si kepala batu). “Sukarni yang lebih muda merupakan katalisator bagi Sukarno yang lebih tua untuk mempercepat tibanya kemerdekaan,” kata Adam Malik.

 

Akhirnya kelompok pemuda membubarkan diri tanpa hasil apapun. Sehari kemudian tanggal 15 Agustus 1945 ada kabar burung Jepang menyerah dari tangan sekutu. Beberapa pemuda sudah berkumpul di markas kawasan Menteng, dan sepakat untuk melakukan aksi menculik Sukarno dan Hatta. Mereka sepakat membawa Sukarno dalam kondisi sakit ini ke kawasan Rengasdengklok yang jauh dari Jakarta. Lagi-lagi proyek penculikan dipimpin Sukarni dengan bantuan anggota PETA dan disepakati tanggal 16 Agustus 1945 malam. 

 

Sementara itu dalam bukunya Biografi Sukarno 1901-1950 tulisan Lambert Giebels disebutkan,  Sukarno sangat jengkel atas kehadiran beberapa pemuda di rumahnya malam itu. Apalagi dirinya yang sedang tervaring lemah diculik di sebuah kawasan terpencil di luar Jakarta pada 16 Agustus `1945. “Saat itu bulan ramadhan, keluarga sedang menikmati sahur. Tiba-tiba ada mobil berhenti di depan rumah. Pengendara itu memerintahkan saya untuk ikut. Mereka berkata akan membawa  saya dan keluarga ke tempat yang aman karena akan ada pecah pertempuran militer PETA dan Heiho,” kata Sukarno.

 

Dengan keadaan terpaksa, kegiatan sahur harus ditunda. Sukarno tidak ingin meninggalkan Fatmawati dan Guntur yang masih bayi. Sementara mobil lain telah berhasil menjemput Hatta. Dua mobil ford meninggalkan kota lewat Jatinegara. Di dekat penjara Cipinang, mereka harus melewati pos penjagaan militer. Agar tidak menimbulkan kecurigaan militer Jepang, rombongan memakai seragam Peta. Dua jam perjalanan akhirnya telah sampai di Rengasdengklok.

 

Dari sini drama penuh ketegangan dimulai. Untuk sementara Sukarno Hatta dimasukan di sebuah ruang tunggu tanpa tahu apa agenda selanjutnya. Pemuda Sucipto bertugas mengembalikan mobil ke Jakarta dan memberitakan aksi penculikan telah berhasil. Sementara pemuda Singgih mulai membuka intervensi, apakah Sukarno bersedia mengumumkan kemerdekaan malam ini juga tanpa melibatkan Jepang. Pernyataan Singgih seperti intrograsi, sebab sebuah senapan ikut diletakan di atas meja. Bagi Sukarno aksi pemuda itu sangat tidak simpati. Di kemudian hari Sukarno bercerita kepada Ktut Tanri seorang warga Amerika Serikat yang simpati kepada Republik Indonesia, mengaku sangat jengkel. “ Pemuda itu bisa saja saya tampar kalau saya mau. Namun mereka ini anak teman-teman saya sendiri, dan saya kenal mereka sejak kecil. Singgih adalah anak Panji Singgih teman saya dalam gerakan nasional. Sedangkan Sukarni berasal satu kampung dengan saya dari Blitar, dan orang tuanya barangkali kenalan orang tua saya di Blitar,” kenang Sukarno.

 

Para pemuda semakin gelisah saat tiba-tiba Guntur menangis. Fatmawati hendak menyusuinya, namun botol susu ketinggalan di mobil. Atas desakan Fatmawati, beberapa prajurit PETA diperintah mencari susu bayi. Hatta yang tidak tahan dengan suara tangisan Guntur bermaksud menggendongnya keluar dan memangkunya. Namun yang terjadi, bayi Guntur ngompol di celana Hatta. Hatta tidak membawa baju ganti, padahal baju ini hendak dipakai sholat subuh. Beruntung Beberapa saat kemudian dua tentara PETA kembali sambil membawa susu.

 

Rupanya peristiwa di Rengasdengklok ini tidak menghasilkan sesuatu yang penting. Sukarni yang gagal memaksa Sukarno memproklamasikan Bangsa Indonesia di Rengasdengklok, bercerita ke Adam Malik bahwa Sukarno benar-benar si Kepala Batu. (pul)

Penulis : Pulung Ciptoaji

 

 

 

 

 

 

Pulung Ciptoaji

Aug 10, 2023