Suroboyo Wani dan Curabhaya
Abad.id - Sesanti kekinian kota Surabaya adalah "Suroboyo Wani". Sesanti ini sering diucapkan sembari memberi semangat dalam event-event yang digelar pemerintah kota Surabaya.
Suroboyo Wani mengandung makna berani, menggambarkan sifat berani warga (arek arek) Surabaya, yang sudah lama mbalung sumsum pada diri (jiwa dan raga) masyarakat Surabaya.
Keberanian arek arek Surabaya dalam menghadapi tentara Sekutu pada November 1945 adalah salah satu bentuk ekspresi keberanian itu. Mereka memekikkan "Merdeka Atau Mati". Ada lagi "Duk tali layangan, nyowo situk ilang ilangan", yang artinya ijuk tali layang layang, tinggal satu nyawa berani kehilangan. Alangkah beraninya rakyat Surabaya !!
Bonek (Bondo Nekad) yang menjadi jargon holigan sepak bola Persebaya adalah ekspresi natural kultural pendukung tim kesayangan Persebaya. Mereka berani dalam memberikan dukungan kepada Persebaya. Mereka menemukan jargon itu atas aktualisasi nilai berani yang ditunjukkan arek arek Surabaya. Mereka tidak berfikir tentang ilmu sosio kultural linguistik. Tapi ternyata istilah Bonek sangat menggambarkan sifat holigan Persebaya.
Sekarang secara kultural menjadi tradisi baru ketika pekik Surabaya Wani mewarnai awal suatu kegiatan. Percaya atau tidak semangat berani kekinian itu "Surabaya Wani" secara natural, kultural dan historikal terilhami oleh jati diri Surabaya, "Sura ing Baya", yang berarti berani menghadapi bahaya dan tantangan.
Asal sesanti "Surabaya Wani"
Sifat berani atau wani (Jawa) sesungguhnya berasal dari sesanti Surabaya yang berbunyi "Sura ing Baya". "Sura ing Baya" ini berarti Sura (orang pemberani), Ing (dalam) dan Baya (bahaya atau tantangan). Jadi artinya adalah orang yang berani dalam atau menghadapi bahaya.
Sura ing Baya adalah bahasa Sanskerta untuk menggambarkan sifat penduduk, yang bermukim di kawasan delta sebagaimana disebut GH Von Faber dalam buku "Erwerd Eenstad Geboren" (1953). Kawasan ini berada di percabangan sungai Kalimas dan Pegirian yang disebutnya Glagah Arum atau Pandean Peneleh.
Glagah Arum (Pandean - Peneleh) adalah kawasan yang sejak 1270 M telah dihuni oleh orang pemberani atau Jawara. Mereka inilah yang kelak membantu raja Kertanegara dalam menumpas pemberontakan Kemuruhan (1270) dan atas keberhasilan itu, Raja Kertanegara membuka lahan baru di utara Pandean - Peneleh sebagai lahan permukiman baru (1275) sebagai hadiah buat para Jawara yang telah membantunya.
Lahan baru itu adalah kawasan Pengampon - Semut, yang oleh Kertanegara dibuka dan disebut Surabaya pada 1275. Semua ini (Pandean, Peneleh dan Pengampon) adalah kawasan delta diantara sungai Kalimas dan Pegirian.
Dalam catatan China, yang dikutip oleh Groenneveld dalam buku "Notes in the Malay Archipelago and Melacca", compiled from Chinese Sources" (1876), kawasan delta ini adalah lokasi tempat bertemunya pasukan Mongol setelah melalui muara Pa-Tsih-Kan (sungai kecil Kalimas) dan sebelum melanjutkan perjalanan ke arah, yang maunya, Tumapel. Memang tidak disebut nama delta itu, namun tidak ada delta sungai lainnya yang berada di dekat muara Pa-Tsih-Kan kala itu pada abad 13, kecuali delta Glagah Arum (Pandean Peneleh).
Delta sungai, yang dideskripsikan oleh Groenneveld (1876), ternyata berada pada lokasi yang sama sebagaimana digambarkan oleh GH Von Faber dalam buku "Erwerd Eenstad Geboren" (1953).
Keberadaan lokasi peradaban ini juga sama dengan petunjuk dalam prasasti Canggu (1358), yang mengatakan adanya peradaban sebuah desa di tepian sungai (naditira pradeca) yang bernama Curabhaya.
Selanjutnya peradaban ini dikuatkan dan didukung dengan aktualisasi penemuan benda arkeologi berupa sumur Jobong pada 2018, yang setelah dilakukan uji karbon, diduga sumur kuno itu telah ada pada 1430. Entah mulai kapan sumur kuno itu ada.
Ringkasnya, antara fakta dan data tentang kekunoan kawasan Delta Peneleh saling mendukung. Di sinilah pemukiman kuno itu berada dengan dihuni oleh orang orang Jawara yang penuh keberanian (GH Von Faber).
Sementara sesanti yang berbunyi "Sura ing Baya", yang berarti orang yang berani menghadapi bahaya, ada seiring dengan adanya sebuah desa di tepian sungai (naditira pradeca) yang bernama Curabhaya.
Yang jelas, dari sumber sumber yang ada dapat ditarik kemiripan bahwa di kawasan ini dihuni oleh orang orang yang memiliki sifat berani atau Jawara.
Asal Surabaya
Secara faktual, nama Curabhaya dengan posisi di tepian sungai, tertulis pada prasasti yang berangka tahun 1358 M. Surabaya, yang sekarang justru dibelah oleh sungai Kalimas (Pa-Tsih), adalah jelmaan naditira pradeca Curabhaya. Kini Surabaya menjadi sebuah kota yang luas dengan ukuran 335 kilometer persegi. Jadi, Curabhaya (kuno) adalah Surabaya (baru).
Adakah sangkalan terhadapnya? Tentunya tidak. Curabhaya tertulis pada prasasti yang berangka tahun 1358 M.
Apakah Curabhaya = Hujung Galuh?
Apakah Curabhaya sama dengan Hujung Galuh, yang tertulis pada prasasti dengan angka tahun 1037 M? Tidak.
Curabhaya dan Hujung Galuh adalah suatu tempat yang beda masa dan beda letak. Curabhaya terletak di hilir sungai (prasasti Canggu). Sedangkan Hujung Galuh berada di hulu sungai (prasasti Kamalagyan).
Curabhaya memiliki cerita tersendiri sebagai sebuah desa di tepian sungai, yang memberikan layanan penyeberangan (anambagi).
Hujung Galuh juga memiliki cerita tersendiri, yang tidak sama dengan Curabhaya. Yakni sebagai pelabuhan sungai yang ramai disinggahi oleh nakhoda nakhoda dari nusantara.
Hujung Galuh adalah pelabuhan sungai antar pulau, interinsuler. Dengan demikian pelabuhan Hujung Galuh sebagai pelabuhan sungai yang bisa diakses oleh kapal kapal besar, yang mengarungi lautan luas.
Lantas ada pertanyaan, sungai manakah yang bisa diakses oleh kapal kapal besar? Tidak salah kiranya, jika ada yang menjawab sungai Brantas. Karena sungai ini memiliki badan dan muara yang lebar.
Jika kemudian ditanya dimana asal usul Surabaya, tentu jawaban yang logis adalah Curabhaya, bukan Hujung Galuh.
Curabhaya adalah sebuah desa di tepian sungai (naditira pradeca), yang posisinya di bagian hilir sungai.
Curabhaya berada di utara Bkul atau Bungkul sekarang, sesuai dengan aliran sungai Pa-Tsih (Kalimas). Dimanakah peradaban tua di tepian sungai di utara Bungkul? Jawabannya adalah Peneleh.
Secara logis historis, Peneleh inilah yang diduga kuat sebagai Curabhaya, yang sekarang bernama Surabaya. (Nanang)
Mas Marco Kartodikromo pernah berujar: “Misbach itu seperti harimau di dalam kalangannya binatang-binatang kecil. Dia tidak takut mencela kelakuan orang-orang yang mengaku Islam tetapi selalu mengisap darah teman sendiri.”
Abad.id Doktrin Marxisme dilandaskan filsafat materialisme. Sedangkan Islam berdasarkan spiritualisme dan kepercayaan secara empiris. Meski keduanya sama-sama mengandung unsur antikapitalisme, namun susah dipertemukan.
Hampir semua pendiri bangsa mengadopsi pemikiran Karl Marx, tentunya dengan kadar berbeda-beda.Soekarno menerapkan ideologi kirinya dengan mencocokkan kondisi masyarakat Indonesia dan menamainya Marhaenisme. Demikian pula Hatta, Syahrir, Tan Malaka juga merupakan sosialis atau komunis. Namun berbeda dengan Haji Misbach. Dia justru menggabungkan dua unsur tersebut, Marxisme dan Islam. Dunia perjuangan kemerdekaan geger. Sayang, namanya kini seolah dihapuskan dalam sejarah bangsa. Mungkin karena dia dikenal sebagai ‘Haji Merah’.
Saat itu, awal Maret 1923, adalah Kongres Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Sarekat Islam (SI) di Bandung. Kongres itu dihadiri dua komunis dari Sumatera Barat, yaitu Haji Datuk Batuah dan Natar Zainuddin. Seorang haji menaiki podium. Dia memperkenalkan diri. “Saya bukan Haji, tapi Mohammad Misbach, seorang Jawa, yang telah memenuhi kewajibannya sebagai muslim dengan melakukan perjalanan suci ke Mekah dan Madinah,” terangnya.
Dalam kongres itu, Misbcah jadi bintang. Dia tampil memukau di kalangan cabang-cabang PKI dan SI merah, terutama mereka yang bercorak agamis. Ketika baru memulai uraiannya, Haji Misbach langsung menusuk ke jantung persoalan. Ia berusaha menguraikan kesamaan-kesamaan prinsip antara Qur’an dan Komunisme. “Quran, misalnya, menetapkan bahwa merupakan kewajiban setiap Muslim untuk mengakui hak azasi manusia, dan pokok ini juga ada dalam prinsip-prinsip program komunis.” Berjuang melawan penindasan dan penghisapan, menurut Misbach, merupakan perintah Tuhan. “Ini juga salah satu sasaran komunisme,” kata Misbach. Gagasan inilah kemudian yang disebut Islam-Komunis. “Orang yang mengaku dirinya Islam tetapi tidak setuju adanya komunisme, saya berani mengatakan bahwa mereka bukan Islam sejati, atau belum mengerti betul-betul tentang duduknya agama Islam,” sebutnya.
Misbach juga menganggap saat itu SI di bawah pimpinan Tjokro telah memecah-belah gerakan rakyat dengan memberlakukan disiplin partai. Meskipun bergelar haji dan sudah pernah ke Tanah Suci, tapi Misbach tidak pernah mengenakan sorban ala Arab ataupun peci ala Turki. Dia hanya mengenakan tutup kepala dan bergaul dengan rakyat apa saja. Misbach dikenal mubaligh ulung. Dia fasih ayat-ayat Alquran. Maklum, dia sudah lama mengeyam pendidikan di pesantren.
Haji Misbach dilahirkan di Kauman, Surakarta, tahun 1876, dan dibesarkan sebagai anak seorang pedagang batik yang kaya raya.Mas Marco Kartodikromo, teman seperjuangannya, menggambarkan Misbach sebagai seorang yang ramah dan teguh kepada ajaran Islam. Keduanya memang sempat berkhidmat dalam lapang pergerakan Sarekat Rakjat/PKI. Namun Misbach dan Marco Kartodikromo tak pernah lagi disebut-sebut dalam sejarah resmi yang disusun Orde Baru. Tak mengherankan bila Haji Misbach baru diangkat kembali peran dan sosoknya oleh seorang peneliti asing. Sejarawan dan Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Soewarsono menceritakan, Haji Misbach dikenal sebelum 1965-1966. Salah satu buku yang ditulis almarhum profesor Harsa Bachtiar dari UI menyebut, Haji Misbach sebagai orang di antara pemimpin pergerakan kebangsaan di Indonesia, atau tepatnya dikenal dengan pemimpin komunis keagamaan yang mempropagandakan ideologis komunis dengan kutipan-kutipan dari Alquran.
Haji Misbach, juga dikenal sebagai orang yang dibuang di Manokwari, dan meninggal dua tahun kemudian. Sebuah jalan di Solo pernah dinamai dengan Jalan Haji Misbach, tapi setelah peristiwa 1965/1966, jalan itu dihapus.Dihilangkan Dari Sejarah Politik sejarah telah menyembunyikan tiap-tiap tokoh, peristiwa dan lain-lainnya, yang dapat menimbulkan inspirasi perjuangan bagi bangsa Indonesia. Pahlawan-pahlawan Indonesia yang berhasil mengalahkan Belanda, yang berjuang sampai tetes darah penghabisan, yang berjiwa nasional, dikaburkan oleh sejarawan-sejarawan kolonial dalam tumpukan arsip-arsip tua. Tidak dikenalnya Marco, bukanlah kejadian yang kebetulan saja, akan tetapi merupakan sebuah politik kolonial yang direncanakan, karena Marco adalah tokoh yang inspiratif dan tokoh-tokoh yang tidak penah mau berkompromi dengan Belanda.
“Nama Haji Misbach dicoba untuk ditiadakan dalam realitas masyarakat Indonesia, maupun sejarah Indonesia. Pembicaraan mengenai Haji Misbach muncul kembali di kalangan akademisi itu, sejauh yang saya tahu sejak 1980an, ketika seorang penulis mengutip nama Haji Misbach sebagai seorang Jawa dan Komunis. Belakangan menjadi terkenal karena studi seorang sarjana dari Jepang, Takashi Siraishi yang menulis tentang pergerakan radikalisme rakyat di Jawa 1912-1926. Satu di antara tokoh yang dibahas secara intensif dan mendalam, adalah Haji Misbach. Lewat studi itu pula, nama Haji Merah muncul,” jelas Soemarsono. Takashi Shiraishi memulai disertasinya pada 1986. Bisa dianggap Takashi orang pertama yang menjelaskan secara mendalam dan detail, siapa dan apa peran yang dimainkan Haji Misbach selama masa yang disebut “zaman bergerak”.
Meskipun dalam karyanya, ia memaparkan radikalisme dalam zaman pergerakan secara umum, ia pun mengakui peran penting Haji Misbach dan tulisan-tulisannya, bukan hanya dalam masa hidupnya, namun juga dalam mengilhami dan memengaruhi karyanya ini. Dalam prakata bukunya, misalnya, ia menulis, “Konsepsi buku ini berasal dari pertemuan saya dengan serial artikel Hadji Mohammad Misbach dalam Medan Moeslimin, “Islamisme dan Komunisme”, yang saya temukan di Perpustakaan Museum Nasional Jakarta, pada Desember 1977. Oleh karena tidak dapat memahaminya, saya mencari dan coba merekonstruksi sebuah konteks historis yang bermakna untuk menempatkan dan membaca artikel tersebut. Hal ini membuat saya mempertanyakan historiografi ortodoks tentang pergerakan.”
Yang dimaksud dengan historiografi ortodoks oleh Takashi adalah klasifikasi yang diterapkan pada kelompok-kelompok dalam zaman pergerakan, dan penyederhanaan-penyederhanaan yang reduksionistik dalam melihat pergerakan. Dalam historiografi ortodoks, lapangan pergerakan dibagi secara kaku dan saklek menjadi tiga golongan yang baku berdasar ideologi (nasionalisme, Islam, dan komunisme), tanpa dimungkinkan adanya sintesa dan percampuran hibrida antar ketiganya.
Karenanya, ia akan gagap menjelaskan adanya fenomena orang-orang yang bergerak di lebih dari satu lapang pergerakan (semisal orang yang aktif di Insulinde dan menjadi anggota SI, atau anggota Budi Utomo yang juga aktif di SI, dan seterusnya). Juga, ia kesulitan mengidentifikasi adanya nuansa dan keberagaman dalam satu organisasi, yang tak bisa disederhanakan dalam klasifikasi-klasifikasi tersebut. Dalam hal ini peran Haji Misbach begitu penting. Apalagi Soewarsono melalui buku yang ditulisnya ‘Jejak Kebangsaan Kaum Nasionalis di Manowari dan Bovendigul’ juga menceritakan, sosok Haji Misbach adalah muslim yang baik, lulusan pesantren, serta pernah berhaji sebelum memulai pergerakan Nasional. Haji Misbach juga seorang pimpinan media.
“Pergerakan Nasional dimulai oleh Haji Misbach ketika menjadi jurnalis. Haji Misbach memiliki dua surat kabar namanya Medan Muslimin yang didirikan 1915, dan Islam Bergerak pada 1917. Ini yang akan menjadi dasar dia berkegiatan dalam politik pergerakan saat itu. Hanya saja, masa pergerakan itu dimulai saat ia bergabung dalam organisasi yang didirikan Cipto Mangunkusumo, Insulinder yang berubah menjadi Sarikat Hindia, atau National Indische Partij,” terangnya. Seorang Islam sejati seperti Haji Misbach, jelas Soewarsono, mengalami perkembangan politik pada konteks pertamanya adalah pergerakan yang bersifat kebangsaan, atau saat ini dikenal dengan ‘Tiga Serangkai’ (Cipto, Dowes Dekker, dan Suhardi Suryaningrat) hingga tahun 1923, sebelum kemudian Sarikat Hindia dihancurkan oleh Belanda. Padahal sosok ini tak bisa bahasa Belanda, karena hanya lulusan pesantren dan sekolah ongko lorho. Karena tidak bisa bahasa Belanda, Haji Misbach tidak bisa mengakses buku-buku tentang komunis terbitan Belanda. Untuk menyiasatinya, ia menggunakan bahasa daerah dan melayu yang dikuasainya untuk mengakses karya-karya komunisme yang ditulis dalam bahasa melayu.
Karya Tan Malaka dan Semaun saat itu memang banyak beredar. Semisal Novel Hikayat Kabirun, karya Semaun. Karya-karya yang dibacanya itu membuat Haji Misbach berpandangan lain tentang Islam dan komunisme. Meskipun ia tahu Islam dan komunisme dua hal yang berbeda. Tak jelas dari mana ketertarikan dan kesadaran Haji Misbah terhadap isu yang tak begitu populer bagi kalangan agamawan ini muncul. Yang jelas, seperti tergambar dari kesaksian Marco terhadap sosoknya, ia adalah seorang haji yang terbuka, eklektik, mau menerima pengetahuan dari mana saja, dan tak canggung untuk bergaul dengan siapa saja dari latar belakang apa saja.
Hal-hal ini mungkin yang kemudian memantik kesadarannya dan membangkitkan perhatiannya terhadap persoalan masyarakat pinggiran. Kepedulian Haji Misbach terhadap rakyat kecil pun bukan semata didasari empati dan rasa kasihan, namun juga dilengkapi dengan pengetahuan sebagai perangkat untuk menganalisa dan mengaitkannya dengan struktur ekonomi yang lebih luas pada masa itu.
Hal ini kemudian melahirkan sesuatu yang unik, yaitu sintesis pemikiran. Dalam banyak tulisannya, terutama sejak 1918, ia sering mengombinasikan penguasaannya terhadap pengetahuan agama (patut diingat, pada masa itu, gelar Hadji hampir pasti menunjukkan orang yang menyandangnya adalah Muslim taat dengan pengetahuan agama yang luas dan mendalam), dengan mengutip mashadir al-ahkam (sumber hukum) dan dalil-dalil agama, termasuk juga cerita-cerita perjuangan Nabi, dengan pemahamannya yang juga terbilang cukup baik terhadap konsep ekonomi-politik yang diungkapkan dengan istilah sederhana pada masa itu, seperti “kapitalisme”, “penghisapan”, dan “penindasan” ekonomi.
Akhir Petualangan Haji Merah
Misbach pembela komunis dan pembela Islam. Saat itu Martodharsono yang menerbitkan tulisan Djojodikoro dalam surat kabar yang dikelolanya, Djawi Hisworo. Umat Islam meradang karena Djojodikoro menulis begini dalam artikel yang terbit pada Januari 1918 itu: “Gusti Kanjeng Nabi Rasul minum gin, minum opium, dan kadang suka mengisap opium.” Atas tulisan tak senonoh itu, Misbach meminta kepada pihak-pihak berwenang, yakni pemerintah kolonial Hindia Belanda dan Kasunanan Surakarta Hadiningrat, agar menjatuhkan tindakan tegas kepada dua jurnalis Solo itu lantaran telah melecehkan Islam.
Misbach bahkan mendirikan laskarnya sendiri yang diberi nama Sidik, Amanah, Tableg, Vatonah (SATV) untuk mendampingi Tentara Kandjeng Nabi Mohammad (TKNM). Selain itu, ia menyebar seruan tertulis yang menyerang Martodharsono. Segeralah beredar kabar bahwa Misbach akan berhadapan dengan mantan wartawan Medan Prijaji di arena debat. Jantung peradaban Jawa pun berguncang. Tersengat oleh semangat Misbach, kaum muslimin dari berbagai daerah berbondong-bondong menghadiri tabligh akbar yang disponsori TKNM dan SATV di Lapangan Sriwedari Solo pada 24 Februari 1918.
Takashi Shiraishi menyebut pertemuan besar di Sriwedari itu diramaikan oleh lebih dari 20.000 orang. Sangat riuh, persis seperti Aksi Bela Islam 411 dan 212 yang dipusatkan di Jakarta beberapa waktu lalu.Misbach memang pembela Islam sejati. Dia tak segan-segan menyerang orang-orang yang menistakan agamanya, bukan lewat aksi fisik tentunya tapi melalui debat atau tulisan.“Barangsiapa yang merampas agama Islam, itulah yang wajib kita binasakan!” tukas Misbach di surat kabar Medan Moeslimin (1918).
Bahkan terhadap sesama muslim yang justru tidak menghargai Islam, Misbach pun siap menerkam. Rekan Misbach sesama pejuang pergerakan nasional, Mas Marco Kartodikromo, pernah berujar: “Misbach itu seperti harimau di dalam kalangannya binatang-binatang kecil. Dia tidak takut mencela kelakuan orang-orang yang mengaku Islam tetapi selalu mengisap darah teman sendiri.”
Dan ketika kaum putihan “termakan” propaganda politik identitas oleh PSI/CSI tentang komunisme, tanpa tahu apa itu komunisme, Misbah justru menyatakan: Begitoe djoega sekalian kawan kita jang mengakoei dirinja sebagai seorang kommunist, akan tetapi misi soek mengeloewarkan fikiran jang bermaksoed akan melinjapkan igama Islam, itoelah saja berani mengatakan bahoewa mereka bukannya kommunist jang sedjati atau mereka beloem mengerti doedoeknja kommunist; poen sebaliknja, orang jang soeka mengakoe dirinja Islam tetapi tidak setoedjoe adanja kommunisme, saja berani mengatakan bahoewa ia boekan Islam jang sedjati, ataoe beloem mengertibetoel2 tentang doedoeknja igama Islam.
Pada bulan-bulan berikutnya, ia tetap aktif mengorganisir serikat-serikat buruh dan tani, dan pemogokan-pemogokan ketika dianggap diperlukan untuk menyuarakan isu-isu tertentu, seperti rendahnya upah, dan sebagainya yang tak didengarkan ketika disampaikan secara “baik-baik”. Sampai ketika pada pertengahan Mei 1920, ia diperintahkan untuk ditangkap, dan melalui pengadilan landraad (pengadilan untuk pribumi) di Klaten, diputuskan untuk dipenjara selama dua tahun atas tuduhan provokasi dan hasutan pemogokan melalui rapat-rapat umum yang dihadirinya di desa-desa di sekitar Surakarta.
Dari perjuangannya sebagai Haji Merah, Misbach harus masuk penjara dua kali. Selain keterlibatannya di Sarikat Hindia, dia juga masuk ke partai PKI. Setelah itu menjadi propagandis PKI SI Merah.
Pergerakan politiknya di Propagandis PKI SI Merah ini menjadi gerakan yang menakutkan terutama di Surakarta, dan Solo, yang membuat ia ditangkap dan dibuang di luar Jawa. Dan, dia adalah orang pergerakan pertama yang dibuang di Manokwari.
Dia dianggap sebagai salah satu dalang dari kerusuhan yang terjadi pada Oktober 1923. Per tanggal 18 Juli 1924, ia memulai perjalanan pengasingan ke Manokwari dari pelabuhan Surabaya. Saat itu penjagaan polisi sangat ketat.
Ketika Misbach kembali sebentar ke Surakarta, hanya Sjarief dan Haroenrasjid dari Medan Moeslimin, di samping kerabatnya, yang diizinkan menjenguknya. Anggota-anggota PKI dan SR Surabaya pergi ke pelabuhan, tetapi usaha ini sia-sia karena ia dikurung dalam kabin. Dan Misbach meninggalkan Jawa dalam keterpencilan.
Pada 24 Mei 1926, Haji Misbach wafat setelah mengidap penyakit malaria, menyusul istrinya yang sebelumnya meninggal karena TBC. Ia kemudian dimakamkan di pemakaman Penindi, Manokwari, dengan diantar oleh sekelompok kecil anggota Sarekat Rakjat Manokwari, yang jumlahnya tak lebih dari 20 orang.
Sebagai seorang mantan anggota organisasi pergerakan semacam Insulinde dan Sarekat Rakjat, dan sebagai mantan propagandis yang terbiasa berhubungan dengan ratusan bahkan ribuan orang, kematian dan penguburannya yang sunyi memang ironi.
Namun, ini hanya pengulangan semata dari apa yang sudah menimpa pendahulunya, Tirto Adhi Soerjo—yang oleh Pramoedya Ananta Toer didaulat sebagai “Sang Pemula” penyebaran kesadaran nasional— atau yang kelak menimpa rekannya, Marco Kartodikromo—yang menurut Soe Hok Gie, adalah wartawan pembela rakyat tertindas yang berani nan “bandel”, yang wafat dalam kesunyian pengasingan Boven Digoel pada 1932.
Haji Merah itu kini telah tiada. Namun ada yang perlu dicatat, Haji Misbach telah melihat ada titik-titik persamaan antara Islam sebagai ajaran kemasyarakatan dan Marxisme-Leninisme sebagai ideologi politik. Dia mencoba menggabungkannya.
Misbach menyadari betul Marxisme berpengaruh terhadap bapak-bapak bangsa dan berperan besar di era perjuangan kemerdekaan, sebagai pisau analisa terhadap kondisi kolonialisme yang dialami bangsa Indonesia kala itu.
Soekarno saja mengakui teori Marxisme adalah satu-satunya teori yang dianggap kompeten buat memecahkan soal-soal sejarah, politik, dan kemasyarakatan. Bahkan Sjahrir yang dikemudian hari pandangan ekonomi-politiknya dianggap kanan (karenanya disebut soska alias sosialis kanan), dengan tegas mengatakan bahwa gerakan nasionalisme di Asia-Afrika tak dapat dilepaskan dari ketertarikan mereka terhadap Marxisme.
Mengenang Haji Misbach seperti menyadarkan kembali bahwa tidak ada yang perlu ditakuti terhadap paham Marxisme, atau menganggapnya sebagai ancaman. Alih-alih bangsa ini harusnya mengapresiasi karena peran yang besar dalam perjuangan kemerdekaan bangsa, dan karena kesamaan tujuannya yang mulia dengan Islam, yakni membebaskan masyarakat tertindas.@nov
*) diolah dari berbagai sumber
caption 1: Misbach dijuluki Haji Merah. Foto: repro
caption 2: Buku Takashi Shiraishi berjudul “zaman bergerak”.tahun 1986 menjelaskan peran Haji Misbach. Foto: repro
caption 3: Surat kabar Medan Muslimin yang dipimpin Haji Misbach. Foto: repro
caption 4: Kongres Sarekat Islam (SI) di Bandung. Dalam kongres itu banyak kaum putihan kepincut paham Marxisme setelah Haji Misbach naik podium. Foto: repro
caption 5: Makam Haji Misbach di Manokwari. Foto: repro
Uang kertas yang beredar dikeluarkan Gubernur Sumatra di Bukittinggi pada 17 januari 1948 dan mata uang Banten yang ditaandatangani Residen Banten HM Chatib. Foto Istimewa
abad.id-Bank Indonesia (BI) pada November tahun 2022 lalu memberikan proyeksi terbaru mengenai transaksi uang elektronik yang akan terus tumbuh. Hal ini menandakan uang kertas tidak akan lagi banyak digunakan oleh masyarakat luas. Transaksi e-commerce diperkirakan mencapai Rp 572 triliun pada 2023 dan Rp 689 triliun pada 2024. Digital banking juga diproyeksikan akan mencapai lebih dari Rp 67.000 triliun pada 2023 dan Rp 87.000 triliun pada 2024.
Sebenarnya darurat uang ini seperti ini bisa diartikan sebuah kemajuan ekonomi berubah ke era digital, namun juga sebuah kemunduran. Sebab pada masa e-commerce nangi jumlah uang kwartal yang beredar di masyarakat akan tidak banyak. Terekait jumlah uang kwartal tidak banyak beredaar ini pernah dialami bangsa Indonesia saat awal kemerdekaan. Pada masa itu belum ada pengaruh uang sebagai bagian dari bauran kebijakan untuk memperkuat ketahanan, pemulihan, dan kebangkitan perekonomian, di tengah kondisi ekonomi global. Uang hanya dianggap berupa alat transaksi konvensional yang disepakati di sebuah wilayah atau antara pihak satu dengan pihak lain.
Sejarah uang pasca kemerdekaan dimulai dari munculnya istilah uang gerilya. Uang ini dibuat secara darurat hanya diketik diatas kertas kopi yang diterbitkan di Rantau Prapat dengan nilai nominal Rp 25 Juta. Di daerah lain ada pula uang kertas yang dicetak di atas kertas bergaris dari bekas buku tulis. Dua peristiwa itu terjadi dekade saat revolusi kemerdekaan 1945-1947.
Uang kertas yang diterbitkan oleh Pemerintah Republik Indonesia pada tahun 1948 dan 1949 dengan nominal tidak biasa, yaitu Rp 40 Rp 75 dan Rp 400. Foto istimewa
Sebenarnya sudah ada uang yang terlanjur beredar di negara yang baru terbentuk itu, yaitu terbitan pemerintah Jepang dan uang yang dibuat bank Hindia Belanda. Namun jumlah uang yang beredar sangat terbatas dan diteribitkan oleh negara yang tidak diakui. Serta sebab lain blokade wilayah telah memutuskan hubungan pemerintah pusat dan daerah. Dengan alasan itu pemerintah darurat di masing masih daerah diperbolehkan mengeluarkan uang gerilya.
Mata uang yang dikeluarkan Karisidenan Aceh di cetak di Singapura. Bentuknya lebih cantik kuwalitas kertas lebih baik. Foto istimewa
Mata uang itu beredar di wilayah terbatas dan diakui sebagai alat pembayaran yang sah. Namun hanya berlaku di daerah mereka sendiri di wilayah kesatuan Republik Indonesia. Mata uang resmi yang lebih sempurna cetakannya juga muncul di daerah lain dengan bentuk beraneka ragam. Misalnya mata uang di daerah Jakarta akan berbeda dengan mata uang yang beredar di Yogjakarta. Begitu pula yang beredar di Sumatra, Riau, Kalimantan hingga Sulawesi. Bahkan daerah kabupaten sangat terpencil juga menerbitkan mata uang sendiri akibat terputusnya hubungan dengan pemerintah pusat.
Tujuan pemerintah pusat memperbolehkan menerbitkan uang darurat tersebut, agar roda perekonomian di daerah tetap berjalan. Serta perjuangan mengusir penjajah terus dilakukan melalui kampanye transaksi penggunakan mata uang republik Indonesia Rupiah.
Uang Daerah Wewenang Pejabat Daerah
Pemerintah daerah di Sumatra sering mengeluarkan uang daerah. Tidak kurang 19 daerah kabupaten dan propinsi terpaksa menerbitkan uang revolusi ini. Mulai dari pemerintah Aceh sampai pemerintah Palembang. Uang yang diterbitkan pemerintah Aceh memiliki desain yang menarik, mulai mutu kertas dan kwalitas tinta. Konon uang Aceh dicetak secara profesional di Singapura sehingga desain lebih maju.
Uang yang beredar di daerah Sumatra Selatan ditandatangani Giubernur Militer Daerah Istimewa AK Gani tanggal 1 Mei 1949. Mata uang nilai nominalnya Rp 20 dicetak di atas kertas telsrook atau gulugan kertas di mesin hitung yang kasar dan tebal. Sedangkan uang kertas dari Kabupaten Rantau Prapat ditanda tangani oleh bupati dan dicetak menggunakan kertas stensil. Nilainya minimal Rp 100, dan terdapat lubang kecil-kecil membentuk tulisan Betaald ( sudah lunas) .
Mata uang dengan nominal seratys rupiah dengan tambahan kata " Baru". Foto istimewa
Uang daerah Tapanuli juga dicetak diatas kertas stensil dikeluarkan tanggal 18 November 1947 dengan nominal Rp 25 dan Rp 50. Uang kertas ini ditanda tangani kepala Kantor Pengawasan Keuangan Tapanuli dan 5 pejabat panitera. Bahkan di daeraah Sumatra lain juga terdapat uang dengan bahan kertas stensil, serta tanda tangan asli dari pejabat yang berwenang. Mungkin karena bupati kewalahan untuk menandatangani setumpuk uang kertas itu, maka dia meminta bantuan para stafnya. Seingga bentuk tanda tangan di masing-masing uang bisa berbeda, namun tetap atas nama bupati.
Di Sumatra juga muncul uang dengan bahan kertas kopi dengan nilai Rp 10, diketik biasa tanpa cetak. Ukuran uang itu 5 X 10 cm, lengkap dengan tulisan Kupon ORI. Pengganti uang resmi dan berlaku sah di daerah gerilya dalam daerah RI, Bank Dunia Merdeka RI. Uang kertas ini ditanda tangani oleh kepala Departemen Keuangan KG Honggo Djojo pada tahun 1948.
Uang darurat ditulis menggunakana kertas kopi, kemudian diketik secara sederhana lalu ditanda tangani lembar perlembar. Foto istimewa
Bahkan ada daerah lain yang mengeluaran uang lebih darurat yang diketik biasa di kertas tulis garis garis. Uang tersebut dicetak hanya halaman depan saja. Klise yang dipakai untuk cap depan terbuat dari bahan ubi mentah yang digambar digunakan untuk stempel. Tinta berwarna hitam dengan cetakan yang mblobor nyaris tidak terbaca. Karena bentuknya sangat sederhana, uang tersebut lebih mirip alat cetak uang kertas.
Sementara di Pulau Jawa terdapat uang kertas darurat dengan bahan bekas kertas bungkus semen di daerah Cepu dan uang dengan bahan kertas payung di daerah Juwiring. Prinsip Pemerintah Daerah yang mencetak uang darurat itu bersifat sementara. Uang dari daerah hanya bisa beredar di daerahnya sendiri. Jika terdapat transaksi uang resmi dari ORI masuk ke daerah, maka bisa membantu menambah peredaraan uang. Sebab uang lokal tidak bisa ditransaksikan di daerah lain.
Sejarah Unik ORI
ORI ( Oeang Republik Indonesia ) mulai beredar pada tanggal 30 Oktober 1946. Berdasarkan undang-undang tentang ORI (UU no 19 tahun 1946) disebutkan nilai RP 10 uang ORI sama dengan nilai emas murni seberat 5 gram. Ini menunjukan masa-masa awal kemerdekaan, pemerintah berusaha menentukan nilai mata uangnya. Uang ORI pertama yang dikeluarkan pemerintah pusat di Jakarta mempunyai pecahan setengah sen, 1 sen, 5 sen, 10 sen, Rp 1, Rp 5, Rp 10 dan Rp 100. Mata uang ORI ini ditanda tangani Menteri Keuangan pertama Mr Maramis. Kertas dan hasil cetakan cukup bagus, namun tidak memiliki alat deteksi pengamanan.
Sementara itu sebagai peringatan atau kenang-kenangan, pemerintah juga mencetak uang emas. Jumlahnya hanya 12 keping dengan berat masing-masing 30 gram emas murni. Uang tersebut diserahkan kepada pemimpin nasional Sukarno dan Hatta. Tidak ada yang tahu nilai nominal kepingan uang emas itu. Sebuah catatan mengatakan bahwa nilai emas seberat 30 gram saat itu jika dibelanjakan di pasar hanya dapat 4 kaleng beras. Mungkin karena situasi ekonomi masih sangat darurat pangan, sehingga beras dan bahan pokok lebih malah nilainya daripada emas murni.
Pemerintah pusat juga pernah mengeluarkan mata uang dengan nilai nominal ganjil. Uang tidak lazim tersebut ditanda tangani Menteri Keuangan Ad Interim M Hatta. Nilai uang yang tercetak dalam kertas tersebut Rp 40, Rp 60 Ro 74, Rp 400 dan Rp 600. Nominal ganjil ini hanya diterbitkan pada masa revolusi kemerdekaan, dan tidak pernah diterbitkan lagi pada pemerintahan selanjutnya.
Kejutan Inflasi di Awal Kemerdekaan
Inflasi di sebuah negara yang masih kacau dan baru terbentuk sangat lumrah terjadi. Sejak awal proklamasi 1945 situasi ekonomi di Jakarta masish carut marut. Penduduk Jakarta dihadapkan pada pilihan transaksi menggunakan mata uang Jepang atau Hindia Belanda. Sementara transaksi perdagangan tetap harus berjalan, untuk memenuhi kebutuhan warga atas pangan dan lainnya.
Uang darurat gerilya diterbitkan di palembang diperbanyak dengan cara distensil pada kertas gulungan mesin hitung. Foto istimewa
Sebelum ada uang ORI, uang yang beredar juga sangat terbatas dan pengeluaran dikendalikan oleh tentara Jepang. Jika seorang warga Jakarta memegang uang, maka dipastikan nilainya sangat jatuh. Orang tersebut harus berputar otak untuk mengelola uang untuk membeli barang-barang kebutuhan pokok yang harganya sangat mahal. Selembar kain batik misalnya bila dijual dipasar gelap bisa untuk mencukupi makan sekeluarga 8 orang selama setengah bulan. Beberapa warga yang tidak memiliki uang lebih memilih bertransaksi secara barter atau tukar barang dengan nilai yang disepakati.
Seorang pengusaha batik yang mulai merintis kembali pasca Jepang menyerah ke tangan sekutu mengatakan, untuk membiayai keluarganya dia sering menyelundupkan batik dari Solo ke Semarang hingga Bandung. Kain itu dibelitkan di paha atau perutnya.
Inflasi benar-benar telah menghancurkan ekonomi Indonesia sejak 1945. Puncaknya pada masa jaman agresi militer Belanda tahun 1947, mata uang ORI dan mata uang lokal nyaris tidak ada nilainya. Untuk mengatasi kekacauan ini, pemerintah daerah di Sumatra Selatan punya cara. Yaitu semua yang memegang uang wajib ditempeli materai dengan nilai yang sama dengan mata uangnya. mIsalnya pemilik uang dengan nilai Rp 25, wajib menempel materai senilai 25 rupiah. Dengan cara ini, uang yang beredar yang ditandatangani Gubernur Tengku Muhammad Hassa tidak dipotong dan nilainya tetap.
Cara unik lain mengatasi inflasi dilakukan Pemerintah Daerah Rantau Prapat. Yaitu menerbitkan uang dengan nilai nominal Rp 10 ribu, Rp 50 ribu Rp 5 juta dan Rp 25 juta. Uang tersebut ditulis lengkap jumlah nol dibelakangnya, menjadi 25.000.000 rupiah. Beruntung Uang dicetak dengan jumlah terbatas antara 15 Pebruari 1948 sampai 5 Mei 1948. (pul)
Penulis ; Pulung Ciptoaji
Presiden Soekarno dan Kabinet diwawancarai wartawan asing menyusul pendaratan pasukan Sekutu Inggris dan rombongan NICA di Jakarta pada 29 September 1945. Sumber foto Buku IPPHOS remastered
abad.id-Sebulan pasca proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, gema dan dukungan nyata atas negara baru itu masih kuat di Jawa dan Sumatra. Penyebabnya informasi tentang kemerdekaan Indonesia masih belum merata, meskipun tentara Jepang sudah menyerahkan sepenuhnya kantor berita Domai kepada pemuda republik. Informasi kemerdekaan hanya sebatas kota-kota besar, sementara warga pedesaan dan pedalaman sama sekali belum mendapatkan akses informasi apapun. Sukarno dan Hatta berusaha meyakinkan rakyat se Nusantara agar ikut terlibat dalam mempertahankan kemerdekaan.
Pagi itu tanggal 8 September 1945, sebanyak 7 perwira Inggris di bawah pimpinan Mayor AG Greenhalgh diterjunkan dengan payung di kapangan terbang Kemayoran. Mereka adalah anggota misi sekutu yang dikirim Shouth East Asia Command dari Singapura untuk mempelajari dan melaporkan keadaaan di Indonesia. Langkah ini sebelum pendaratan pasukan lebih besar yang direncanakan seminggu kemudian dengan kapal Inggris Cumberland. Para perwira sekutu ini dianggap pertama kali menginjakkan tanah di bumi Indonesia setelah negara itu diproklamasikan. Segera Mayor AG Greenhalgh mendatangi pimpinan tentara Jepang di Jakarta Jendral Yamaguchi.
Satu minggu kemudian kapal Cumberland yang mengangkut pasukan sekutu dipimpin Laksamana Muda WR Patterson mendarat di tanjung Priok. Dalam rombongan ini turut serta CHO Van der Plas mewakili HJ Van Mook kepala Netherland Indies Civil Administrasion atau NICA. Tentu saja kehadiran sekutu bersama Belanda ini membuat gusar para pemuda di Jakarta. Mereka mendesak Sukarno yang baru saja menyusun kabinet agar langsung bereaksi keras terhadap kehadiran sekutu dan NICA. Pemuda yakin jika dibiarkan kemungkinan kehadiran pasukan yang lebih besar.
Bagi Sukarno yang masih tinggal di rumah jalan Pegangsaan timur 56 Jakarta, dua tuntutan tersebut harus segera terpecahkan di negara yang baru dibentuk. Apalagi sejak proklamasi kemerdekaan, belum ada satupun negara yang mengakui kedaulatan Indonesia, sehingga rawan kembali diambil alih oleh Belanda. Sukarno juga semakin tertekan dengan isu yang beredar bahwa ada 17 koordinator yang terlibat proklamasi akan ditangkap sekutu Inggris. Para koordinator ini dianggap melakukan aksi makar terhadap pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Yaitu membentuj sebuah pemerintahan saat terjadi status quo kekuasaan pasca Jepang menyerah.
Sejak awal Sukarno dan Hatta memang sudah siap dengan resiko apapun. Pasangan presiden dan wakil yang baru dikukuhkan ini, merasa sudah kenyang asam garam dipenjara selama jaman kolonial Belanda. Bangkan Sukarno mengeluarkan kebijakan perlu digelorakan proklamasi kemerdekaan itu, agar semakin banyak dukungan dari negara lain. Salah satu cara yaitu dengan menerima wawancara wartawan asing. Orang asing pertama yang mendapat kesempatan bertemu dengan presiden legendaris itu wartawan asal Belanda bernama Bouwer.
Wartawan asing mengadakan tanya jawab dengan Bung Karno di Pegangsaan Timur no. 56 Jakarta tentang bentuk dan tujuan negara yang baru di proklamasikan. Sumber foto Buku IPPHOS remastered
Wartawan yang pernah bekerja di beberapa media selama masa kolonial Belanda dan menjadi koresponden United Press pada masa Jepang itu, sangat tidak asing dengan tanah Indonesia. Bouwer tidak pernah meninggalan Indonesia. Saat Jepang mengalahkan Belanda, Bouwer memilih menghilang tanpa jejak. Perawakannya tidak terlalu tinggi dan kurus, serta kulitnya tidak terlalu putih dan hidung tidak terlalu mancung, membuat Bouwer mudah beradaptasi. Bagi pemilik rumah yang dijadikan tempat persembunyian Bouwer, menganggap tamunya itu hanya pemuda indo keturunan. Selama 2 tahun 6 bulan itu, Bouwer tidak pulang ke Belanda atau menjadi tahanan tentara Jepang, namun bersembunyi di sebuah tenpat di Bandung. Dari tempat itu, Bouwer masih melakukan korespondensi dengan beberapa media di Belanda dan memberitakan kondisi Indonesia selama penjajahan Jepang. Setelah Jepang menyerah ke tangan sekutu, Bouwer berani keluar dari persembunyiannya dan melanjutkan pekerjaaannya di United Press.
Saat itu tanggal 2 September 1945, Bouwer untuk pertama kalinya keluar dari Bandung dan pergi ke Jakarta. Tugas Bouwer saat itu melakukan wawancara dengan presiden dan wakil presiden negara baru Indonesia. Setiba di Jakarta, sambil menunggu jadwal pertemuan, Bouwer tinggal di sebuah rumah milik warga pribumi. Setiap hari Bouwer berkeliling dengan naik sepeda untuk melihat situasi Jakarta pasca proklamasi sekaaligus menjadi bahan tulisnya. Empat hari kemudian dia kembali naik sepedanya ke rumah Sukarno di jalan Pegangsaan Timur untuk mewawancarainya.
Rupanya Bouwer berhasil membujuk pengawal Sukarno yang bersenjata lengkap, bahwa ia tidak mempunyai niat jahat. Setelah menungggu kira-kira 30 menit, ia kemudian diantar masuk. Rupanya sudah menunggu diwawancarai Presiden Sukarno bersama Menteri Luar Negeri Subardjo. Awal pembicaraan keduanya dari pertemuan Soekarno dengan Touchi di Dalat. Kemudian Sukarno berbicara tentang peristiwa 18 Agustus 1945 terkait kapitulasi Jepang. “Kapitulasi itu suatu keuntungan” kata Sukarno.
Sukarno sadar bagaimana jika di bawah pemerintahan Jepang dan mengikuti janji kemerdekaannya, maka Indonesia tidak akan mendapatkan kemerdekaan penuh. Sukarno sangat menyangkal bahwa Jepang terlibat dalam proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Pertanyaan terakhir sebelum Bouwer pulang, apakah Republik Indonesia akan melakukan perlawanan jika pasukan Inggris mendarat. Mendapat pertanyaan itu, Sukarno menjawab sangat diplomatis dan kurang tegas. ’’ Sama sekali tidak, kami hanya ingin hidup damai, tujuan kami untuk mendapatkan pengakuan internasional, kami akan berjuang tetapi secara mental tidak dengan senjata, ’’ kata Sukarno
Pasca pertemuan dengan wartawan Bouwer ternyata telah membawa kesan tersendiri bagi Sukarno. Kehadiran wartawan asing ini dianggap strategi untuk menyuarakan gagasan dan membangun solidaritas internasional untuk mendukung kemerdekaan Indonesia. Selain itu kehadiran Bouwer juga dianggap bisa menjadi pembuka pintu diplomasi dengan tentara Inggis. Sukarno merasa butuh kehadiran banyak wartawan asing untuk memfasilitasi perjuangan kemerdekaan Indonesia seutuhnya. Maka beberapa hari kemudian Bouwer diundanag datang untuk melakukan wawancara berikutnya.
Sukarno akrab dengan media asing yang dianggap strategis untuk menyampaikan pendapat dan menggalang dukungan kemerdekaan. Foto IPPHOS
Kali ini pertanyaan Bouwer terhadap Sukarno tentang beredarnya poster-poster sekelompok orang yang menamakan diri Angkatan Muda. Isi tulisannya mengancam akan membunuh dan membasmi orang-orang Belanda. Kepada wartawan Sukarno menyangkal telah mengeluarkan perintah untuk anti Belanda. “ Angkatan Muda mengandung unsur-unsur yang menentang saya dan perintah saya” kata Sukarno dalam otobiografinya tulisan Lambert Giebels.
Wawancara kedua kalinya ini didampingi jajaran kabinet yang baru terbentuk. Menggambarkan posisi sedang terjepit dalam tekanaan dari kelompok pemuda yang dianggap Sukarno terlalu kompromis dengan sekutu. Serta terancam kemungkinan orang Inggris akan menangkap para kolaborator, seperti yang diumumkan melalui sebuah radio NIGIS dari Australia. Maka hari itu tanggal 29 September 1945 di hadapan para media Sukarno seperti mendapat kesempatan bertindak sebagai presiden. (pul)
abad.id-Kota Surabaya semakin metropolis, bahkan kosmopolis karena sudah menjadi tempat hunian warga manca negara. Dengan semakin beragamnya komunitas manca dan nusantara di Surabaya, maka akan bijak bila jati diri kota bisa tetap terjaga dan tidak punah.
Maka perlu ada upaya pelestarian kearifan lokal dan jejak sejarahnya sebagai bekal agar perkembangan dan pertumbuhannya tidak lepas dari akarnya. Akar suatu daerah, bisa berupa benda (artefak) dan nilai nilai (values).
Surabaya masih memiliki akar-akar itu. Tapi semua tergantung pada warganya, apakah mereka mau merawat, memupuk dan menyirami agar tetap dan bisa tumbuh menjadi pohon yang tak lepas dari akarnya.
Tim Begandring melakukan penelusuran data prasasti Kamalagyan pada 2021. Foto dok begandring
Dalam bahasa Jawa sendiri ada ungkapan yang berbunyi "kacang ora ninggal lanjaran", yang berarti kebiasaan anak selalu meniru dari orang tuanya. Ada identitas atau ciri dari tumbuhnya seseorang dan suatu daerah dari pendahulunya. Pun demikian dengan kota Surabaya, bahwa ada ciri dan sifat yang dimiliki Surabaya meski Surabaya Berkembang menjadi kota yang besar dan kosmopolis.
Kita tau bahwa sifat Surabaya itu "berani", sebagaimana sesanti Surabaya sedari dulu. Yaitu Sura ing Baya. Sura ing Baya berarti berani menghadapi bahaya atau tantangan.
Sekarang, di era moderen, pemerintah kota Surabaya pun menggunakan jargon "Surabaya Wani". Wani adalah nilai dasar, yang secara natural dan kultural, telah dimiliki oleh rakyat Surabaya dari zaman ke zaman.
Surabaya lahir dengan membawa sifat berani. Surabaya lahir dari lingkungan yang dihuni oleh orang orang yang berani atau lazim disebut pendekar. Umumnya pendekar telah hidup tidak jauh dari aliran sungai. Karena sungai, secara historis, menjadi tumpuan hidup suatu peradaban.
Begitu pula dengan Surabaya, yang telah menjadi wadah suatu peradaban. Dalam prasasti Canggu (1358) sudah disebutkan bahwa Curabhaya adalah salah satu desa di tepian sungai (naditira pradeca) yang letaknya di hilir sungai.
Semakin Melek Sejarah
Surabaya boleh semakin moderen, tapi jangan sampai lupa akar dan bahkan tercabut dari akarnya. Ini semua tergantung dari warganya.
Untung, warga kota Surabaya semakin hari semakin melek sejarah. Ini bisa dibuktikan dengan adanya jalur akademik yang membuka jurusan jurusan ilmu sejarah. Di Universitas terkemuka seperti Universitas Airlangga (Unair) dan Universitas Negeri Surabaya (Unesa) adalah contohnya.
Belum lagi warga, yang secara mandiri mau belajar sejarah. Adalah komunitas sejarah yang semakin banyak jumlahnya. Mereka secara mandiri berburu data dan sumber sumber sejarah untuk memperkaya pemahaman mereka di bidang sejarah. Mereka menjadi praktisi dan pegiat pegiat di bidang kesejarahan. Bahkan mereka terlihat bagai sejarawan karena wawasan kesejarahannya.
Ketika Begandring menyampaikan nota perubahan hari jadi ke wakil walikota Armuji pada 2021. Foto dok begadring
Lainnya adalah penikmat sejarah, artefak, gedung gedung dan tempat tempat yang menyimpan jejak sejarah. Itu semua menjadi latar (background) untuk dunia fotografi yang instagramable untuk dinikmati. Setting itu menjadi identitas lokal ketika karya fotografi itu menembus batas ruang dan waktu.
Ringkasnya, mereka semakin pintar dan paham sejarah daerahnya. Kemudahan mendapatkan sumber sumber mengasah rasa keingin tahuan mereka, yang menjadi salah satu dari 18 nilai pendidikan karakter nasional.
Apalagi jika ada kelompok atau komunitas yang memang benar benar fokus membidangi sejarah. Mereka tentu akan mengawal lestarinya nilai nilai sejarah itu melalui kegiatan kegiatan yang mereka kreasi dengan tujuan edukasi.
Ketika mereka menemukan temuan temuan yang mutakhir dari kajian sejarah yang telah ada sebelumnya, maka bukan tidak mungkin perlu ada kajian kajian baru yang mengikuti perkembangan perkembangan perspektif (Adrian Perkasa, kandidat doktor di Universitas Leiden, Belanda).
Ternyata sejarah lahirnya kota Surabaya dan sekaligus Hari Jadi Kota Surabaya yang jatuh pada 31 Mei 1293 menjadi pertanyaan banyak pihak, seiring dengan adanya temuan temuan baru.
"Jadi penulisan sejarah, yang merupakan muara dari kajian atau penelitian, ibarat tanda koma (,) bukan (.) kalo dalam sebuah kalimat..', tambah Adrian Perkasa yang juga sejarawan Universitas Airlangga.
Pendapat Sejarawan dan intelektual Tentang Sejarah Hari Jadi Surabaya.
Adrian Perkasa, sejarawan Universitas Airlangga, secara lengkap mengatakan bahwa sebaiknya memang kajian sejarah harus selalu mengikuti perkembangan-perkembangan perspektif maupun temuan-temuan termutakhir. Jadi penulisan sejarah, yang merupakan muara dari kajian atau penelitian, ibarat tanda koma (,) bukan (.) kalo dalam sebuah kalimat.
Buku Hari Jadi Kota Surabaya yang memuat hasil penelitian Tim Peneliti Hari Jadi Surabaya. Foto dok begandring
Prof. Purnawan Basundoro, Dekan Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Unair dan Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Jawa Timur mengatakan bahwa Surabaya adalah kota yang sangat tua. Memiliki perjalanan sejarah panjang, namun belum banyak informasi atau sumber sejarah tertulis yang ditemukan, utamanya untuk periode pra Islam. Akibatnya, masyarakat menggunakan imajinasinya sendiri untuk menebak-nebak tentang sejarah masa lalu tersebut. Ini adalah tantangan bagi sejarawan dan penggiat sejarah untuk menemukan sumber-sumber sejarah tertulis yang lebih valid, yang bisa dijadikan bahan untuk menarasikan ulang sejarah Kota Surabaya.
A Hermas Thony, Wakil Ketua DPRD Surabaya dan Tokoh Kebudayaan Kota Surabaya berpendapat bahwa penulisan tentang hubungan Hujung Galuh dan Surabaya, dimana Hujung Galuh dianggap sebagai cikal bakal Surabaya oleh tim peneliti Hari Jadi Kota Surabaya, yang melakukan penelusuran dan penelitian dalam kurun waktu 1973-1975, adalah hasil dari penelitian yang kurang memiliki referensi masa lalu (sejarah) yang cukup. Apalagi penelitian itu mendasarkan pada nama jalan Galuhan yang dianggap sebagai toponimi Hujung Galuh.
Ia menambahkan bahwa sekalipun salah, keberadaanya telah mengilhami banyak hal yang bernilai positif. Sebagai warga yang baik, semua wajib menghormati karya mereka karena telah memiliki kesadaran awal dan spirit untuk mengisi ruang kosong sejarah surabaya yang lebih positif dalam rangka penyelamatan.
"Soal ternyata yang ditulis dinilai kurang tepat dan Komunitas Begandring Soerabaia menemukan bukti yang lebih kuat, saya rasa semua pihak tidak akan keberatan bila sejarah Surabaya terkait dengan Hujung Galuh dikoreksi, dan ini tradisi yang baik", harap Thony untuk mewujudkan rasa saling terbuka dan berbenah untuk lebih baik.
Menurut Thony, Begandring Soerabaia melalui karya film Koesno yang digarap secara kolaboratif dengan pihak akademik, media dan pemerintah dalam rangka meluruskan sejarah tempat lahirnya Bung Karno adalah metode yang baik dalam upaya pelurusan sejarah. Film itu dibuat berdasarkan kajian dengan sumber sumber sejarah yang valid.
Sementara itu, seorang epigraf Abimardha, dari Universitas Airlangga pernah dengan tegas mengatakan terkait dengan prasasti Kamalagyan yang menuliskan Hujunggaluh dan atas pembacannya bahwa letak Hujung Galuh tidak di Surabaya.
"Untuk permasalahan Hari Jadi Kota Surabaya perlu kajian ulang, termasuk toponimi Pacekan yang menarik disimak.", papar Abimardha.
Selanjutnya ia berharap agar kebenaran sejarah hari jadi kota Surabaya terus disuarakan agar generasi muda bisa benar, benar mengenal sejarah yang sebenarnya.
Dukut Imam Widodo, penulis buku Soerabaia Tempo Doeloe (2003), sebenarnya sudah mempertanyakan sejarah Hari Jadi Kota Surabaya sebagaimana tertulis dalam salah satu bab di buku itu "Sudah Benarkah Tanggal Hari Jadi Kota Surabaya?".
Baru baru ini ketika komunitas Begandring Soerabaia menemukan data dan fakta yang mutakhir, Dukut berani menyatakan kembali keraguannya mengenai Hari Jadi Kota Surabaya tertanggal 31 Mei 1293.
Menurutnya para peneliti, yang dibentuk walikotamadya Surabaya kala itu (1973), dalam menjalankan kerjanya telah memiliki orientasi pemikiran (framing) yang mengkaitkan Hari Jadi Kota Surabaya dengan nilai kepahlawanan 10 November 1945.
Karena framing itulah maka dicarilah peristiwa yang mengandung nilai nilai kepahlawanan sesuai dengan peristiwa 10 November 1945.
Nilai kepahlawanan itu memang ada pada peristiwa kemenangan Raden Wijaya melawan Mongol pada 31 Mei 1293, sebagaimana ditulis dalam jurnal Archipelago Research In Asia yang berjudul "Mongol Fleet on the Way to Java: First Archeological Remains From the Karimata Strait in Indonesia" yang ditulis oleh Hsiao-Chun Hung, Hartatik, Tisna Arif Ma'rifat dan Truman Simanjuntak.
Tapi, laporan itu tidak menyebut bahwa Monggol meninggalkan Jawa melalui Surabaya pada 31 Mei 1293 sebagaimana ditulis dalam buku Hari Jadi Kota Surabaya (Humas Pemkot:1975). Apalagi buku itu menuliskan bahwa keluarnya Monggol melalui kali Jagir, yang ada di wilayah Kota Surabaya. Dasar ini yang kemudian dipakai oleh tim peneliti menggunakan 31 Mei 1293 sebagai Hari Jadi Kota Surabaya. Padahal ada kontradiksi informasi dari kedua sumber itu.
Kontradiksi itu semakin dipertajam oleh penulisan dalam buku Hari Jadi Kota Surabaya bahwa Mongol meninggalkan Jawa melalui Kali Jagir. Secara alami, menurut peta Kota Surabaya tahun 1706 yang dikeluarkan "Grote Atlas van de Verenigging Ost Indisch Compagnie Comprehensive Atlas of the Dutch United East India Company", kali Jagir belum ada. Bagaimana bisa dikatakan bahwa Mongol keluar dari Jawa dengan malalui kali Jagir pada 1293?
"Masalahnya kota ini sudah terlanjur dikenal sebagai Kota Pahlawan. Seandainya saja tidak pernah terjadi peristiwa 10 November 1945, dan Surabaya sudah dikenal sebagai kota pelabuhan dengan Curabhaya nya sebagaimana tersebut pada prasasti Canggu ( 7 Juli 1358), mungkin arah pencarian atau framing akan berbeda", kata Dukut Imam Widodo.
Pencarian Hari Jadi Kota Surabaya hendaknya berdasarkan fakta fakta dan temuan temuan historis yang ada dengan didukung literasi yang cukup. Bukan dicari berdasarkan kepentingan dan framing, meski framing itu adalah baik, misalnya dicari dan disesuaikan dengan makna peristiwa kepahlawanan pada 10 November 1945.
Jika sudah ada framing seperti itu, maka akan mengesampingkan temuan historis yang ada.
Framing dalam penentuan Hari Jadi ini diperkuat dengan kesaksian wartawan senior Yousri Raja Agam yang mengatakan bahwa bulan Mei pada penanggalan 31 Mei 1293 dipilih agar tidak berdekatan dengan peringatan hari hari besar lainnya yang sudah ada seperti bulan Agustus (17 Agustus) dan November (10 November). Yousri Raja Agam menyampaikan ini dalam sebuah diskusi publik yang bertema "Menggugat Hari Jadi Kota Surabaya" pada 31 Mei 2021. (nng/pul)
Penulis : Nanang Purwono