images/images-1667728437.jpg
Budaya

Beken dan Keren Sepeda Kesayangan

Author Abad

Nov 06, 2022

68 views

24 Comments

Save

Penulis : Pulung Ciptoaji

 

abad.id-Kemarin saat masa pandemi COVID-19 melanda Indonesia, secara tiba tiba gaya hidup bersepeda mulai diminati lagi. Hampir semua kalangan mulai kembali melirik isi garasi rumah dan memperbaiki sepedanya. Mereka sadar, bahwa hanya dengan berkeringat dan terkena sinar matahari bisa mencegah munculnya serangan COVID 19.

 

Tentu ada kelompok yang diuntungkan pada masa euforia bersepeda ini. Mulai dari pabrik sepeda, toko sepeda, toko alat spare part hingga bengkel reparasi. Pilihan membawa sepeda ke bengkel menjadi alternatif pilihan, sebab daya beli terhadap barang sedang sangat rendahnya. Maka untuk sehat tidak harus membeli sepeda bukan, cukup memperbaiki barang yang mangkrak di garasi saja. Memang saat itu hanya tren musiman. Namun, tetap saja patut disyukuri.

 

Jika melihat gelombang tren serupa tahun 2012, hampir tiap minggu ada kegiatan reli sepeda dengan iming-iming hadiah doorprice. Penyelenggara instansi pemerintah yang sengaja menggalakan hidup sehat dengan bersepeda.

 

Namun ada yang membedakan tren bersepeda antara jaman kini dengan dulu era kolonial Belanda. Kini, mengayuh sepeda umumnya hanya mencari bugar dan sehat. Sangat jarang orang mengayuh sepeda untuk aktifitas seperti berangkat kerja atau berjualan keliling. Beda jauh dengan era jaman Belanda, yang menganggap sepeda punya nilai prestis sekaligus kelas sosial.

 

Achmad Sunjayadi dalam buku Pariwisata di Hindia-Belanda 1891-1942 (2019), mencatat sepeda yang dalam bahasa Belanda disebut "fiets" atau "wielrijder" (pengendara roda). Di abad ke-19, akrab disebut velocipede. Dalam perkembangannya, velocipede mulai dilupakan seiring kehadiran sepeda dengan ban karet berisi angin bernama rijwiel pada tahun 1890. Atas dasar itu, bersepeda menjadi kegemaran baru warga dunia, termasuk tanah Hindia-Belanda.

 

Sepeda atau kereta angin dalam bahas Melayu menurut The Straits Independent and Penang Chronicle (21 April 1894) diperkenalkan di Asahan, Sumatera Utara oleh seorang Eropa yang bekerja sebagai manajer perusahaan tembakau pada akhir 1894. Namun ada pula yang menganggap kehadiran sepeda di tanah Hindia Belanda telah ada sebelum tahun 1894 itu. Hal itu dibuktikan dengan berita di surat kabar Java Bode (1890). Dalam berita tersebut diceritakan perjalanan seorang pria tak dikenal dari Batavia ke Buitenzorg (Bogor) pada Hari Paskah, 7 April 1890 dengan naik sepeda.

 

Sepeda Sebagai Gengsi dan Status Sosial

 

Kepemilikan sepeda di Hindia-Belanda ketika itu masih terbatas. Hanya kelompok tertentu, macam pejabat kolonial, bangsawan, misionaris, hingga para saudagar kaya yang mampu memiliki sepeda. Sepeda jarang muncul di kampung dan di desa. Jika ada yang punya sepeda, sudah tentu satu kampung akan mengenalnya sebagai orang kaya.  Meskipun hanya kelas sosial tertentu saja yang mampu punya sepeda, ternyata juga banyak toko-toko sepeda di kota-kota besar. Seperti Batavia, Bandung, Semarang, Surabaya, Medan, Banjarmasin, dan Makassar. Bahkan banyak iklan di surat kabar tentang merek sepeda.

 

Naik sepeda juga harus bergaya. Foto ist

 

“Merek tersebut seperti Fahrrad, Opel, Batavus, Gazell, dan Raleigh, yang tersebar di seluruh Indonesia sekitar tahun 1930-1939. Sepeda-sepeda buatan Eropa itu dikirim ke Indonesia menggunakan kapal,” tertulis dalam buku Piet Onthel (2011).

 

Mereka yang jadi konsumen sepada-sepeda buatan luar negeri kebanyakan berasal dari pejabat kolonial. Sepeda tersebut dijadikan alat transfortasi untuk mendukung kelancaran pemerintahan di tanah jajahan. Sepeda juga dijadikan inventaris sangat penting kala itu.

 

Sementara itu bagi warga pribumi, hanya kelas sosial tertentu yang mampu punya sepeda. Salah satunya sepeda yang dimiliki sadiman setrodiwonggo dan teman temannya. Sadiman memiliki sepeda yang dan menjadi kendaraan utama selain kuda pada tahun 1928 di kota Solo. Sadiman merupakan priyayi jawa yang juga menjadi pengusaha rokok Diko lintingan dan klobot cap Anoman dan Sugriwa di desa Grogol Sukoharjo. Untuk sepeda yang umumnya dimiliki warga pribumi merek Fongers dan Dirkop yang dibuat tahun 1918.   “Harga sepeda seperti Gazalle, pada waktu sangat mahal, hampir setara 1 ons mas --setara Rp 25 juta. Oleh karena itu, masyarakat biasa hanya mampu membeli sepeda bekas pakai atau menunggu harga sepeda turun.”

 

Karena menjadi barang prestisius dan memiliki citra sosial, maka untuk naik sepeda juga harus menyesuaaikan kostumnya. Sebab sudah dipastikan jika naik sepeda akan menjadi perhatian orang. Bagi seoang pria pribumi atau priyayi, naik sepeda sangat pantas mengenakan sepatu. Juga memakai stelan jas atau beskap lurik dan tidak lupa tutup kepala. Sedangkan bagi para remaja putri, naik sepeda juga lebih cantik jika bersepatu tumit pendek. Di tahun 1930an itu, sudah tren fashion rok lebar di bawah lutut dengan potongan di batas pinggul. Serta tidak lupa pita besar di dada dan rambut diikat kain pita. (pul)

 

Artikel lainnya

The Begandring Institute Lahir Mewarnai Peringatan Tahun Baru Imlek

Malika D. Ana

Jan 16, 2023

Penyelamatan dan Pemanfaatan Bangunan Langka di Kota Tua Surabaya

Author Abad

Nov 28, 2022

Guru dan Cambuk, Dia Punya Kuasa Dunia

Author Abad

Nov 24, 2022

Indonesia itu Atlantis yang Hilang

Author Abad

Nov 04, 2022

Tugu Monas Sebagai Tempat Sulaturahim Kebangsaan

Author Abad

Nov 03, 2022

Sudah 60 Tahun Kematian MM, Dihilangkan atau Bunuh Diri

Author Abad

Oct 31, 2022