images/images-1666932922.jpg
Indonesiana

Refleksi Sumpah Pemuda

Author Abad

Oct 28, 2022

59 views

24 Comments

Save

Refleksi Sumpah Pemuda
 
 
Abad.id - 94 tahun lalu, 28 Oktober 1928 para generasi muda yang tergabung dalam Jong Java, Jong Soematera, Jong Ambon, Jong Selebes, Pemoeda Indonesia, Sekar Roekoen, dan organisasi-organisasi pemuda lainnya mengadakan Kongres Pemuda ke-II. Kongres Pemuda II (1928) yang diselenggarakan tanggal 27-28 Oktober 1928, keputusannya dikenal sebagai Sumpah Pemuda; yakni ikrar bersama tentang satu nusa, satu bangsa, satu bahasa Indonesia.
 
Sumpah Pemuda ini berangkat dari kesadaran bahwa kita berbeda dan beragam. Banyak suku, ras, dan bahasa. Karenanya kita perlu meneguhkan tekad untuk bersatu, yang semestinya kita perbaharui tiap tahunnya. Bukan sekedar seremonial tahunan tanpa muatan.
 
Bahwa sejak tanggal itu, 28 oktober 1928 lewat kongres Pemuda II seluruh perwakilan pemuda yang berasal dari daerah yang masih bersifat lokalisme menyuarakan serta berikrar menyatukan diri dalam satu bangsa, bahasa dan tanah air satu yakni Indonesia. Tekad dan ikhtiar kesatuan bangsa, kesatuan bahasa dan kesatuan tanah air ini menjadi awal kekuatan kaum muda untuk menyuarakan pentingnya sebuah persatuan ditengah-tengah penindasan kolonialisme. Kekuatan bangsa Indonesia dalam melawan penindasan kolonialisme saat itu adalah kekuatan persatuan. Semangat persatuan yang kokoh ini juga menegaskan bahwa tidak ada ruang bagi kolonialisme, imperialisme dalam menjarah dan mengeksploitasi bangsa Indonesia.
 
Pendiri-pendiri bangsa ini juga paham betul yang menyatukan bangsa ini adalah keinginan luhur untuk menjadi bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Sekarang, apa yang kita pahami tentang 5 hal itu? MERDEKA, BERSATU, BERDAULAT, ADIL DAN MAKMUR?
 
Realitas yang terjadi, kita memang merdeka, tetapi sudahkah menjadi tuan tanah di negeri sendiri?
 
Merdeka ternyata hanya untuk meneguhkan posisi kelas yang sama. Kesenjangan disegala bidang terjadi. Yang kaya semakin kaya. Yang miskin tetap miskin. Hanya bendera yang berganti menjadi merah-putih. Penindasan tetap berjalan dengan berganti tuan. Dan tentunya format yang disesuaikan jaman.
 
Dan seiring dengan perkembangan situasi sosial, ekonomi, politik selama 94 tahun sejak Sumpah Pemuda diikrarkan, sepertinya kini mengalami sebuah degradasi semangat dan cita-cita yang luar biasa parah. Penurunan semangat dan cita-cita ini tidak lepas dari peran kekuasaan yang tengah berkuasa serta mengabaikan perjalanan history kebangsaan. Sejak orde baru berkuasa dan membuka kran investasi seluas-luasnya menjadikan pintu masuk bagi kekuatan imperialisme untuk menjarah dan mencaplok kedaulatan bangsa ini. Regulasi pro kapital dan investasi menjadikan bangsa ini menjadi pusat untuk penyediaan bahan baku, tenaga kerja serta pasar komoditas bagi negara-negara kapitalis.
 
Dan hari-hari ini kita ribut di tempat yang salah. Bicara soal mayoritas vs minoritas padahal yang mesti kita capai adalah keadilan sosial. Kemajuan bersama karena mayoritas bangsa ini bukan Islam, tapi mayoritas adalah miskin.
 
Bercermin dari sejarah 94 tahun lalu yang berpijak pada local wisdom leluhur, para pemuda pernah berkonggres dan bersatu demi kemerdekaan, bermusyawarah untuk mufakat, demi menjadi tuan tanah yang berpijak di tanahnya sendiri. Mengapa kini bangsa ini mengalami banyak kemunduran dalam hal persatuan? Gaduh demi hal remeh temeh dan identitas yang ngga jelas, berkubu-kubu, ribut tak berkesudahan karena fanatisme pada junjungan, dan lalu melupakan kepentingan yang lebih besar untuk maju bersama.
 
Sejarah mengajarkan, perjuangan Ki Hajar Dewantara, Boedi Oetomo, Sumpah Pemuda, HOS Tjokroaminoto, Hatta, Soekarno adalah untuk mewariskan Indonesia ini untuk dibangun dengan dasar Bhineka Tunggal Ika atas dasar keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Maka tinggalkan one man one vote yang berbiaya tinggi dan membelah kohesi sosial bangsa, kembali ke demokrasi Pancasila (sila ke 4) yang mengedepankan musyawah untuk mufakat. Kembali bersatu, demi berdaulat, dan berkeadilan, serta berkemakmuran, seperti dituliskan dalam Preambule UUD 45.
 
Jadi, masihkah sumpah kita sama seperti 94 tahun lalu? (mda)
 
 
Penulis : Malika D. Ana
 
 

Artikel lainnya

Ironi Food Estate

Malika D. Ana

Feb 06, 2023

The Begandring Institute Lahir Mewarnai Peringatan Tahun Baru Imlek

Malika D. Ana

Jan 16, 2023

Penyelamatan dan Pemanfaatan Bangunan Langka di Kota Tua Surabaya

Author Abad

Nov 28, 2022

Max Meijer: Sisa Tembok Kota Surabaya Bisa Menjadi Penunjang Wisata

Author Abad

Nov 27, 2022

Guru dan Cambuk, Dia Punya Kuasa Dunia

Author Abad

Nov 24, 2022

Keris Melawan Meriam Saat Puputan Klungkung

Author Abad

Nov 12, 2022