Tokoh
12
Bu Dar mortir pendiri dapur umum selama pertempuran 10 November. (foto: istimewa)
abad.id-Pertempuran di Surabaya makin sengit, sementara amunisi peluru para pejuang sangat terbatas. Mereka datang dari penjuru kota di Indonesia berniat ingin berkorban jiwa dan raganya untuk kemerdekaan. Namun yang mereka jumpai, kota Surabaya seperti neraka yang penuh bara api dan aroma amis darah. Mayat mayat bergelimpangan, serta terdengar dari jauh suara merintih kesakitan. Usaha pertolongan semakin sia-sia, sebab harus melewati rintangan perlawanan dari tentara lawan.
Hanya satu tempat yang paling damai dan jauh dari kebisingan perluru dan bom. Tempat itu berada tersembunyi di garis pinggir, namun sangat menentukan arah pertempuran. Yaitu dapur umum yang dikelola Bu Dar Mortir.
Nama lengkap perempuan itu Dariyah Soerodikoesoemo, namun lebih dikenal sebutan Bu Dar Mortir. Sejak suaminya ikut tewas dalam pertempuan, hidupnya menjadi luntang-lantung tanpa tujuan.
Sebelum pecah perang, kehidupan Bu Dar sangat mapan untuk kelas warga pribumi. Namun kedatangan sekutu di Surabaya sejak September 1945 telah menimbulkan gejolak keamanan dan ketertiban. Para pemuda dan TKR ramai-ramai melakukan pelucutan sepihak senjata dan aset tentara Jepang. Sempat terjadi beberapa pertempuran dan kekacauan di Surabaya karena ada perlawanan. Beberapa pemuda dan TKR tewas dalam kekacauan itu.
Begitu pula dengan keluarga kecil Bu Dan dan suaminya Soerodikoesoemo yang bekerja sebagai pamong praja. Soerodikoesoemo ikut tewas dan mengakibatkan Dariyah menjadi janda. Dariyah marah dan sangat sedih sambil memeluk tubuh suaminya yang tertembak. Saat pemakaman Soerodikoesoemo, Bu Dariyah semakin bertekat ingin membalas kejahatan itu.
Kekuatan tidak seimbang menyebabkan jumlah korban pemuda Surabaya sangat banyak. Pemimpin aksi perlawanan setempat bersama pejabat republik meminta Surabaya harus dikosongkan. Saat itu Bu Dar yang prihatin melihat tentara yang lapar dan terluka. Seketika Bu Dar mendatangi sebuah toko, dan melepas kalung dan gelang emas harta satu satunya yang dibawa mengungsi. Barang berharga seberat 100 gram itu ia tukarkan dengan bahan-bahan makanan mulai beras, saryur dan ikan. Bahan makanan itulah yang kemudian diolah bersama-sama ibu-ibu lain di bekas gudang yang ditinggal pemiliknya di Wonokromo. Kelak asupan ransum ini sangat bermanfaat bagi para pejuang di garis depan.
Aksi Bu Dar membuat dapur umum secara swadaya ini terdengar pimpinan COPP VI di bawah Letkol Latif Hadiningrat. Perang berkecamuk makin besar, Bu Dar langsung diajak terlibat dalam perencanaan menu dan kebutuhan logistik makanan. Terlebih saat Surabaya jatuh ke tangan Inggris dan pasukan pemuda dan TKR melakukan perlawanan gerilya, Bu Dar diminta mengurusi dapur umum. Sementara pasukan COPP VI di bawah pimpinan Letkol Latif Hadiningrat bertugas mencari bahan yang dimasak.
Untuk kebutuhan beras diambil dari gudang beras Sri Sedana yang ada di Sooko. Gudang milik orang Cina itu penuh dengan bahan makanan yang dikumpulkan oleh Jepang sebelum menyerah kalah. Gudang beras itu merupakan tempat penimbunan perbekalan terbesar di Mojokerto. Gudang sejenis yang lebih kecil juga tersebar di wilayah lainnya seperti di Mojosari dan lainnya. Bahan makanan itu dikirim ke Surabaya menggunakan kereta api.
Dalam satu hari, dapur umm Bu Dar di kawasan karang pilang bisa membuat 5 ribu nasi bungkus daun. Ransum itu dibagikan secara estafet oleh kelompok voluntir. Tak hanya mengomando produksi makanan, Bu Dar juga mengawasi distribusi nasi bungkus daun itu. Bu Dar tidak ingin para pejuang mati karena menerima atau mengonsumsi makanan itu dalam keadaan basi. Bahkan, bukan hanya di dapur, rupanya Bu Dar juga menyiapkan dan mengorganisasi pos-pos palang merah. Khususnya untuk merawat para pejuang yang terluka akibat pertempuran.
Sementara beberapa pemuda dan TKR yang sedang istirahat juga memilih mendatangi dapur umum untuk makan sambil ngobrol. Berita berita pertempuran sangat cepat beredar di dapur umum. Sehingga diantara pemuda dan TKR langsung melakukan perencanaan strategi sambil makan dan minum manis.
Kegiatan Dapur umum tidak pernah berhenti selama 24 jam. Di buku Tentara Pelajar, para pemuda dan TKR sangat tidak doyan makan. Begitu selesai perang, perut langsung lapar. Kalau membawa bekal ransum nasi bungkus langsung dimakan. Namun kalau tidak, mereka mendatangi dapur umum terdekat untuk makan apapun yang ada. Bahkan sisa-sisa nasi agak basi juga dimakan.
Ada beberapa saksi yang mengenal Bu Dar Montir dikenal sangat keras dan cekatan. Jika melihat anggota lain kerja lamban menyiapkan ransum, maka lansgung dilempar susur ( bahan kinang dari tembakau dan suruh). Terhadap Keberhasilan Bu Dar Montir membuat dapur umum ini sangat diapresiasi pimpinan militer lainnya. Dalam waktu singkat, Bu Dar diminta membuat 50 dapur umum serupa di titi titik yang sudah disiapkan. Dia adalah 'combat cook' atau dapur umum pusat selama perang yang tidak kenal jam. Dia yang memperhatikan dan merawat pejuang. SDM-nya ada ratusan sampai ribuan orang.
Dalam pertempuran amunisi paling mendukung untuk menang berupa ransum makanan. Ransum tersebut dimasak oleh para relawan ibu-ibu dan didistribusikan hingga garis depan. Foto istimewa
Hingga awal tahun 1946, dapur Umum itu di daerah Wonokromo masih aman dari bahaya perang. Kiriman bahan makanan dari luar kota seperti beras, kelapa, minyak masih lancar menggunakan kereta dan diambil orang suruhan di stasiun. Namun setelah kota Surabaya tidak bisa dipertahakan lagi, maka dapur umum juga dipindahkan mengikuti garis pertahanan yang ditentukan. Dapur Umum kemudian dipindahkan ke Mojokerto yang koordinasinya dibawah kendali DPDS. Pusat kegiatan dapur umum ada di gedung pertemuan Brantas dekat pasar Kliwon. Gedung itu juga menjadi tempat transit bagi para pengungsi yang datang ke Mojokerto sebelum dipindah ke rumah-rumah penduduk. Selain memenuhi kebutuhan para tentara di garis depan, dapur umum juga menyediakan makanan bagi pengungsi.
Pada tahun 1946 sistem pertahanan pejuang disusun menurut garis linier dengan membangun pos pada titik tertentu. ransum makanan bagi pejuang yang berada di garis depan menjadi tanggung jawab dapur umum terdekat. Makanan basah maupun kering harus segera di distribusikan sehingga sering tidak dibungkus rapi. Bungkusan sering rusak saat diterima para pejuang, sehingga makanan sudah basi saat dimakan.
Tugas penyediaan makanan untuk tentara akhirnya dihapuskan dari dapur umum pada awal tahun 1947. Penghapusan karena ada insiden Pesindo dengan Hizbullah. Dua kelompok ini terlibat ketegangan karena Pesindo menuduh Hizbullah menyerobot jatah makan organisasi lain, karena jumlah yang diterima selalu melebihi kebutuhan. Rupanya Pesindo tidak mengerti bahwa selain jatah rutin dari dapur umum, Hizbullah juga memperoleh kiriman makanan dari muslimat NU. Untuk menghindari kecemburuan semacam itu, kemudian diputuskan jatah makanan dirupakan bahan mentah untuk diolah sendiri oleh kesatuannya. Sejak saat itu peran dapur umum mulai berkurang, dan Bu dar Mortir lebih berkonsentrasi penyedian makanan untuk pengungsi.
Cerita dapur umum menjadi kekuatan perlawanan pemuda dan TKR mulai tidak terdengar setelah Mojokerto di duduki tentara NICA pada pertengahan Maret 1947 menjelang perjanjian Linggarjati. Menurut cerita, dapur umum juga ikut pindah ke Jombang mengikuti gerak mundur Pemuda dan TKR yang dipimpin Residen Surabaya, Sudirman. Kiprah dapur umum semakin meredup seiring penataan personil dan para pengungsi mulai menyebar ke tempat-tempat yang bisa memberi kehidupan. Begitu pula kisah perjuangan Bu Dar Montir juga menghilang tanpa meninggalkan catatan apapun. (pul)
Penulis : Pulung Ciptoaji
abad.id-Jika mengenal benteng Marlborough di Bengkulu tentu selalu ingat pula tentang tempat penahanan tokoh panglima perang tanah Jawa Sentot Ali Basyah. Di dalam benteng buatan Inggris kokoh tanpa beton bertulang dan dinding yang dingin itu dibuat tahun 1713. Terdapat sebuah ruangan sang legenda Sentot tinggal selama masa pembuangan. Benteng Marlborough merupakan benteng kedua setelah Benteng York yang dibangun Inggris selama menguasai Bengkulu. Inggris masuk ke Indonesia karena tertarik dengan rempah-rempah, dan hanya menguasai sebagian Sumatra tahun 1685.
Sebenarnya sangat lama Inggris menguasai Bengkulu dan sempat terjadi perselisihan dengan penduduk setempat. Huru-hara itu berupa aksi protes penduduk Bengkulu karena monopoli hasil bumi. Sebagian benteng dirusak dan dibakar. Aksi anarkis ini membuat banyak warga inggris kabur meninggalkan Bengkulu menuju Batavia. Baru lima tahun kemudan pada 1724, Inggris masuk kembali ke tanah Bengkulu. Semua perjanjian dengan raja-raja di Bengkulu diperbaiki dan sama-sama menguntungkan. Hingga akhirnya Inggris meninggalkan Bengkulu tahun 1825 melaui perjanjian dengan Belanda. Yaitu Bengkulu ditukar dengan kerajaan Tamasek ( Singapura) yang sebelumnya dikuasai Belanda.
Sementara itu di tanah jawa, di periode tahun 1825-1830 itu terjadi letusan perang yang dasyat. Perang Diponegoro ini merupakan salah satu babak terbesar yang dihadapi Belanda. Pada saat itu, Pangeran Diponegoro melakukan perlawanan secara gerilya. Begitu pula dengan para pengikutnya yang melakukan hal serupa di daerah-daerah perlawanan yang berbeda.
Dari banyak tokoh pengikut Pangeran Diponegoro itu ada nama Sentot Ali Basyah. Sentot Alibasyah Abdulmustopo Prawirodirdjo dilahirkan pada tahun 1809 putra dari Raden Ronggo Prawirodirdjo, Bupati Montjonegoro Timur dengan salah seorang selir. Ibu dari Raden Ronggo puteri dari Hamengku Buwono I. Jadi hubungannya sama dengan Pangeran Diponegoro, yaitu buyut dari Hamengku Buwono I. Setelah Raden Ronggo Prawirodirdjo yang sangat keras terhadap Belanda itu wafat, Sentot muda diboyong ke kraton Yogjakarta. Pertama kali bergabung dengan pasukan Diponegoro di Gua Selarong pada Agustus 1825 di usia 17 tahun.
Awalnya Pangeran Diponegoro hendak mendidik Sentot menjadi seorang santri. Namun Sentot rupanya tidak minat dan lebih memilih ikut bergerilya. Atas kemampuan dan kepemimpinan Sentot ini, Diponegoro mempercayakan jabatan sebagai Panglima perang. Setelah tiga tahun mengikuti bergerilya pada tahun 1828. Sentot dipilih setelah Gusti Basyah, salah seorang panglima Diponegoro gugur di medan perang.
Tak lama setelah diangkat jadi panglima perang, Sentot Ali Basyah langsung menunjukkan kemampuannya. Pada 5 September 1828, dia dikirim ke Progo Timur dan berhasil memukul mundur tentara Belanda di bawah pimpinan Sollewijn. Beberapa minggu kemudian, dia juga berhasil mengatasi perlawanan Belanda di wilayah Banyumas dan Bagelen. Saat peperangan Sentot sering menggunakan penggerebekan sebagai taktik perang. Sentot menunjukan ketangkasan berperang bersama pasukan penggempur yang dinamakan Bulkijo.
Berkhianat Atau Strategi Perang
Kepandaian Sentot dalam urusan menyusun taktik perang gerilya membuat tak hanya dihormati oleh pasukannya, namun juga oleh lawan. Namun tekanan pasukan Belanda yang mempunyai senjata dan jumlah logistik yang lebih besar, menyebabkan pasukan Diponegoro tepojok. Pangeran Diponegoro dan Sentot terpaksa berjuang secara terpisah. Ketika keadaan pertahanan dan logistik sudah hampir habis, Sentot memutuskan meninggalkan perlawannanya dan masuk kota. Sentot memiluh menyerah sebelum perang Diponegoro berakhir pada 16 Oktober 1829.
Ada beberapa sumber yang menyatakan alasan kenapa Sentot menyerah. Pertama menyebut kalau ia mengambil keuntungan pribadi, ada pula yang menyebut kalau dia sudah tak sanggup melihat kondisi pasukan menderita dan perekonomian rakyat yang miskin akibat perang. Namun ada juga yang menyebut aksi Sentot itu bagian dari taktik perang tanpa akhir.
Sentot ditangkap dan diadili di Batavia. Ia kemudian dibebaskan kembali karena bersedia diajak kerjasama dengan Belanda. Jaminannya mendapat fasilitas dan gaji sebagai tentara dengan pangkat Letnan Kolonel. Sentot juga berhak memilih pasukan dan mengurus logistik perang untuk kepentingan Belanda. Tugas yang diberikan Belanda pertama kali yaitu menumpas pemberontakan Cina di Karawang. setelah tumpas dan sukses, Sentot mendapat tugas pindah menumpas pemberontakan di Salatiga. hasil gemilang ini membuat Sentot kembali dipanggil ke Batavia untuk mendapat penghargaan. Sentot juga harus mendapaat tugas lebih berat, sebagai komandan Belanda menumpas perang Padri di Sumatera Barat.
Sentot menerima tugas itu. pasukan Sentot berangkat menggunakan kapal dan mendarat di Teluk Bayur. Setelah itu pasukan menempuh jalur darat menuju kantong-kantong pasukan padri. Namun sesampai di tujuan, niat Sentot berubah. Sentot sadar bahwa membunuh sesama pemeluk agama Islam sangat tidak diajarkan. Apalagi semangat pasukan Padri ini sama dengan pasukan Diponegoro yang pernah dia pimpin dulu. Yaitu mengusir Belanda dan menuntut keadilan warga jajahan.
Di Sumatera ini diam-diam Sentot justru sering meninggalkan pasukan. Sentot malah melakukan siasat kerja sama dengan Imam Bonjol dan pasukannya, Dengan cara mensuplay kebutuhan logistik serta mengajak pasukan yang dibawa dari Jawa untuk berkhianat bersama. Rupanya akal bulus Sentot ini diketahui Belanda melalui anak buah Sentot yang tidak ikut berkhianat. Bahkan Belanda mengetahui perjanjian Sentot dengan para Imam yang isinya akan membantu mengusir penjajah dari tanah melayu. Tentu kabar ini membuat Belanda sangat marah, Lalu memanggil Sentot ke Batavia. Kembali Sentot disidang lagi dengan dakwaan penghianat. Hasilnya Sentot divonis harus menjalani pembuangan di Bengkulu.
Kondisi makam Sentot pada tahun 1980an yang bercampur dengan makam warga. Foto ist
Namun Belanda masih menghargai jasa-jasa Sentot selama pernah membantu beberapa penumpasan pemberontak. Sebelum menjalani masa hukuman di pembuangan Bengkulu, pemerintah Belanda masih memberi kesempatan Sentot untuk menunaikan ibadah haji ke Mekkah tahun 1833. Setelah pulang haji, Sentot langsung menuju Benteng Marlborough dan menempati salah satu ruang dingin di dalamnya. Selama di Bengkulu ini, Sentot masih mengajarkan ilmu-ilmu dan kaidah-kaidah agama Islam kepada masyarakat. Sentot meninggal dunia pada 17 April 1955 dan dimakamkan di TPU. (pul)
John "Johnny" Florea. Foto Majalah Life
abad.id- Pasca proklamasi 1945, Indonesia perlu mengabarkan kemerdekaannya sebagai negara yang baru. Cara deklaratif ini menjadi penting demi menjalin hubungan internasional dengan negara-negara lain. Sekaigus mengndang solidaritas antar negara untuk pengakuan kedaulatan Indonesia. Cara paling mudah para pemimpin Indonesia mengundang wartawan asing untuk mewartakan opini mereka mengenai keadaan Tanah Air.
Sejak awal Oktober 1945, pemerintah RI banyak mengundang wartawan dari luar negeri untuk mewartakan kemerdekaan Indonesia. Salah satu wartawan yang paling bersemangat bernama Bouwer dari United Press. Sejak tanggal 2 September 1945 Bouwer sudah berada di dalam kereta api menuju Jakarta dari Bandung. Sungguh beruntung Bouwer yang sangat paham kondisi Indonesia sejak sebelum pendudukan Jepang hingga proklamasi kemerdekaan. Sebab warga Belanda ini memilih tidak pulang atau mengungsi ke Australia selama pendudukan Jepang. Dia bersembunyi di sebuah rumah di Bandung dan menyamar sebagai warga lokal. Saat Sukarno Hatta memproklamasikan kemerdekaan, Bouwer langsung bergegas ingin segera ke Jakarta untuk melanjutkan pekerjaannya sebagai wartawan.
Setiba di Jakarta, Bouwer tidak langsung bisa menemui Sukarno. Dia harus menginap beberapa hari di sebuah rumah milik koleganya. Sambil menunggu jadwal yang tepat untuk bertemu pemerintahan Sukarno, Bouwer naik sepeda keliling kota. Tugas ini untuk melihat situasi pasca proklamasi. Tulisan Bouwer yang menggambarkan suasana Jakarta ditulis di United Press dan selalu menjadi halaman utama.
Lalu ada pula wartawan dan fotografer terkenal Cartier Berson, Hugo Wilmar, Bert Hardy yang sangat rajin mengabadikan keadaan republik Indonesia untuk negaranya masing-masing. Di antara banyaknya fotografer yang turut mengabadikan peristiwa tersebut ada nama jurnalis foto John "Johnny" Florea. John mendapat kesempatan emas untuk meliput kegiatan tiga serangkai Soekarno-Hatta-Sjahrir saat melawat ke berbagai daerah di Pulau Jawa selama 10 hari.
Johnny bukanlah fotografer kemarin sore. Dia lahir di Alliance, Ohio, pada 1916. Johnny Florea yang berperawakan tegap dengan tubuh gempal ini memulai kariernya di San Francisco Examiner sebagai fotografer spesialis potret selebriti, mulai tokoh Jane Russel hingga artis Marilyn Monroe.
Saat menekuni fotografi hiburan, tak pernah ada dalam niatan Johnny untuk meliput perang. Tapi, saat pecah perang dunia kedua, hatinya tergerak untuk mengabarkan peristiwa tersebut. Jhon bergabung dengan majalah Life untuk meliput perang di Laut Pasifik pada 1945.
John "Johnny" Florea. Foto Majalah Life
Berdasarkan pengalamannya inilah membuat Perdana Menteri Sjahrir terkesan dan memperbolehkan Jhon meliput pemerintahan baru RI. Dalam rombongan itu tutut serta Johnny, juga wakil kantor berita Aneta Hans Martinot serta aktifis kemerdekaan Ktut Tantri. Ikut serta jurnalis Indonesia seperti BM Diah, Mendur bersaudara, dan Rosihan Anwar yang mengabadikan momen-momen bersejarah untuk medianya masing-masing.
Kegiatan Johnny Florea dan para wartawan selama mendampingi rombongan mengabarkan bahwa Indonesia sudah merdeka, juga memantik semangat api revolusi yang dikobarkan oleh proklamator kepada penduduk di pelosok. Adapun, perjalanan itu dilakukan dengan menumpang Kereta Api Luar Biasa Kepresidenan Republik Indonesia yang dimulai pada 16 Desember 1945.
Dalam perjalanan ini Johnny berhasil memotret momen saat Bung Karno mengunjungi Ibunda di Jalan Sultan Agung Blitar. Dia juga mengabadikan rapat-rapat raksasa di alun-alun yang disinggahi. Tak hanya itu, salah satu karyanya yang ikonik saat mengabadikan momen sosok tiga serangkai yang sedang berdiskusi di rumah Sukarno. Safari Sukarno ini berakhir di Selekta, sebuah tempat peristirahatan di Malang.
Tiga serangkai yang sedang berdiskusi di rumah Sukarno. Foto dok net
Hasil reportase Johnny kemudian dimuat di majalah Life edisi 28 Januari 1946 dengan judul Revolt in Java. Artikel tersebut secara subyektif cenderung bersimpati kepada perjuangan Republik Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan.
Sementara itu bagi Sukarno perjalanan keliling pulau jawa ini sangat bermuatan politis. Pertama untuk membuktikan insinuasi Tan Malaka yang menyatakan bahwa Sukarno Hatta dalam bahaya dan ancaman penangkapan. Selaian itu untuk cek sound keberadaan negara yang baru dibentuk dihadapan rakyat dengan memanfaatkan popularitas Sukarno Hatta.
Sukarno sangat berkesan hasil perjalanan yang diliput wartawan tersebut. Terutama kepada Hans Martinot yang dalam perjalanannya berhasil membina hubungan persahabatan sangat dekat dengan. Dari perjalanan safari inilah para wartawan berhasil menciptakan imaji bersejarah bagi keberadaan dan identitas Republik Indonesia ke mata dunia. Sukarno juga berhasil meyakinkan bahwa kekuasaannya sebagai kepala negara masih utuh, dan Republik Indonesia dapat mengendalikan situasi dalam negeri secara baik. (pul)
Penulis : Pulung Ciptoaji
abad.id- Sutan Syahrir perdana menteri pertama Indonesia yang memiliki peran cukup besar dalam kemerdekaan Indonesia. Sutan Syahrir, salah satu tokoh pergerakan Indonesia yang mengenyam pendidikan di Eropa memiliki sebuah kisah cinta yang unik. Kisah Syahrir layaknya sebuah cerita roman, tentang cinta buta hingga tragedi yang membuat keduanya terpisah.
Sebenarnya Sutan Syahrir berasal dari prototipe suatu keluarga belanda coklat. Syahrir dilahirkan di Padang Panjang pada 5 Maret 1909. Ayahnya Muhamad Rasad begelar Maharaja Sutan bekerja menjadi jaksa. Rasad ayah Syahrir sangat bahagia, sebab tinggal bersama dari 25 anak dari 3 istri. Saat masa keemasan pernah menjadi kepala jaksa dan dianugrahi tanda jasa sebagai ridder in de orde van oranje nassau. Ketika tinggal di Medan, Syahrir memasuki usia sekolah SD Belanda. Lalu melanjutkan di MULO. Dalam rangka kebutuhan pendidikan, pada tahun 1926 Syahrir dikirim ke Bandung untuk menjasi siswa di sekolah AMS. Sekolah AMS ini favoit dan pendidikan lanjutan bagi lulusan MULO. Lulusannya membuka jalan untuk melanjutkan lebih tinggi di Belanda.
Selama di Bandung, Syahrir muda yang berumur 15 tahun telah aktif di gerakan nasionalis. Di gerakan inilah dia sudah kenal dengan Sukarno di beberapa forum diskusi. Padahal Sukarno sudah menjadi lulus dari mahasiswa, sementara Syahrir masih pemuda yang penuh ambisi. Suatu saat Sukarno menjadi pembicara tamu, sementara Syahrir sebagai moderator. Pertemuan itu ternyata tidak berkesan bagi keduanya, sebab justru menimbulkan perang ide antara pelajar dengan pimpinan PNI yang 8 tahun lebih tua. Sukarno sangat tersinggung saat Syahrir memotong pembicaraan dengan mengetok palu. Saat itu tensi diskusi sedang seru-serunya. Penyebabnya Sukarno dianggap terlalu sering menggunakan kata-kata berbahasa Belanda di tengah forum yang dihadiri kaum pribumi.
Keluarga Syahrir sangat mampu untuk membiayai sekolah lanjutan ke belanda. Pada tahun 1929, Syahrir dikirim ke belanda untuk mengikuti pendidikan universitas. “ Tidak ada yang terasa asing bagi saya waktu tiba di Belanda,” kata Syahrir bercerita tentang perkenalannya dengan negara kincir angin itu.
Syahrir tiba di negeri Belanda di akhir musim panas tahun 1929. Syahrir dijemput keluarga Djoehana, temopat awal menumpang. Namun Dokter Djoehana dan Sjahrizal, kakak perempuan Syahrir, hanya sampai 1931 saja tinggal di Belanda. Begitu diploma diraih suami kakaknya, Syahrir hidup sebatang kara di negeri kincir angin.
Selama di Belanda, Syahrir sempat mendaftarkan diri ke fakultas hukum di Universitas Kotamadya Amsterdam, dan Universitas Negara di Leiden. Dari dua kampus tersebut, belum pernah ada catatan Syahrir berhasil menyelesaikannya. Syarir lebih banyak berkelana di Belanda, dan berdiskusi dari forum ke forum. Pemikiran Syahrir sangat dipengaruhi Marx dan Engels. Juga terdapat guru lain penganut marxis fanatik seperti Rosa Luxemburg, Kautsky serta henriette Roland Hols. Stahrir juga menjadi anggota aktif perkumpulan mahasiswa Indonesia, Perhimpunan Indonesia dibawah ketua Mohammad Hatta. Tidak terlalu lama, Syahrir menjadi sekretaris PI.
Setelah berkelana di Amsterdam untuk beberapa waktu, Syahrir mendapat pemondokan di rumah Sal Tas. Keduanya berkenalan di sebuah Perkumpulan mahasiswa Sosial Demokrasi yang diketuai Sal Tas. Perkumpulan ini agak condong ke SDA, tetapi layaknya perkumpulan mahasiswa jauh lebih radikal daripada partai induknya.
Maria Johanna Duchateau
Saat itu Maria Johanna Duchateau masih sangat cantik. Namun, Maria sudah jadi istri Salomon “Sal” Tas induk semangnya. Untung ada Sal Tas. Anak tukang roti yang gandrung pada sastra, musik, dan politik itu menampung Syahrir muda. “Dengan mudah Syahrir dan Tas berteman dan setelah keluarga Djoehana pergi, Syahrir pindah ke rumah kecil Tas yang tidak jauh dari situ,” tulis Rudolf Mrazek dalam Syahrir: Politik dan Pengasingan di Indonesia.
Rumah itu dihuni Sal Tas, istrinya Maria Johanna Duchateau, serta dua anak mereka, dan seorang perempuan bernama Judith van Wamel. Tentu saja ditambah Syahrir yang menumpang. Keluarga ini sering terlihat bersenang-senang ala mereka, mulai pergi ke rumah makan, teater, konser, juga pertemuan politik.
Namun pada November 1931, Syahrir harus angkat kaki dari Belanda setelah dipecat dari PI. Penyebabnya beberapa mahasiswa anggota PI menganggap syaahrir dan Hatta tidak solidaritas kepada Sukarno yang saat itu sedang mendekaam di penjara sukamiskin. Sebelum pulang, rupanya Syahrir sudah terlalu akrab dengan Maria Johanna Duchateau. Kala itu, Maria dan Tas sedang mengalami masa suram pernikahan. Meski sudah punya dua anak, keduanya tampak asyik dengan dunianya masing-masing.
Maria belakangan bahkan seolah-olah membiarkan Tas berhubungan dengan Judith. Sementara Maria Johanna Duchateau juga terlibat cinta dengan Syahrir. Dua sejoli ini punya panggilan kesayangan. Sidi untuk Syahrir dan Mieske untuk Maria. Sal Tas pun tak ambil pusing atas hubungan istrinya dengan sahabatnya itu.
Bulan Desember 1931, Syahrir sudah tiba di Batavia. Dia lalu jadi Ketua Redaksi Daulat Ra'jat. Syahrir tidak menjadi pengekor gaya kaum pergerakan, baik mereka yang dalam pengawasan maupun pemenjaraan seperti Sukarno. Syahrir sering muncul dengan dandanan bohemian: sarung lecek sebagai bawahan, jas sebagai atasan, juga peci di kepala.
Pertemuan Syahrir dengan Sukarno terjadi di Bandung pada 4 Januari 1932 di rumah Gatot seorang aktifis PNI. Sebenarnya keduanya tidak asing, meskipun Syahrir berusia lebih muda dari Sukarno. Syahrir juga dikenal seorang yang pintar menyimpan perasaan, sehingga saat pertemuan itu, dia lebih banyak diam dan Sukarno lebih dominan berbicara tentang arah perjuangan. Atau mungkin pikiran Syahrir sedang tidak nyaman dan masih terkenang perpisahan dengan kekasihnya Maria Duchateau. Sehingga tidak nyambung arah pembicaraan saat diskusi. “Sukarno sudah bebas dan akan mendirikan partai baru dengan tujuan mempersatukan kelompok PNI lama. Saya sudah berbicara dengannya, ia boleh dikatakan memohon bantuan saya. Walaupun demikian saya belum bisa memberi jawaban yang lugas. Saya nasihati dia untuk mempelajari posisi dan sudut pandang kami, dan setelah itu baru berbicara ke kami,” kata Syahrir tentang apa saja yang dibahas dalam pertemuan dengan Sukarno.
Hasil pertemuan dengan Sukarno tidak ada pembahasan penting yang perlu ditindak lanjuti. Saat itu pikiran Syahrir ingin segera ke edan untuk menjemput kekasih hatinya Maria Duchateau. Dalam surat yang dikirim terakhir, Maria akan datang tanggal 28 Maret 1032 di bersama dua anaknya.
Keduanya benar benar telah membuat sejarah gila. Pertama sebelum meninggalkan Belanda, ternyata Maria belum resmi bercerai dengan Sal Tas. Catatan lain keduanya hendak melakukan kawin campur di era kolonialisme yang rasis. Akhirnya tanggal 10 April 1932 mereka menikah siri di Masjid, dan langsung menjadi pasangan eksentrik di Medan. Mereka tinggal di sebuah rumah di kota Medan, berbelanja kebutuhan sehari-hari di Pasar Kesawen, atau sekedar berjalan santai bergandengan tangan mesra di Grand Hotel. Aksi itu tentu sangat terlarang bagi pribumi. “Maria berjalan-jalan di kota Medan, berkain sarung dan kebaya, bergandengan tangan dengan suaminya yang orang Indonesia,” tulis Frances Gouda dalam Dutch Culture Overseas: Praktik Kolonial di Hindia Belanda, 1900-1942.
Pasangan itu bikin gerah orang-orang Eropa rasis di Medan. Orang-orang kulit putih sangat risih, bahkan bertanya ke Maria, barangkali membutuhkan pertolongan. Hal ini menunjukan seolah-olah Syahrir pribumi yang jahat
Pernikahan dua ras yang berbeda itu menjadi perhatian mencolok bagi Belanda. Dengan cepat, berita soal Syahrir bersama Maria tersiar ke kalangan masyarakat Belanda hingga penduduk pribumi. Surat kabar Sumatra Post mengungkapkan bahwa wanita kulit putih yang bergandengan mesra dengan laki-laki pribumi, berjalana keliling kota dengan berlagak. Wanita yang bernama Maria ini sebenarnya masih istri sah dari seorang revolusioner Belanda yang terkenal. Tidak hanya itu media lokal ini juga memuat artikel untuk mendesak pemerintah bertindak terhadap Syahrir dan istrinya.
Kabar hubungan Syahrir dan Maria cepat tersiar dan sangat sinis. Membuat Imam yang mengawinkan mereka langsung menyatakan pernikahan tersebut tidak sah. Sebab Maria belum resmi bercerai dari suami sebelumnya yang berada di Belanda. Sehingga, pernikahan Syahrir dengan Maria hanya berjalan satu bulan.
Atas keputusan itu, pejabat Belanda memulangkan paksa Maria dan dua anaknya kembali ke kampung halamannya menggunakan kapal SS Marnix dari St Aldegonde. Maria pulang ke Belanda dalam keadaan hamil, namun akhirnya mengalami keguguran pada 14 Mei 1932. Peristiwa ini juga dijadikan peringatan penting dari pemerintah Belanda kepada aktivis pergerakan lainnya.
Setelah dipulangkan ke Belanda, Maria terus mencari akal untuk bisa kembali bertemu sang suami. Maria kirim surat kepada Ratu Belanda untuk bisa membawa kembali Syahrir, dengan alasan melanjutkan studi di Belanda. Namun permintaan itu ditolak. Hingga pada tahun 1934, pemerintah Belanda meringkus puluhan anggota PNI, tak terkecuali Bung Hatta dan Syahrir.
Syahrir ditangkap saat hendak bertolak ke Belanda menyusul Maria. Ikut pula diamankan sebuah tiket kapal SS Aramis yang sudah dipesannya jauh-jauh hari. Pertemuan dengan Maria kembali gagal karena Syahrir harus mendekam di balik jeruji penjara Cipinang. Selama masa tahanan, Syahrir ternyata dikenal orang yang tidak tahan kesendirian. Ia selalu berkiirm surat kepada orang yang dikasihinya, sebagai cara mengusir depresi kesendirian. Apa pun diceritakan Syahrir kepada Maria dalam bahasa Belanda, mulai ukuran sel tahanannya hingga makanan di penjara.
"Makin lama aku makin banyak melupakan apakah selera dan perangsang itu. Aku kini menganggap makan sebagai kewajiban, dan dengan demikian rasa kenyang beralih dari makan ke arah yang dimakan, kira-kira cara yang sama degan orang yag merasa puas menyelesaikan sebuah pekerjaan. Kepuasan rohain dari jiwa lebih banyak daripada kepuasan hawa nafsu perut jadi kepuasan dengan spiritualital 'yang lebih tinggi'. Kamu dapat melihat apa yang ditekan jika makan memakai semangkok dari kaleng," tulis Syahrir dalam suratnya untuk Maria.
Akhirnya tanggal 16 November 1934, pemerinah Hindia belanda memutuskan lima pimpinan PNI diasingkan ke Boven Digul yang sangat terpencil. Bung Hatta dan Syahrir turut di dalamnya. Meskipun mereka menganggap pengasingan itu sebagai sebuah tamasya yang tak jelas kapan selesainya.
Akhir babak hubungan jarak jauh Syahrir dan Maria meskipun rajin bersurat mulai retak. Syahrir di Indonesia timur dan Maria di Belanda. Surat-menyurat itu sempat terputus oleh Perang Dunia II. Ketika Depresi Ekonomi eropa dampak perang terjadi, Sjahsam, salah seorang adik Syahrir dengan usia dua tahun lebih muda, diminta untuk membantu Maria dan anak-anaknya.
Kisah perjalanan mereka menuju Boven Digul yang saat itu ditakuti karena wabah malaria yang mematikan diceritakan Syahrir kepada Maria dengan pandangan optimis. Dia juga menceritakan buku-buku bacaanya selama menjadi tahanan yakni kitab Injil hingga novel. Sama sekali tidak ada hubungannya dengan politik.
Dia pun bercerita soal interaksinya dengan "orang buangan" lain di Digoel yang tidak terpelajar. Selama di sana, tingkah laku Syahrir dianggap cukup aneh. Syahrir lebih senang berkelana melalui perahu kano menyusuri Sungai Digoel, berenang, hingga bermain bola. Syahrir juga dikenal sebagai "pengelana jenaka". Selama berada di pengasingan, Syahrir seolah-olah melepaskan diri dari dunia politik. Hal ini berbeda dengan rekannya, Bung Hatta yang masih aktif mengirimkan tulisan-tulisannya ke surat kabar.
Setelah ditelusuri, ternyata Syahrir membuat kesepakatan dengan Belanda untuk tidak menuliskan atau pun terlibat dalam pergerakan politik apa pun. Dengan catatan Syahrir akan mendapat tambahan uang dari Belanda untuk biaya korespondensi dengan Maria dari yang semula 2,6 gulden menjadi 7,5 gulden. Sebab bagi Syahrir, Maria adalah penyemangat hidupnya.
Ketika Belanda diduduki pasukan Nazi Jerman, seluruh korespondensi terputus. Ternyata mulai dari 1931-1940, Maria menerima 287 surat dengan panjang antara 4-7 halaman dari Syahrir. Maria sempat berpikir untuk membakarnya namun dicegah suaminya yang juga adik Syahrir, Sutan Sjahsyam. Diputuskan surat surat itu akan dibukukan dengan judul Indonesische Overpeinzingen, dan diterbitkan di Amsterdam pada 1945.
Syahrir baru bertemu Maria setelah 15 tahun kemudian, yaitu pada 1947 di New Delhi. Kala itu Syahrir sudah menjadi Perdana Menteri Indonesia dan berkunjung ke India bersama rombongan. Ketika bertemu di bandara, Syahrir sempat mencium pipi kanan dan pipi kiri Maria. Tapi, menurut Maria Duchateau, merasakan Syahrir sudah berubah. Mungkin disebabkan Syahrir telah menjadi negarawan, atau sikap canggung karena sedang punya hubungan dekat dengan Popy sekretarisnya. (pul)
Foto ini diambil sekitar tahun 1926. Sekolah SGKP terletak di semarang, bangunan sekolah termasuk mewah lengkap dengan taman dan arena bermain. Foto dok File femina
Penulis : Pulung Ciptoaji
Sebenarnya antara Van Deventer dengan Kartini terpaut usia yang jauh. Mereka hanya sekali bertemu saat Kartini berada di Rembang dan berusia 12 tahun. Tidak ada kesan apapun pada diri Van deventer terhadap pertemuan itu, hanya dia melihat ada sosok anak Bupati Jepara itu sangat bersemangat ingin melanjutkan sekolah. Komunikasi tidak berlanjut. Bahkan saat Kartini aktif menulis surat-suratnya kepada teman-teman puteri di Negeri Belanda, keluarga Van Deventer juga sudah meninggalkan Indonesia.
Namun betapa terkejutnya van Deventer ketika membaca surat-surat kartini yang diterbitkan dalam surat kabar Belanda pada tahun 1911. Van Deventer terkesan sekali, sehingga tergerak untuk menulis sebuah resensi yang panjang-lebar, sekadar untuk menyebarluaskan cita-cita Kartini, yang cocok dengan cita-cita Van Deventer sendiri. Yaitu mengangkat bangsa pribumi secara rohani dan ekonomis, memperjuangkan emansipasi perempuan. Segera keluarga Van Deventer menghubungi Abendanon dan menyatakan minat terhadap cita-cita Kartini.
Sejak itulah, Nyonya Van Deventer tampil ke muka. Tahun 1913 ia mendirikan Yayasan Kartini, yang dimaksudkan untuk membuka sekolah-sekolah bagi puteri-puteri pribumi. Namun hanya 2 tahun mengelola sekolah itu, van Deventer meninggal (1915). Cita-cita itu diteruskan Nyonya Deventer yang mengurus segala-galanya dengan tak kenal lelah. Ribuan murid puteri pun memasuki "Sekolah Kartini" yang bernaung di bawah Yayasan Kartini. Waktu Belanda diduduki Jerman (1940), Nyonya Deventer meninggal dalam usia 85 tahun. Ia mewariskan sejumlah besar dana yang bisa dimanfaatkan untuk memajukan bangsa Indonesia dalam bidang pendidikan. Selanjutnya dana tersebut dikelola oleh Van Deventer-Maas Stichting.
Pengacara, Wartawan dan Politikus Van Deventer
Pengacara, dan penulis asal Belanda Conrad Theodor "Coen" van Deventer lahir 29 September 1857 dan meninggal dunia 27 September 1915. Van Deventer anak dari Christiaan Julius van Deventer dan Anne Marie Busken Huet. Ia menikah dengan Elisabeth Maria Louise Maas, namun tidak memiliki anak. Van Deventer pernah mengenam pendidikan di HBS dan belajar hukum di Universitas Leiden. Di usia muda meraih gelar doktor pada bulan September 1879 dengan tesis: "Zijn naar de grondwet onze koloniën delen van het rijk" ("menurut konstitusi, daerah jajahan kita bagian dari kerajaan Belanda").
Pada 20 Agustus 1880 ia keluarga kecil ini beranagkat menuju Hindia Belanda dan bekerja untuk Gubernur Jenderal Hindia Belanda oleh Kementerian Koloni. Jabatannya sebagai pejabat layanan sipil. Dia masih ingat, saat awal meninggalkan negara yang sangat makmur Belanda, dengan menumpak kapal uap Prins Hendrik menuju tanah jajahan yang penuh duka lara. Di awal karirnya di tanah jajahan bekerja sebagai panitera di Raad van Justitie (Dewan Kehakiman) di Amboina pada bulan Desember 1880. Dalam waktu setahun adaptasi di sebuah kebudayaaan baru, Van Deventer sudah mulai merasakan disparitas dan ketimpangan ekonomi antara warga jajahan dan kaum Belanda. Pada bulan Juni 1882 ia juga ditunjuk sebagai oditur militer (sebuah jabatan hukum) di pengadilan militer di Amboina. Pada Maret 1883 ia diangkat menjadi anggota Dewan Kehakiman di Semarang. Selama di pulau jawa inilah, pergaulan Van Deventer denan para priyayi dan pribumi semakin luas. Dia pernah berkunjung ke pendopo Kabupaten Rembang, serta bertemu dengan Kartini kecil berusia 12 tahun. Hasil perjalanan di jawa ini menjadi sebuah serangkaian artikel di Soerabaijasch Handelsblad.
Van Deventer menulis pada Februari 1884 sebuah artikel dalam "Het Indisch Weekblad voor het Recht" (Jurnal Hukum Hindia Belanda), berjudul De Indische Militairen en het Koninklijke Besluit van 13 Oktober 1882 nummer 26 (Militer di Hindia Belanda dan perintah kerajaan tanggal 13 Oktober 1882). Dalam hal ini membahas persidangan seorang tentara Bugis di depan pengadilan sipil (polisi) dan bukan pengadilan militer.
Pada bulan April 1885 Van Deventer berhenti dari pekerjaannya sebagai anggota Dewan Kehakiman di Semarang dan diangkat menjadi pengacara dan jaksa pada Majelis Kehakiman. Dalam periode hidupnya Van Deventer juga aktif sebagai letnan dua di schutterij. Pada tahun yang sama, 1885, dia berhenti dari pekerjaannya di Dewan Kehakiman dan lebih serius praktik hukum LLM B.R.W.A. baron Sloet van Hagensdorp dan LLM M.H.C. van Oosterzee. Van Deventer menggantikan Mr. Van Oosterzee, yang akan kembali ke Belanda.
Van Deventer bekerja sebagai pengacara swasta dari tahun 1885 hingga 1888. Selama 3 tahun beracara dan cukup tabungan, bulan Mei 1888 Van Deventer memilih pulang ke Eropa bersama istrinya dengan kapal uap Prinses Amalia. Perjalanan itu ditempuh dari Batavia menuju Belanda dalam waktu lebih cepat 2 bulan. Selama di Eropa, ia menulis serangkaian artikel. Salah satunya yang paling sering dibahas berjudul De Wagner-feesten te Bayreuth (festival Wagner di Bayreuth) yan dimuat di surat kabar "De Locomotief". Rupanya bakat diplomasi, menulis dan pengacara sudah menjadi bagian perjalanan hidup Van Deventer. Dia rupanya lebih tertarik menjadi karyawan tetap koran De Locomotief.
Namun rupanya hanya satu tahun De Locomotief berada di belanda dan memilih kembalai ke tanah jajahan. Hal ini disebabkan wataknya yang keras dan lebih tertarik pada petualangan baru sebagai jurnalis merangkap pengacara. Ia kembali ke Hindia Belanda pada tanggal 11 Mei 1889 dengan kapal uap Sumatra. Ia melanjutkan praktik pengacara dan meangkap menjadi komisaris perseroan terbatas "Hȏtel du Pavillon". Kemampuan mengelola firma juga terbukti semakin baik, sehingga pemerintah Belanda mengangkatnya menjadi anggota Komite Direksi Nederlands-Indische Spoorweg Maatschappij (Perusahaan Kereta Api Hindia Timur Belanda) Pada bulan September 1892. Setahun kemudian karir militernya yang cemerlang, Van Deventer dipromosikan mendapatkan pangkat letnan satu di Schutterij di Semarang.
Van Deventer Gelisah Dengan Kebodohan dan Kemiskinan
Awal munculnya kebijakan politik etis salah satunya juga peran dan Van Deventer. Selain banyak tokoh lain yang lebih mendahukui melalui tulisan, seperti Max Havelar serta. Pada tahun 1899 Van Deventer juga menulis artikel yang sangat berpengaruh, berjudul "Een Ereschuld" (hutang kehormatan) di majalah Belanda "De Gids". Dalam artikel ini Van Deventer menyatakan bahwa Belanda memiliki hutang kehormatan hampir 190 juta gulden kepada Hindia Belanda.
Menurunya, semua kekayaan dan kejayaan yang didapat pemerintah Belanda adalah hutang. Dia melihat sendiri penderitaan warga pribumi sehingga bisa merubah hati nurani Van Deventer. Sejak 30 April 1886, Deventer sudah mengirim surat di sebuah surat kabar yang isinya perlunya sebuah tindakan yang lebih manusiawi kepada kaum pribumi. Dia belajar dari kebangkrutan Spanyol akibat salah pengelolaan tanah jajahan.
Gerakan Van Deventer 1899 itu melalui majalah De Gids (Panduan), berjudul Een Eereschuld (Hutang kehormatan). Pengertian Eereschuld secara substansial hukum berarti Hutang yang demi kehormatan harus dibayar, walaupun tidak dapat dituntut di muka hakim. Tulisan itu berisi angka-angka konkret yang menjelaskan pada rakyat Belanda bagaimana mereka menjadi negara yang makmur merupakan akibat penindasan dan kolonialisasi. Terutama datang dari tanah jajahan di Hindia Belanda. Sebaliknya kehidupan di tanah jajahan sangat miskin dan terbelakang. "Maka sudah sepantasnya jika kekayaan tersebut dikembalikan," tulis Van Deventer.
Dampaknya khusus anggaran Hindia Timur Belanda dibahas di Tweede Kamer (DPR). Banyak perhatian diberikan pada artikel Van Deventer ini. Meskipun tidak semua anggota setuju dengan isi artikel, namun setidaknya Van Deventer telah membuat gebrakan agar publik Belanda yang sudah mapan dan makmur menjadi ngerti. Bahwa asal kemakmuran itu dari keringat dan penindasan. Sejak saat itu, The Gids juga sering memuat tulisan Van Deventer sejak 1 Januari 1901 dengan isi yang kritis teradao kebijakan politik Etis.
Pada Juni 1901 Van Deventer mendukung pengangkatan Dewan Perwakilan Rakyat Hindia Timur Belanda di Hindia Belanda. Pada bulan Juni 1902 ia diangkat sebagai anggota "Algemeen Nederlands Verbond" (Asosiasi Umum Belanda). Dalam programnya, menyatakan bahwa kekuasaan administratif harus lebih terletak pada penduduk Hindia Belanda. Van Deventer menjadi anggota dewan Lembaga Ilmu Bahasa, Negara dan Antropologi Kerajaan Belanda (1903) dan pada tahun yang sama menghadiri pertemuan "Institut Kolonial Internasional" di London. Pada bulan September 1904 ia diangkat menjadi ksatria dalam Ordo Singa Belanda.
Van Deventer terpilih menjadi anggota parlemen pada 19 September 1911, ketika ia diangkat sebagai anggota Eerste Kamer (Senat) oleh Negara Bagian Friesland. Pada periode ini ia juga diangkat menjadi anggota Max Havelaar Foundation. Sebuah Yayasan dinamai berdasarkan buku terkenal yang ditulis oleh Multatuli. Tujuan dari yayasan tersebut untuk mengangkat warga prbumi dari jurang kemiskinan dan kebodohan. Pada bulan Februari 1912, sebagai anggota Senat melakukan perjalanan selama beberapa bulan ke Hindia Belanda. Ia mengunjungi hampir semua pulau, dan tetap menjadi anggota Senat sampai 16 September 1913. Pada tahun inilah ia mendirikan Yayasan Kartini untuk memberi kesempatan para remaja putri di Hindia Belanda mendapatkan pendidikan dan ketrampilan. Atas dedikasinya ini, dia berhasil terpilih kembali sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Namun hanya 2 tahun, pada bulan September 1915 Van Deventer jatuh sakit parah dan dirawat di rumah sakit Palang Merah di Den Haag. Dia meninggal pada usia 57 tahun pada 27 September 1915 dan tubuhnya dikremasi di Westerveld.
Sekolah Van Deventer, Jejak Lahirnya Guru Perempuan
Ada banyak catatan betapa pentingnya perempuan itu harus pintar. Sebab kemadjuan sebuah bangsa dimulai dari sosok ibu yang harus pintar memberi wawasan dan pengalaman kepada anaknya. Motivasi ibu yang berpendidikan ini akan melahirkan sebuah generasi yang lebih maju. Catatan itu yang tampak di Van Deventer Scool. Mereka yang bersekolah disana diibaratkan bidadari sedang beramain ke taman bunga. Sekolah khusus perempuan ini mendidik calon guru kepandaian putri [SGKP].
Salah satu program Van Deventer adalah pendirian sekolah bagi perempuan di Solo pada tahun 1918. Sekolah van Deventer mulanya berbentuk sebagai Sekolah Guru Frobelkweekschool (Taman Kanak-kanak). kemudian berkembang terus menjadi Sekolah Nijverheidschool (Kepandaian Putri). Sekolah ini berfokus pada pendidikan untuk guru dalam mendidik kaum perempuan pribumi agar terampil. Kurikulum yang diajarkan di Sekolah van Deventer juga berupa Normalschool, sehingga lulusan dari Sekolah van Deventer dapat menjadi guru di sekolah pemerintah dan guru untuk mata pelajaran keterampilan perempuan di sekolah khusus perempuan.
Untukmenunjang itu, gedung SGKP dilengkapi prasana lengkap salah satunya asrama putri. Di dalam gedung tersebut terdapat ruang-ruang untuk latihan memasak membatik, bermain musik atau gemelam. Bahkan disediakan semacam toko kelontong yang menyediakan kebutuhan sehari-hari. Di toko kelontong itu semua siswa belajar berwirausaha dan berhitung dan berdagang. Di halaman sekolah juga terdapat lapangan untuk olah raga dan kolam renang serta taman bunga. Kurikulum di sekolah ini mengajarkan perempuan hidup tangguh dan mandiri. Perempuan dianggap sebagai sarana pembinaan keluarga dan tempat pelestarian budi pekerti sebagai dasar penanaman moral untuk hidup bermasyarakat sehingga dapat melepaskan hidup (mandiri) dari ketergantungan kaum laki-laki.
Namun semua yang tinggal di srama itu harus perempuan. Mereka berasal dari warga pribumi yang sudah lulus sekolah rakyat ongko loro. Selama di asrama, mereka dibebaskan biaya apapun. Pakaian yang digunakan sehari-hari selama belajar bukan seragam sekolah seperti sekarang ini, namun hanya bawahan kain jarik dan kebaya. Bahkan untuk olah raga dan bermain di taman para siswi tetap menggunakan kain kebaya ini. Hanya saat pelajaran berenang, mereka hanya memakai ramben. Hanya guru-guru wanita bangsa Belanda yang memakai baju renang.
,
Dari 7 Sekolah Kartini dibawah yayasan van Deventer berhasil lulus pada tahun 1930 sebanyak 1.500 siswi. Namun, program pendidikan yang baik ini sempat terhenti karena pendudukan Jerman atas Belanda pada 1940 perang dunia ke II. Serta pendudukan Jepang atas Hindia Belanda pada 1942. (pul)
Penulis : Nanang Purwono
Abad.id-Makam Belanda Peneleh sesungguhnya lebih tepat jika dikatakan Makam Eropa karena mereka yang beristirahat disana untuk selama lamanya adalah orang orang Eropa. Tidak hanya orang Belanda saja, tapi jumlah orang Belanda yang dikubur di Peneleh memang lebih dominan.
Nama nama orang Eropa ini bisa dikenali melalui batu nisan dan besi nisan yang elok dan megah. Ada juga yang sederhana. Salah satu nama yang tersebut pada nisan adalah Schmutzer. Sebuah nama khas keluarga Jerman. Lantas siapakah Schmutzer itu?
Schmutzer adalah keluarga pengusaha gula yang kali pertama meletakan dasar-dasar penghargaan hak hak buruh di Hindia Belanda. Mereka menghapus penghisapan kelas buruh, yang tidak populer dimata kapitalisme kolonial kala itu.
Keluarga Schmutzer ini adalah Julius Robert Anton Maria Schmutzer dan Joseph Ignatius Julius Maria Schmutzer. Penghargaan terhadap buruh dengan cara menghapus penghisapan kelas buruh ini mereka lakukan ketika keduanya mengelola pabrik gula keluarga Gondanglipuro di Yogyakarta di akhir abad 19.
Sejumlah catatan menyebut keduanyalah yang pertama kali mempraktikkan hak-hak layak buruh. Upah buruhnya lebih tinggi daripada buruh pabrik gula lain. Jam kerja, hak berserikat, hak libur, dan cuti yang sekarang lazim dipenuhi, bermula dari lingkungan pabrik gula yang dikelolanya.
Pengaruh Agama
Tampaknya upaya Schmutzer bersaudara yang menghargai buruhnya itu akibat dorongan keyakinan agamanya. Pada 15 Mei 1891, Paus Leo XIII mengeluarkan maklumat “Rerum Novarum” (perubahan revolusioner), tentang Hak dan Kewajiban Modal dan Tenaga Kerja. Dari dasar keyakinan yang keluar dari maklumat Paus Leo XIII itulah, mereka mulai mempraktekkannya si pabrik yang dikelola keluarga Schmutzer.
Ketika seruan Paus Leo ini muncul, dua anak Schmutzer (Julius Robert Anton Maria Schmutzer dan Joseph Ignatius Julius Maria Schmutzer) sedang sekolah di Belanda. Pada saat itu, di Belanda yang namanya gerakan balas jasa alias politik etis mulai populer. Kemudian ketika sekolahnya selesai, mereka kembali ke Hindia Belanda dan mempraktikkan semangat keagamaan itu langsung di pabriknya.
Pabrik gula Gondanglipuro di Jogjakarta awalnya dibuka oleh pasangan Stefanus Barends dan Ellis Francisca Wilhelmina Karthous pada 1 September 1862. Namun pada 1876 Stefanus Barends meninggal dunia. Pada 1880 Ellis menikah lagi dengan Gottfried Schmutzer. Dari perkawinan Ellis Francisca Wilhelmina Karthous dan Gottfried Schmutzer, maka lahirlah Ellis Anna Maria Antonia Schmutzer (1881), Josef Ignatius Julius Maria Schmutzer (1882), Julius Robert Anton Maria Schmutzer (1884) dan Eduard Wilhelmina Maria Schmutzer (1887).
Di Kuburan Belanda Peneleh Surabaya, ternyata ditemukan Makam Gottfried Schmutzer, ibunya Ellis Schmutzer dan adik bungsu Edward dalam satu di liang lahat. Tidak ada catatan di mana nama dua bersaudara peletak dasar kesejahtreaan buruh itu dikubur. Kehadiran Gottfried Schmutzer ke Surabaya diduga masih ada kaitan usaha dan bisnis gula karena di Surabaya sendiri kala itu (mulai 1832) sudah mulai bercokol industri gula, tepatnya di Gubeng.
Menurut penelusur sejarah pabrik pabrik gula di Jawa Timur, Agung Widyanjaya, di wilayah administratif kota Surabaya sekarang, dulunya ada 9 pabrik gula. Diawali dengan pabrik gula di Gubemg (1832) kemudian diikuti dengan pabrik pabrik gula seperti Pabrik Gula Ketabang, PG Bagong, PG Ngagel, PG Darmo, PG Dadoengan, PG Ketintang, PG Karah dan PG Petemon.
Bisa jadi Surabaya yang memiliki banyak buruh karena, salah satunya, sektor industri gula ini menjadi jujugan dalam mempraktikkan politik etik yang sudah dikenalkan dan dipraktekkan oleh kedua anaknya di PG Gondanglipuro, Jogjakarta. Sayang keberadaan makam kedua anaknya: Julius Robert Anton Maria Schmutzer dan Joseph Ignatius Julius Maria Schmutzer tidak diketemukan di pemakaman Peneleh.
Di sini hanya ada Gottfried Schmutzer, Ellis Schmutzer (istri) dan adik bungsu Eduard Wilhelmina Maria Schmutzer (bungsu) dalam satu liang lahat. (Nng/pul).
Penulis: Pulung Ciptoaji
abad.id-Saat itu Presiden Sukarno mengunjungi Australia pada tahun 1957. Kedatangan presiden benar-benar mengundang perhatian warga Indonesia yang tinggal disana. Mereka mengelu-elukan Sukarno sambil berusah mendekat untuk sekedar menyapa dan berjabat tangan. Rasa bangga dirasakan warga Indonesia yang tinggal di Australia, sebab memiliki pemimpin pemberani dan telah berhasil merdeka sepenuhnya.
Satu persatu bersalaman, dan tiba giliran Sukarno bersalaman dengan orang bertubuh gemuk. Seketika Sukarno langsung menyapa sebuah nama,” Djirun!” kata Sukarno. Tentu saja orang yang disapa itu kaget dan heran. Mengapa seorang Sukarno langsung mengenalnya, padahal bertemu saja baru pertama kali. Usut punya usut, ternyata nama Djirun sangat melekat di hati Sukarno. Saat itu Bung Karno memperoleh sebuah lukisan dari seorang saudaranya. Sukarno sangat teresan lukisan naturalisme itu. lalu saat tercatat nama dibawah lukisan, Sukarno langsung ingat nama Sadjirun.
Sadjirun pelukis misterius. Foto ist
Ternyata rasa penasaran Sukarno selalu ingin melihat seniman tersebut secara langsung. Si pemberi lukisan hanya memberi sebuah foto seorang laki-laki bertubuh gemuk dan kini tinggal di Australia. Maka saat berjabat tangan, Sukarno langsung hafal dan menyapa sebuah nama Djirun. Namun perjumpaan itu tetap membuat si punya nama terheran-heran, sebab sebelumnya dirinya hanya spesialis pelukis potret. Namun akhirnya Sadjirun banting setir melukis mata uang sesuai pemesan. “Uang lebih berkuasa dari sebuah karya lukisan, dan selalu dirindukan banyak orang” pikir Djirun.
Tidak ada yang menyangka petualangan Djirun menjadi pelukis uang dan sosoknya sangat dirahasiakan. Karena saking langkanya profesi ini, hanya segelintir orang di seluruh dunia yang berprofesi melukis mata uang. Saat itu di Indonesia hanya memiliki 4 nama yang spesialis menggambar mata uang dan nama dan sosoknya sangat dirahasiakan. Mereka Alm Abdul Salam, Alm Junalis, dan Oesman Effendi. Serta Sadirun yang sudah 25 tahun bergelut dengan lukisan uang dan telah melukis beberapa mata uang.
Sadjirun kelahiran Kaliwungu Semarang 4 Maret 1931, mengaku bakatnya melukis sudah muncul sejak masih muda. Dirinya terinspirasi dari ilustrasi buku buku bacaan karya warga Belanda MA Koek koek, WK Debuin dan Jetses. Dari merekalah Sadjirun tergelak untuk melanjutkan sekolah selepas lulus SMA. Namun bukan sesuai bakatnya, Sadjirun kuliah jurusan teknik UGM. Kuliah di situ bukannya merasa bangga, namun justru tersiksa. Sebab kegemarannya melukis merasa terbatasi. Hanya dua tahun di UGM, akhirnya Sadjirun pindah ke Akademi Seni Rupa ASRI. Sejak di ASRI inilah bakatnya sebagai pelukis semakain tajam terasah.
Kemahiran melukis aliran naturalis ini diperhatikan salah satu pengajar R Sumarno Atmodipuro yang masih punya kerabat dengan direktur NV Perkeba sebuah perusahaan percetakan di Kebayoran bernama Prayitno Suwondo. Sumarno menarkan jasa Sadjirun untuk mencetak benda benda penting seperti uang, perangko. Dari Yogjakarta Sadjirun dikirim ke Jakarta untuk mendapatkan order pertama. NV Perkeba menganggap order ini hanya percobaan yaitu menggambar perangko seri kancil, trenggiling dan lingsang. “ Saya membuat denan cara pen tekening, padahal perangko dituntut gambar dengan tone, sehingga proyek pertama saya gagal” kata Sadjirun.
Gagal proyek pertama Sadjirun ini rupanya membawa hikmah. Yaitu Sadjirun semakin serius menekuni lukisan konsep garis-garis arsir. Bahkan hasil lukisan konsep garis garis arsir telah membuat kagum Prayitno Suwondo direktur NV Perkeba. Sebab keberhasilan garis arsir ini bisa untuk mempertegas engraving atau plat pencetak uang. Maka kegagalan pertama justru membawa rejeki berikutnya. Sejak saat itu, Sadjirun ditawari bekerja di Prayitno Suwondo sebagai perancang uang. Bahkan dijanjikan akan dikirim ke luar negeri jika dapat proyek besar.
Sadjirun lulus dari ASRI tahun 1957 dan langsung bekerja sebagai perancang uang. Sebagai seniman yang dirahasiakan, Sadjirun juga harus berjanji menyimpan rahasia negara. Rupanya Sadjirun cocok dengan pekerjaan yang penuh godaan itu. sehingga kemanapun dirinya benar benar tidak pernah membuka diri. Sebagai langkah awal bekerja, Sadjirun dikirim ke Harlem Belanda untuk Job Training dan belajar langsung ke Fa Johan Enschede & Zonen. Namun tidak lama di Belanda karena kasus Irian Barat, Sadjirun kemudian dikirim ke Austria. Di sini dia semakain serius untuk sekolah merancang uang di Osterricic chishe Nasional Bank hingga tahun 1962. Lulus dari eropa, Sadjirun kembali ke Indonesia dan mulai merancang beberapa seri uang rupiah.
Sadjirun dan Kerja Misterius
Pada tahun 1971 NV Perkeba berubah nama menjadi Perum Peruri (perusaahan Umum Percetakan Uang RI). Meskpun pergantian managemen, kondisi Sadjirun masih sebagai karyawan dan mengotak atik desain uang. Ganti managemen justru semakin membatasi ruang rahasianya. Setiap keluar kantor dirinya harus melewati pengawasan khusus. Bahkan urusan keluarga masih mendapat pengawalan. Profesi seperti Sadjirun ini sangan jarang, sehingga negara harus melindungi dari segala kemungkinan. Termasuk Sadjirun sendiri harus tunduk terhadap sumpahnya yaitu menyimpan rahasia negara. Bahkan dengan anak dan istrinya Sadjirun mengaku tidak pernah terbuka tentang pekerjaanya. “Apa boleh buat, beruntung profesi saya tidak menghambat keharmonisan keluarga dengan istri Surtipanti yang saya nikai tahun 1967,” jelas Sadjirun
Di Peruri urusan keluarga terkadang akan menjadi urusan kantor. Perusahaan berhak menelusuri latar belakang, Litsus diri agar pegawainya tidak salah jodoh. Alasannya rahasia negara jauh lebih penting daripada hal-hal yang bisa menghambat. Atas aturan ketat ini, bagi Sadjirun bukan masalah dan bisa menikmainya.
Tapi ada waktu sangat serius bagi orang seperti Sadjirun ini, yaitu ketika sedang menerima order mendesain dan mencetak uang baru. Order dari Bank Indonesia dan dikerjakan dengan pola “tutup mulut”. Mulai dari desain, warna hingga kuwalitas kertas. Tidak boleh siapapun melihat dan rahasia bocor, sebab dikawatirkan akan muncul uang palsu. “Satu seri mata uang biasanya disiapkan antara 1 hingga 2 tahun, maka selama waktu merancang saya harus tutup mulut,” jelasnya.
Hingga akhrnya tahun 1968, pemerintah mengeluarkan uang seri Sudirman dari pecahan Rp 5 sampai Rp 10.000. Uang itu semuanya rancangan Sadjirun, dan namanya tercatat sebagai sosok penting dalam dunia uang di RI. Sejak saat itu seri Sadirun yang paing sering berada di dompet warga Indonesia. Kemudian Sadjirun mendesain uang lagi pada tahun 1976 seri Sudirman. Seri ini pernah dianggap desain paling bagus, sebab kaya terhadap komposisi. Bagian depannya gambar Sudirman dan dibaliknya tentang gambar pembangunan teknologi. Menarik, bebas dan modern. Dibawah gambar itu tercantum nama M Sadjirun Del-del, siangkatan dari Deliniatit atau artinya si penggambar. (pul)
abad.id- Di Brisbane Australia, Hubertus Johannes van Mook telah menerima kabar tentang peristiwa besar saat transisi kekosongan pemerintahan di Indonesia. Van Mook mendapat secarik pidato yang disampaikan Sukarno dari sebuah radio pada 23 Agustus 1945. Rupanya bagi van Mook pidato tersebut tidak menjadi sangat penting, sebab tekadnya saat itu hanya ingin segera tiba di Hindia Belanda. Bahkan dalam catatan pinggir van Mook menulis kalimat “Jerita-jeritan putus asa terakhir Sukarno yang sadar bahwa ia kalah”. Tulisan itu disampaikan ke Logemann, Menteri Daerah-Daerah Seberang Lautan di tubuh kabinet Schermerhorn-Dress. Dalam catatan itu, van Mook yakin akan berhasil menyeret Sukarno Hatta ke pengadilan karena dianggap pemberontak. “Dengan sombong van Mook mengatakan dalam menindak mereka, kita tidak perlu menghiraukan pemerintah Republik Indonesia mereka”
Sementara itu di pelabuhan Sydney terjadi aksi mogok massal yang dilakukan para buruh pelabuhan. Aksi solidaritas para buruh yang dipelopori aktifis pergerakan nasionalis yang berada di Australia. Mereka menolak memuat barang ke kapal tujuan Indonesia yang hendak berangkat. Mereka juga memprotes cara Australia melakukan pelatihan ke batalyon tempur Belanda di Australia. Aksi buruh ini benar-benar membuat frustasi van Mook, sehingga tekadnya ingin segera pulang ke tanah kelahirannya. Dampaknya aksi buruh tersebut membuat peran Belanda menjadi semakin kecil di atas panggung perang Asia. Rencana kepulauan Hindia Belanda akan direbut dan diduduki tentara Amerika Serikat pimpinan jendral MacArthur, kecuali Sumatra yang sudah dikuasahi Inggris.
Baru tanggal 8 September 1945 sebuah pasukan pemantau Inggris bisa diturunkan di Lapangan kemayoran Batavia. Regu pemantau menyimpulkan perasaan anti Belanda sangat kuat. Gedung dan trem penuh slogan menolak kehadiran Belanda dan tulisan kemerdekaan. Setelah pelayaran tanjung priok dibersihkan dari ranjau, pada tanggal 14 September 1945 masuklah kapal perang Cumberland dari Ingris. Kemudian disusul kapal pemburu Belanda Tromp yang mengangkut para perwira Belanda. Turut dalam kapal ini tangan kanan Van Mook yang bernama Van der Plas dan kepala tentara NICA kapten Abdoelkadir.
Kehadiran Van Mook seperti karpet merah yang sangat ditunggu untuk menyelesaikan sengketa dengan negara baru Indonesia. Pemerintah Kerajaan Belanda di Eropa sangat mempercayakan cara van Mook. Sebab sejalan dengan sikap tegas menolak pengakuan kedaulatan republik Indonesia dalam bentuk apapaun. Bahkan melarang melakukan perundingan dengan Sukarno yang dianggap penjahat.
Namun apa yang terjadi setiba di Indonesia, kehadiran Van Mook penuh cemooh. Meskipun lahir di Jawa dan mencintai Nusantara, kembalinya van Mook dari pengasingan pada 1 Oktober 1945, tidak disambut dengan baik. Sebab Ia datang membawa pasukan Belanda dan sekutu yang membuat masyarakat semakin geram. Masyarakat saat itu masih dalam suasana kemerdekaan, sehingga tak menginginkan kehadiran van Mook kembali.
Aktivitas Diplomasi Indonesia di Dunia Internasional untuk Mempert ahankan Kemerdekaan Indonesia. Soekarno bertemu Van Mook di Gambir (23-10-1945). Sumber: 30 Tahun Indonesia Merdeka
Namun sikap keras van Mook terhadap Sukarno tercium Panglima AFNEI Allied Forces Netherlands East Indies, Sir Philip Christison. Maka dibuatlah pertemuan tanggal 23 Oktober 1945 di Gambir Selatan. Selain Van Mook, dari pihak Belanda hadir pula Van der Plas. Adapun Soekarno didampingi oleh Mohammad Hatta, Ahmad Subarjo, dan Haji Agus Salim. Soekarno menyatakan, pada dasarnya Indonesia bersedia berunding atas dasar pengakuan hak rakyat Indonesia untuk menentukan nasibnya sendiri.
Di pihak lain Van Mook menyatakan bahwa Belanda ingin membentuk pemerintahan di Indonesia seperti yang dikemukakan Ratu Belanda Wilhelmina dalam pidatonya tanggal 7 Desember 1942. Dalam pidatonya tersebut, Belanda ingin Indonesia menjadi negara persemakmuran berbentuk federal yang memiliki pemerintahan sendiri di lingkungan Kerajaan Belanda.
Van Mook menawarkan Republik Federal Republik Indonesia Serikat, dengan menjalin hubungan politik dan ekonomi yang kuat dengan Belanda. Alasan Van Mook, masyarakat nusantara tak cukup kuat secara politik dan ekonomi. Apalagi lawan globalisasi nanti kekuatan orang Tiongkok Indonesia, India Indonesia, dan Partai Komunis Indonesia yang sedang bangkit. Sebelum membentuk pemerintah federal ini, perlu dibentuk pemerintahan peralihan selama 10 tahun.
Namun usulan van Mook ini dibantah Agus Salim. Ia mengatakan bahwa pidato Ratu Wilhelmina itu sudah ketinggalan zaman, karena Indonesia sekarang sudah merdeka dan tidak mau dijajah kembali. Maka pertemuan di Gambir tanggal 23 Oktober 1945 malam itu berakhir tanpa titik temu, dan hanya awal merintis jalan perundingan-perundingan selanjutnya.
Hubertus Johannes Van Mook Pria Kelahiran Semarang
Bagi Hubertus Johannes (Huib) van Mook yang lahir 30 Mei 1894 ini, Hindia Belanda dianggap tanah kelahirannya juga. Hubertus van Mook lahir di Semarang, ayahnya bernama Matheus Adrianus Antonius van Mook, yang meninggalkan Belanda setelah menikahi Cornelia Rensina Bouwman pada tahun 1893. Di Hindia Belanda, Matheus Adrianus menjadi inspektur penilik sekolah rakayat di Surabaya. Van Mook juga pernah sekolah di HBS Surabaya, satu almamater dengan Sukarno. Bedanya setelah menyelesaikan pendidikan HBS, van Mook pindah ke Belanda untuk melanjutkan pendidikan tinggi teknik di Delft.
Pada tahun 1914 sempat masuk dinas ketentaraan sukarela dan melanjutkan studi tentang Indonesia di Universitas Leiden dan lulus tahun 1918. Setelah itu, ia kembali ke tempat kelahirannya dan bekerja menjadi inspektur mengurusi distribusi pangan di Semarang. Tahun 1921 menjadi penasihat urusan pertanahan di Yogyakarta. Tahun 1927 menjadi asisten residen urusan kepolisian di Batavia. Pada tahun 1930-an dia menjadi ketua departemen urusan ekonomi. Puncak prestasi van Mook pada 20 November 1941, diangkat menjadi Menteri Urusan Tanah Jajahan
Saat awal 1942 menjelang masuknya Jepang ke Indonesia, van Mook menjadi Wakil Gubernur-Jenderal. Van Mook sedang berusaha mendapatkan dukungan militer dari Amerika Serikat untuk pengadaan persenjataan melawan Jepang. Namun bantuan yang dinanti terlambat datang, sehingga harus dibayar mahal Belanda menyerah dengan mudah ke tangan Jepang.
Selama Jepang mengambil alih pemerintahan, van Mook mengungsi ke Australia. Pada masa akhir Perang Pasifik, van Mook tetap menyandang pangkat Wakil Gubernur Jenderal meskipun secara de facto bertindak selaku Gubernur Jenderal. Karena Tjarda van Starkenborgh Stachouwer sedang ditawan Jepang. Van Mook menjabat Wakil Gubernur Jenderal hingga 1 November 1948.
Selepas strategi garis demarkasi selama agresi militer Belanda, van Mook memilih mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Wail Gubernur Jenderal Hindia-Belanda. Pihak Belanda mencurigai dan menganggap Van Mook berkhianat. Sebab sikap Van Mook dianggap ingin menguasai Republik Federal Indonesia melalui pemerintahan yang dikendalikan di Batavia. Pemerintahan van Mook ini nantinya tanpa bayang-bayang dari Pemerintah kerajaan Belanda di Eropa.
Pihak Belanda mencurigai dan menganggap Van Mook berkhianat. Foto dok net
Ada pula sumber lain yang menyebut bahwa van Mook mengundurkan diri karena menyadari kesalahannya. Sebagai orang yang paham dengan budaya tanah airnya, van Mook melihat strategi membuat negara boneka hanya sia-sia dan mengeluarkan biaya besar. Ternyata bangsa Indonesia lebih memilih kembali bersatu meski dipecah belah melalui garis demarkasi.
Van Mook memutuskan untuk menjadi dosen di Cornell University, Amerika Serikat, pada tahun 1951. Kemudian pada tahun 1951 bekerja di Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai pakar pengembangan kawasan. Ia juga dikenal sebagai peneliti yang banyak menulis karya, seperti kisah tentang Pulau Jawa, Kota Gede Yogyakarta. Serta sejumlah karya lain yang mengangkat cerita lokal di masyarakat. Ia memiliki minat dalam menulis tentang Nusantara, sebab merasa Indonesia sebagai tanah airnya. Sejak 1960 van Mook memilih menetap di L'Isle-sur-la-Sorgue, Prancis sampai minggal dunia pada 10 Mei 1965. (pul)
Penulis : Pulung Ciptoaji
Mbah Deler adalah F.J. Rotenbuhler
Abad.id - Mbah Deler, begitu warga lokal menyebut makam orang Belanda di lingkungan Yani Golf, Gunungsari. Surabaya. Mbah Deler dianggap orang pintar. Kenyataannya, ia memang orang pintar karena banyak membantu warga, baik orang Belanda maupun orang pribumi, khususnya ketika Surabaya menghadapi wabah penyakit cacar pada awal abad 19.
Makam Gezaghebber Ujung Timur Jawa, FJ Rotenbuhler, di Gunung sari Surabaya
Jika warga lokal menyebutnya Mbah Deler, itu karena lidah mereka tidak bisa mengucapkan nama yang lengkap. Nama lengkapnya adalah Fredrik Jacob Rotenbuhler. Ia adalah pejabat tinggi di wilayah Ujung Timur Jawa yang disebut Gezaghebber. Rotenbuhler, begitulah orang Belanda menyebut.
F.J. Rotenbuhler adalah pejabat Vereneeging Oost Indisch Compagnie (VOC), yang disebut Gezaghebber untuk wilayah Ujung Timur Jawa (Gezaghebber op Java's van den Oosthoek). Ia berkuasa di wilayah Ujung Timur Jawa (1799-1809), yang ber ibukota di Surabaya.
Jabatan yang disebut Gezaghebber pun juga diucapkan berbeda oleh warga lokal (pribumi). Mereka menyebutnya Sakeber. Maklum lidah lokal. Rohthenbuhler menjadi Deler. Gezaghebber menjadi Sakeber.
F.J. Rotenbuhler sebagai pejabat VOC mulai menjabat sebagai Gezaghebber di saat VOC diambang kebangkrutan, 1799. Suasana di Surabaya juga dianggap tidak menentu pada masa peralihan itu. Akibatnya di awal awal ia menjabat, 1799, ia tidak bisa berbuat banyak. Kecuali ia menunggu hingga keadaan stabil dan ada pemerintahan baru yang definitif.
Memasuki tahun 1800 pemerintah sudah beralih dari VOC ke Hindia Belanda dimana di negeri Belanda sendiri dipengaruhi oleh Perancis. Akibatnya, perubahan di Belanda juga berimbas di Hindia Belanda. Sistim pemerintah Belanda-Perancis mewarnai Hindia Belanda dan ini berlangsung selama 11 tahun. Selama periode itu sempat berganti ganti gubernur Jendral di Hindia Belanda.
Gubernur Jendral Hindia Belanda di era pemerintahan Belanda-Perancis mulanya dijabat oleh Pieter Gerardus van Overstraten (1800-1801), Johannes Sieberg (1801-1802), Albertus Hendrikus Wiese (1802-1808), Herman Willem Deandels (1808-1811).
Di era Pemerintahan Hindia Belanda, yang menggantikan pemerintahan VOC, pejabat yang berkuasa di daerah daerah sudah bisa mulai bekerja berdasarkan sistim pemerintahan yang baru. Pejabat daerah termasuk di wilayah Ujung Timur Jawa yang ber ibukota di Surabaya, F.J. Rotenbuhler (Mbah Deler) sebagai Gezaghebber (Sakeber) juga mulai bekerja maksimal.
Ada 3 hal penting yang terjadi dan dihadapi oleh Rotenbuhler di Surabaya selama ia menjabat sebagai Gezaghebber. Pertama terkait dengan upaya menghadapi wabah penyakit cacar yang menular. Kedua terkait dengan usaha pribadi sebagai pengusaha. Di era VOC, seorang pejabat pemerintahan (penguasa), juga menjalankan bisnis dagangn sendiri (pengusaha). Ketiga adalah terkait dengan masuknya pasukan Inggris ke Surabaya. Inggris selama itu memang sudah ancang ancang akan masuk ke Surabaya tapi sudah diantisipasi oleh Gezaghebber sebelum F.J. Rotenbuhler, yaitu Dirk van Hogendorp, dengan mendirikan perbentengan. Di era F.J. Rotenbuhler, Surabaya kebobolan. Inggris berhasil memasuki Surabaya.
F.J. Rotenbuhler Disanjung dan Diasingkan
Makamnya menyendiri dalam sunyi dari ramainya kota
Dari tiga peristiwa di masa Rotenbuhler, ada dua yang menjadikan ia bagai menenggak “madu” dan “racun”. Menenggak “madu” mengibaratkan peran dan perbuatan positif dan baik bagi lingkungan, yaitu bagi warga: baik orang Eropa sendiri maupun orang pribumi. Ini karena jasa Rotenbuhler yang memberikan vaksinasi cacar kepada warga sehingga melindungi mereka dari virus cacar.
Ditulis dalam “Oud Soerabaia” (GH von Faber), bahwa tidak mudah memberikan vaksinasi cacar kepada warga. Ketika vaksin akan disuntikkan ke anak anak orang Belanda, mereka menolak dan mengatakan agar vaksin terlebih dahulu disuntikkan kepada anak anak orang pribumi sebagai percobaan.
Begitupun dengan warga pribumi. Mereka juga takut menerima suntikan yang belum dikenal sebelumnya. Rotenbuhler pun harus mengeluarkan uang sebagai imbalan kepada anak warga pribumi yang mau disuntik. Sebagai percobaan, ia membutuhkan 15 anak. Untuk 9 anak pertama, ia memberikan 10 sampai 20 ringgit kepada masing masing orang tua anak yang disuntik. Sementara untuk 6 anak sisanya, ia harus mengeluarkan uang lebih banyak. Setiap anak diganti 1.000 ringgit karena Rotenbuhler harus membeli dari orang yang berstatus budak.
Dari percobaan itu, akhirnya ia bisa menyuntikkan vaksin kepada warga Surabaya baik yang Eropa dan Pribumi. Meski masih tercatat ada angka kematian, tapi vaksinasi cacar relatif bisa menyelamatkan warga, terutama bagi warga pribumi. Karenanya, F.J. Rotenbuhler dipandang sebagai orang pintar bagi lingkungan dia bertempat tinggal, tepatnya setelah ia lengser dari jabatan Gezaghebber pada 1808. Warga lokal menyebut dan memanggil Mbah Deler.
Sebelum meninggal, ia memang tinggal di kawasan hutan yang bertanah tinggi di Gunungsari. Gunungsari adalah deretan pegunungan Kendeng yang jauh dari kota, benedenstad van Soerabaia, yang sekarang dikenal di kawasan Jembatan Merah. F.J. Rotenbuhler (Mbah Deler) meninggal pada 21 April 1836 dan dimakamkan di tanah yang paling tinggi di Gunungsari. Hingga sekarang (2022) warga setempat masih mengenal bahwa makam yang kini terletak di lingkungan Yani Golf Surabaya itu adalah Makam Mbah Deler.
Sebutan “Mbah” dalam kultur setempat memiliki konotasi dan makna “orang pintar”. Kepintaran yang dimaksudkan oleh warga setempat adalah karena jasa jasanya dalam menyelamatkan warga dari wabah (pageblug) penyakit cacar. Ia dihargai dan dihormati semasa hidupnya selepas dari menjabat sebagai seorang Sakeber. Ia lepas jabatan pada 1808 dan Ia meninggal pada 1836
Sebaliknya, dimata pemerintah Hindia Belanda, yang kala itu dikepalai oleh Gubernur Jendral Albertus Hendrikus Wiese (1802-1808), Rotenbuhler justru diasingkan. Pengasingan ini karena di wilayahnya (Surabaya) telah kebobolan dengan masuknya orang orang Inggris. Akibatnya, semula ketika menjabat, ia tinggal di Istana Simpang (sekarang Grahadi), kemudian ketika diasingkan ia tinggal di hutan Gunungsari hingga meninggal pada 21 April 1836
Jejak kematian F.J. Rotenbuhler ini masih dapat dilihat karena kuburannya bertengger di titik tanah tertinggi di lingkungan Yani Golf Surabaya. Dari tempat ini, dulu, pemandangan ke arah utara, bisa terlihat kawasan Kota. Kiranya hukuman yang diterima oleh Rotenbuhler, ia hanya bisa memandang Surabaya dari kejauhan. Di hutan Gunungsari inilah Rotenbuhler hidup dengan lingkungan warga pribumi hingga ia meninggal dunia.
Gunungsari Dari Masa Ke Masa
Gunung sari menjadi saksi bisu pertahanan kota Surabaya di era Perang November 1945
Gunungsari, tepatnya di lingkungan dimana makam Mbah Deler berada adalah lingkungan yang sudah lama menjadi konsentrasi permukiman. Di kawasan perbukitan ini, di selatan Kali Surabaya dan kali Pulosari di sisi timurnya, diilustrasikan dimana sebuah perbentengan pernah ada.
Selain ada makam Rotenbuhler yang berangka tahun 1836, di kawasan sekitarnya juga terdapat makam kuno yang usianya jauh lebih tua. Disana juga ada lemah murup (tanah bernyala api). Maklum di kawasan ini memang memiliki kandungan minyak dan gas yang sudah menjadi eksplorasi perusahaan minyak pemerintah Belanda. Tak heran jika kawasan Yani Golf dan lahan hotel disebelahnya tercatat menjadi aset Pertamina setelah ada nasionalisasi dari perusahaan minyak di era Hindia Belanda, Shell.
Di kawasan perbukitan Gunungsari di era November 1945, juga menjadi saksi bisu pertempuran Surabaya. Di sana pejuang Surabaya mempertahankan kota setelah didesak mundur dari sektor tengah. Mereka mundur hingga titik perbukitan Gunungsari. Ketika Gunungsari berhasil dikuasai Sekutu, maka di saat itulah Surabaya secara total dikuasai Sekutu. Peristiwa pertahanan terakhir Surabaya di Gunungsari ini terjadi pada akhir bulan November 1945.
Karena peristiwa sejarah dalam mempertahankan Surabaya secara fisik dan mempertahankan kedaulatan secara non fisik, sebuah produksi film dokumenter yang berjudul “Soera ing Baja, Gemuruh Revolusi” diproduksi. Ceritanya adalah menggambarkan bagaimana pejuang pejuang Surabaya mempertahankan Surabaya di titik Gunungsari.
Pengambilan gambar itu dilakukan di sekitar tempat ditemukannya tulang tulang dari 4 pejuang. Teridentifikasi bahwa mereka adalah Soetojo, Samsoedin, Soewondo dan Soewardjo. Nama nama itu telah terukir pada monumen yang dibangun di area lapangan golf di sekitar ditemukannya tulang tulang. Namanya monumen Kancah Yudha.
Di Gunung sari inilah, para pejuang yang tergabung dalam TRIP atau Tentara Republik Indonesia Pelajar berjuang melawan serangan tentara Inggris mempertahankan wilayah Gunungsari Surabaya pada tanggal 28 Nopember 1945.
Gunung sari menjadi titik bersejarah yang menjadi salah satu latar (setting) pembuatan film dokumenter “Soera ing Baja, Gemuruh Revolusi”, yang diproduksi TVRI Jatim yang bekerjasama dengan Pemerintah Kota Surabaya, FIB Unair dan Komunitas Begandring Soerabaia dan kawan-kawan. (Nanang)
abad.id-Nama Kurt Cobain masih membekas di hati penggemar fanatiknya. Bahkan hingga kini, Kurt Cobain masih dicintai di seluruh dunia. Bersama band Nirvana, Kurt Cobain pernah membius jutaan penggemar fanatik di seluruh dunia lewat karya-karya besarnya.
Kurt Donald Cobain atau yang lebih dikenal dengan nama Kurt Cobain lahir tanggal 20 Februari 1967 merupakan penyanyi dan musisi dari Amerika Serikat yang lahir di Aberdeen, Washington, AS. Ia seorang gitaris sekaligus vokalis yang pembentuk grup band grunge, Nirvana.
Kurt Cobain dikenal sosok yang pendiam, tempramen dan juga emosional. Rasa frustrasi dan depresi sering ia alami-lah yang membuat dia terjun ke dunia musik. Kurt Cobain sangat membenci hidupnya dan selalu merasa frustrasi.
Kisah Kurt Cobain dan Courtney Love, pertama kali bertemu di klub malam kota Portland pada tahun 1990. Courtney Love pernah sekali menonton pertunjukan Nirvana tahun 1989 dan langsung menyimpan perasaan terhadap Kurt Cobain. Tidak lama mereka berpacaran, Courtney Love kemudian hamil, mengandung anaknya Kurt Cobain. Foto dok net
Dia pernah mengatakan, “I hate myself and I want to die”. Rasa kebencian dan frustrasinya-lah yang membuat dia masuk ke dunia musik. Dia ingin menuangkan ungkapan rasa frustrasi tersebut ke dalam lagu dan musik yang keras dan kemudian dikenal dengan musik grunge.
“Ada yang bilang lirik-lirik lagu ciptaanku bermuatan rujukan gay yang provokatif. Namun aku tidak akan mengatakan bahwa lirik-lirik itu merupakan refleksi pada waktu itu. aku hanya menciptakannya dengan keyakinanku sekarang. Aku kira lirik-lirik itu provokatif secara komersial berdasarkan seberapa banyak album kami yang terjual,” kata Kurt Cobain di catatan Berotak Bukan Tanpa Sebab.
Dunia Keras Kurt Cobain
Sejak usia balita, Kurt Cobain sudah mulai memainkan alat musik. Di umur 4 tahun ia mulai menyanyikan lagu-lagu buatannya secara spontan setelah berkunjung di taman-taman sekitar tempat tinggalnya. Di usia 9 tahun, orang tua Kurt Cobain cerai. Perceraian tersebut membuatnya merasakan hal yang sangat memalukan dalam perjalanan hidupnya. Bahkan selalu malu dengan teman-temannya di sekolah, karena keluarganya hancur. Hal tersebut yang membuat masa kecilnya menjadi suram.
Di usia remaja dia mulai bertingkah seperti orang dewasa. Dia mulai melakukan kekerasan terhadap teman-teman sekolahnya. Kegematannya bermusik dipengaruhi lagu-lagu The Ramones dan The Beatles sejak kecil. Sebab sang bibi sering memutarkan lagu ‘Hey Jude’ saat Kurt Cobain masih kecil. Selain itu, Kurt Cobain tergila-gila dengan musik rock klasik era 70-an seperti Queen, Led Zeppelin, Aerosmith, Black Sabbath, Kiss, AC/DC, dan sebagainya. Seiring waktu, pemahaman musik dan favoritnya mulai berganti.
Bakat seninya memang sudah terlihat sejak muda. Ia pernah menghabiskan waktu di masa sekolah untuk melukis. Dia pernah melukis karikatur Michael Jackson dan presiden AS saat itu, Ronald Reagen. Tidak puas dengan melukis, Kurt Cobain kemudian mempelajari gitar saat di bangku sekolah.
Dalam pengakuannya, Kurt Cobain mulai menulis sekitar umur 14 atau usia anak SMP. Awalnya tidak pernah menganggap serius hasil tulisannya. Bahkan tidak pernah menyimpannya dalam jurnal pribadi. Kurt Cobain tidak pernah menulis buku harian, bait bait puisi dan sajak-sajaknya juga selalu abstrak.
“Sejak awal aku bercita-cita ingin menjadi seniman komersial. Ibu sangat mendukung gagasan itu dan menyarankan dengan memulaai dengan lukisana-lukisan. Maka aku berusaha membangun seperti itu. ketika aku sudah di tingkat 9 aku mengikuti kelas seni komersial sekaligus, dan guruku sering mengikutkan aku dalam lomba-lomba melukis,” kata Kurt Cobain.
Kurt Cobain pernah menjadi fan fanatik musik punk rock. Ia sangat mengidolakan band asal Britania Raya, Sex Pistols. Hingga pada akhirnya mengambil jalan lain dengan membangun gagasan alternative rock, yang memadukan berbagai aliran ke dalam musik rock sebagai musik dasar.
Di masa-masa ia duduk di bangku sekolah, ia mencari-cari teman yang bisa diajak bermain musik bersama. Ia sering pindah tempat tongkrongan hanya untuk menyalurkan bakat musiknya. Hingga suatu saat bertemu dengan Krist Novoselic, yang merupakan penggemar berat punk rock. Ibu Krist memiliki salon kecantikan, dan mereka sering bermusik bersama di lantai atas salon tersebut.
Hingga angkirnya mereka menemukan kecocokan musik satu sama lain. Kurt Cobain menawarkan Krist untuk membentuk grup band, dan mengajukan lagunya sebagai demo. Setelah tawaran berbulan-bulan, Krist Novoselic akhirnya setuju. Mereka berdua kemudian bergabung untuk membentuk band yang disebut ‘Nirvana’.
Kurt Cobain yakin dalam konsep Buddha puncak tertinggi tujuan hidup adalah ‘Nirvana’. Juga memiliki arti bebas dari segala rasa sakit dan tempat merasakan kebahagiaan. Nirvana sepanjang karirnya sering sekali berganti drummer, hingga akhirnya menemukan Dave Grohl di tahun 1990.
Di awal karir Nirvana, memakai jasa lokal untuk memproduseri album debut mereka, Bleach. Album tersebut dipengaruhi oleh musik-musik heavy metal dan juga punk. Hingga pada akhirnya mulai dikenal dan digemari oleh pecinta musik sejak dirilisnya album Nevermind tahun 1991. Di album ini satu kebanggaan besar bagi Kurt Cobain karena dapat menggeser album Dangerous Michael Jackson di tangga lagu Billboard Amerika Serikat.
Keberhasilan ini diluapkan dalam album “Smells Like Teen Spirit”. Dalam album tersebut ada lagu yang selalu dikenang sepanjang masa berjudul Come As You Are dan juga Breed. Kata “Smells Like Teen Spirit” terinspirasi dari tulisan temannya bernama Kathleen Hanna yang sedang berdiskusi tentang anarki, punk rock dan topik-topik yang serupa. bernama Kathleen Hanna merupakan penyanyi dari band punk Bikini Kill.
Dia mencoret dinding tempat tinggal Kurt Cobain dengan tulisan “Kurt Smells Like Teen Spirit.” Teen Spirit merupakan nama sebuah merek deodoran, dan bernama Kathleen Hanna berkata bahwa Kurt Cobain baunya seperti deodoran Teen Spirit tersebut.
Bagi Kurt Cobain, menganggap kalimat tersebut memiliki arti revolusioner, dan terinspirasi mengungkapkan perasaannya dengan lagu “Smells Like Teen Spirit.”
Kesuksesan besar berikutnya mengikuti Nirvana. Penggemar beratnya ada dimana-mana termasuk di Indonesia. Kurt Cobain dan Nirvana dianggap sebagai bentuk revolusi musik dengan grunge-nya yang saat itu masih baru.
Kurt Cobain pernah berseteru dengan pentolan grup band rock legendaris Guns N’ Roses, Axl Rose. Perseteruan mencapai puncaknya di belakang panggung MTV Video Music Award. Foto dok net
Sampai Nirvana bubar tahun 1994, mereka berhasil merilis 3 album yaitu Bleach (1989), Nevermind (1991), In Utero (1993). Sejak terbentuknya mereka telah berhasil menjual 50 juta keping album di seluruh dunia, dan lebih dari 20 juta keping di Amerika Serikat. Penghargaan pernah mereka raih sebagai album nomor 1, single nomor satu juga MTV Music Awards.
Kisah Kematian Kurt Cobain
Saat tur Nirvana di Jerman tahun 1994, Kurt Cobain didiagnosa mengidap bronkhitis dan juga laringitis. Keesokan harinya Kurt Cobain diterbangkan ke Roma untuk terapi medis, dan disusul oleh istrinya. Saat mereka menginap setelah bangun Courtney Love menemukan Kurt Cobain dalam kondisi overdosis sampanye dan campuran Rohypnol.
Dalam sebuah pengakuannya dalam buku berontak bukan tanpa sebab, Kurt Cobain mengaku sebagai pemakai heroin selama lebih setahun. Alasannya punya masalah dengan perut selama 5 tahun terakhir. Ada kalanya selama atur, Kurt Cobain merasa sangat butuh dengan bahan terlarang itu. Kurt Cobain mengaku tidak adaa yang salah dengan memakai zaat tersebut.
“Aku memutuskan bahwa jika aku akan merasa seperti seorang pecandu setiap pagi sehingga aku bisa menemukan subtansi yang membunuh rasa sakit itu,” kata Kurt Cobain.
Beberapa waktu kemudian saat Kurt Cobain berada dalam sebuah rumah sakit untuk penyembuhan, ia diketahui kabur dari rumah sakit dan kembali ke kota Seattle. Usaha pencarian dilakukan di sekitar kota Seattle, hingga akhirnya Kurt Cobain ditemukan tekah tewas di tempat tinggalnya. Jenasah pertama kali ditemukan pada 8 April 1994 oleh seorang Ahli listrik yang hendak memperbaiki sistem keamanan di apartemen Kurt Cobain.
Di sekitar jenasah juga ditemukan shotgun mengarah ke dagunya dan heroin, serta jenis narkoba lain di dekat tubuhnya. Catatan kecil juga ditemukan di dekat jenazah Kurt Cobain. Darah berceceran dimana-mana, termasuk mengalir dari telinganya. Kurt Cobain diketahui bunuh diri dengan menembakkan shotgun ke dalam mulutnya.
Menurut identifikasi forensik, Kurt Cobain diketahui telah meninggal beberapa hari sebelum mayatnya ditemukan. Ada kemungkinan tewas tanggal 5 April 1994, atau 3 hari sebelum jenasah ditemukan. Diduga Kurt Cobain sudah tidak sadarkan diri karena obat-obatan saat melakukan aksi bunuh diri.
Konspirasi kematiannya masih menjadi cerita menarik. Sebab karena pengaruh halusinasi maka Kurt Cobain menjadi berani mengarahkan shotgun ke arah mulutnya. Lalu ada juga yang bilang Kurt Cobain sengaja dibunuh oleh istrinya sendiri yang sebelumnya sering bertengkar.
Courtney Love takut diceraikan oleh Kurt Cobain, dan jika mereka cerai harta Kurt Cobain akan diwariskan dengan anaknya. Oleh karena itu ada kecurigaan Courtney Love menyewa pembunuh bayaran untuk menghabisi Kurt Cobain agar hartanya jatuh ke tanggannya. Terbukti, setelah kematian Kurt Cobain banyak uang hasil kerja keras Kurt Cobain telah menjadi milik Courtney Love. (pul)
abad.id-Pada tanggal 8 Desember 1980, Mark Chapman menembakkan empat peluru ke tubuh penyanyi Jhon Lenon. Pembunuhan tanpa motif yanag jelas itu segera mengubah sejarah the Beatles yang sebelumnya sudah didera konflik. Jhon Lenon legenda musik asal Inggris itu tewas seketika, meninggalkan Yoko dan anaknya Sean.
Sekitar tahun 1980-an pasca kejadian pembunuhan Jhon Lenon, kehidupan janda Yoko selalu bersembunyi dari keramaian. Di belakang kacamatanya yang besar menutupi tubuhnya yang mungil itu, Janda Yoko harus sering berpindah apartemen bersama Sean. Semangat hidup semakin kuat dan memilih tidak terlalu lama berduka. Yoko harus menyelamatkan semua kegiatan bisnis mantan suaminya yang terbengkalai, serta melanjutkan beberapa perusahaan yang sudah dirintis. Disamping kegiatan lain kembali merekam beberapa album Jhon Lenon yang belum sempat dirilis.
Dibalik kesibukannya itu, Yoko masih gelisah dengan masa depan hidupnya bersama Sean. Sebab sejak pembunuhan Jhon Lenon, mata dunia masih terus mengejar kehidupan privasinya. Dampaknya perkembangan phiskologis Sean selalu dicekam ras takut. Untuk itu Yoko harus menyewa beberapa pengawal bersenjata untuk mendampingi Sean yang baru genap 7 tahun. Sebaliknya Sean juga mengkawatirkan kehidupan Yoko yang menjadi orang tua tunggal. “ Mama jangan pergi-pergi tanpa ada pengawalan, sebab jika mama dibunuh, aku tidak punya siapa siapa lagi di dunia,” kata Sean suatu ketika.
Sebenarnya tidak mudah bertahan setelah tragedi penembakan Jhon Lenon itu. Sebab antara Yoko dan Jhon Lenon seperti bermuka dua. Di satu pihak sebagai istri Yoko menangis seperti anak kecil yang membutuhkan bujukan mainan dan kata-kata manis. Namun di pihak lain sebagai janda harus mengatasi kesedihan demi anaknya Sean. “Aku harus menjaga dan membesarkan Sean, disamping mengelola warisan-warisannya,” kata Yoko .
Sean Lenon bersama john lennon dan ibunya Yoko ono. Potret keluarga kecil itu terlihat sangat bahagia. Foto dok net
Kehidupan mapan sudah dirasakan Yoko sejak kecil. Yoko lahir sebagai putri seorang bankir asal Jepang dan melewatkan masa kecilnya dengan pendidikan yang baik. Akhir minggu misalnya, diisi dengan kegiatan membaca dan membuat puisi. Ketika di usia remaja, Yoko senang melukis dan selepas sekolah dia menekuni drama dan nyanyi. Hingga suatu saat Yoko bertemu dengan komponis Jepang Thosi Ichiyanagi. Mereka menikah muda usai Yoko menyelesaikan sebuah pertunjukan. Namun pernikahan tidak bertahan lama, dan mereka memutuskan bercerai. Tidak lama kemudian, Yoko menikah lagi dengan produser film Amerika Anthony Cox. Mereka dianugrahi seorang putri bernama Kyyoko pada tahun 1963.
Dalam kurun waktu 4 tahun setelah Kyyoko lahir, karir Yoko di dunia film mulai bersinar. Melalui film berjudul Original et Cerebral, namanya sering diperbincangkan di Holywood. Jhon Lenon yang saat itu mulai sering konser di benua Amerika mulai tertarik dengan Yoko dari sampul cover film yang beredar. Karena begitu tenarnya, Jhon Lenon meminta foto Yoko untuk sampul luar sebuah album piringan hitam Les Deux Vierges. Saat itu Jhon Lenon sedang menduduki puncak karir sebagai penyanyi idola remaja di Inggris, dan telah memiliki istri Cynthia yang cantik dan mempunyai seorang putra yang masih kecil. Saat media massa menggosipkan keduanya, tiba tiba Jhon Lenon malah menyampaikan ungkapan yang kontroversial. “ Yoko dan saya saling mencintai, dan kami akan segera menikah setelah bebas”
Ungkapan seperti sebuah doa dan semakin ramai menjadi berita gosip di media Inggris. Setelah keduanya berhasil bercerai dari masing masing pasangannya, Jhon Lenon dan Yoko melangsungkan pernikahan pada tahun 1969 di Gibraltar.
Menjadi Manusia Kuat Setelah Kematian Jhon Lenon
Setelah melewati periode panjang yang pemnuh kesedihan, semangat hidup Yoko bersama Sean kembali bergairah karena musik. Tiga tahun setelah peristiwa itu, Yoko sudah kembali muncul di sebuah wawancara televisi. Meskipun wajahnya yang mungil tertutup kaca mata hitam yang besar, para fans Jhon Lenon seperti terobati oleh semangat Yoko . Kehadirannya untuk mempromosikan sebuah album piringan hitam yang baru berjudul it’s Allight. Lagu-lagu dalam album tersebut berisikan cutahan hati Yoko setelah peristiwa kematian suaminya.
Yoko telah menjadi wanita yang sangat sibuk. Diluar karier sebagai artis, dia harus mengurusi perusahaan dan peninggalan barang-barang koleksi Jhon Lenon. Yoko juga membangun sebuah yayasan yang digagas Jhon Lenon, berupa banyak kegiatan investasi dan badan amal. “ Total ada 10 perusahaan piringan hitam, 7 rumah yang disewakan, 4 ranch di Florida dan Viginia, sebuah hotel di New York. “Saya harus mengelola sendiri mulai memegang buku keuangan dan megawasi para direktur.” Kata Yoko yang mengaku hanya butuh waktu tidur 5 jam perhari karena bekerja keras. (pul)
Family of Mohammad Hoesni Thamrin, an Indonesian politician. No. 1 : Djaksa Thabri, "grandfather" (raised M. Thabri Thamrin as his father, but was actually M. Thabri Thamrin's uncle); No. 2 . Moehammad Thabri Thamrin, father. No. 3 : mother. No. 4 : Ma'moen Thamrin, brother; No. 5: Mohammad Hoesni Thamrin. No. 6 : sister. No. 7 : in-law. No. 8 : Hadji Abdillah, brother, No. 9 : Abdulfatah Thamrin, brother. No. 10: Mansjoer Thamrin. No. 11 : R. Ismail; No. 12: Abdoelazis Martam, nephew.
abad.id-Sejak 8 Desember 1941 situasi politik di wilayah Asia Pasifik sulit ditebak. Sebab pada tanggal itu kekuatan Jepang menyerang Pearl Harbour di Hawai dan menandai keterlibatan Amerika Serikat dalam perang dunia ke II. Kekuatan Jepang akan melakukan ekpansi ke wilayah Asia Pasifik sudah diramalkan kelompok nasionalis sejak tahun 1927. Diam-diam beberapa aktifis mulai melakukan gerakan kerjasama dengan Jepang jauh sebelum peristiwa tersebut.
Dampak serangan Jepang ke Amerika Serikat sangat cepat pengaruhnya ke tanah Hindia Belanda. Pemerintah kolonial Belanda sudah mengantisipasi ancaman aksi ekspansi Jepang ini, namun dianggap terlambat. Permintaaan Van Mook bantuan perlengkapan tempur dan kekuatan militer ke sekutu Amerika Serikat dan Australia, datangnya sangat terlambat. Sebab pada tanggal 11 Januari 1942 sudah ada pendaratan pertama Jepang di Kalimantan.
Bendera Merah Putih menutupi jasad MH Thamrin. Foto dok net
Ada yang beranggapan begitu mudahnya Jepang masuk dan mengambil alih pemerintahan Hindia Belanda karena pengaruh sikap kelompok nasionalis terhadap fasisme Eropa. Sejak tahun 1940 dalam rapat Volksraad, tokoh nasionalis yang menjadi wakil ketua MH Tamrin sudah berpendapat, bahwa “Secara de facto Indonesia sekarang sebenarnya sudah mandiri karena tidak ada negara induknya lagi”. Pendapat MH Tamrin ini bukan karena tanpa alasan. Hindia Belanda dinyatakan pulih dari krisis ekonomi eropa tanpa dibantu pemerintah induk Kerajaan Belanda. Bahkan pemerintah Hindia Belanda memperoleh keuntungan dari krisis ekonomi eropa tahun 1930, dan berhasil menyumbang keuntungan anggarannya untuk pemerintah Kerajaan Belanda.
Puncaknya HM Thamrin tidak mengibarkan bendera Merah Putih Biru saat ulang tahun Ratu Wilhelmina pada 31 Agustus 1940. Sikap ini menunjukan sudah tidak loyal lagi sebagai wakil ketua Volksraad. Sikap HM Thamrin ini sudah tercium PID (agen khusus intel pemerintah Hindia Belanda). Dalam kesimpulannya, HM Thamrin sejak awal sudah bersekongkol dengan Jepang yang hendak melakukan ekspansi ke asia.
Buktinya HM Thamrin sering berkorespondensi dengan Douwes Dekker. Tokoh legendaris Indo keturunan ini setelah tidak lagi aktif di Budi Utomo, memilih bekerja sebagai penasehat ekonomi Tuan Sato, seorang pengusaha asal Jepang yang punya hubungan kontrak dagang dengan Hindia Belanda. Douwes Dekker sedang menganggur ini mendapat bayaran 700 gulden per bulan dari Konsulat Jendral Jepang. Maka PID membuat kesimpulan bahwa HM Thamrin ini berbahaya dan sudah menjadi kelompok pro Jepang.
Puncak kemarahan pemerintah Hindia Belanda kepada HM Thamrin dilakukan tanggal 6 Januari 1941 pagi. PID dan beberapa polisi melakukan penggeledahan dan penangkapan terhadap HM Thamrin di rumahnya. Saat itu HM Thamrin sedang sakit keras. Ginjalnya sudah tidak berfungsi dan hanya bisa tidur di kasur. Dari penggeledahan itu, PID menemukan fakta yang mencenangkan. Bahwa terdapat banyak arsip-arsip rahasia di rumah HM Thamrin yang berisi kerjasama politik dengan Jepang. Salah satu laporan yang dibuat Douwes Dekker kepada Tuan Sato, berisikan rekomendasi kebijakan ekonomi di Hindia Belanda jika kekuasaan Belanda sudah berakhir. Saat itu juga Douwes Dekker ditahan, dan HM Thamrin mendapat ditahan rumah karena sakit.
Mendengar koleganya HM Thamrin ditahan oleh PID dan polisi, Jonkman Ketua Volksraad langsung bertindak. Secara kemanusiaan Jonkman ingin segera mengunjungi HM Thamrin yang sakit di rumahnya dalama kondisi tahanan rumah. Jonkman berusaha menjadi penengah atas dugaan dugaan pelanggaran hukum yang dilakukan kepada pengurus Volksraad. Jonkman mendatangi Jaksa penuntut umum untuk berkonsultasi terkait kasus HM Thamrin ini. “ Apakah saya dapat berkunjung ke Tuan Thamrin, lalu jaksa penuntut umum menjawab tidak boleh,” tulis Jonkman dalam sebuah surat kabar. Saat itu juga Jonkman membatalkan niatnya sambil menunggu perkembangan lebih lanjut.
Sakit HM Thamrin rupanya kian parah, sebab gagal ginjal yang dideritanya sebenarnya perlu penanganan khusus dan cuci darah. Baru 4 hari kemudian tanggal 10 Januari, tim dokter memperbolehkan keluarga HM Thammrin melakukan kunjungan. Keluarga menemukan kondisi tokoh nasionalis ini sangat menderita. Tubuhnya sudah menghitam dan sulit diajak kumunikasi. Tepat hari Sabtu 11 Januari 1941 siang hari, HM Thamrin meninggal dunia di usia 47 tahun.
Banyak tokoh terkejut mendengar kabar kematian MH Thamrin. Foto dok net
Masyarakat pribumi dan warga Indo keturunan sangat terpukul mendengar berita kematian HM Thamrin. Warga Indo keturunan mengganggap HM Thamrin bagian dari keluarganya, sebab kakeknya seorang pria warga negara Inggris. Sehingga mereka sangat berharap ada perubahan kebijakaan tentang rasis kepada kelompok minoritas. Sementara bagi kaum pribumi, HM Thamrin seperti saudara kandung yang selalu membela kepentingan hajat hidup banyak orang. Berpuluh ribu warga Batavia mengikuti iring-iringan pemakaman sang pahlawan di TPU Karet.
Kawan dan Lawan Politik Sangat Segan
Mohammad Husni Thamrin dilahirkan pada tanggal 16 Februari 1894 di Sawah Besar, Pinggiran kota Batavia. HM Thamrin tokoh Betawi memiliki darah Inggris dari kakeknya seorang pengusaha yang memiliki hotel di kawasan Petojo. Sedangkan ayahnya seorang Wedana tahun 1908. Setelah menyelesaikan pendidikannya di sebuah sekolah Belanda Koning Willem II, HM Thamrin bekerja di kepemerintahan sebelum akhirnya bekerja di perusahaan perkapalan Koniklijke Paketvaart-Maatschappij tahun 1927.
Pada tahun 1916, MH Thamrin bersama ayahnya ikut bergabung dengan perkumpulan pemilih melayu (Kies Vereeniging Melajoe) yang didirikan oleh Hinloopen Labberton. Pada masa ini pula organisasi Kaoem Betawi yang didirikan oleh Thamrin dan Masserie untuk menghimpun pribumi Betawi elite mulai aktif.
Thamrin terpilih menjadi Dewan Kota Jakarta di tahun 1919 kemudian tahun 1935 dipercaya menjadi anggota Volksraad dewan rakyat mewakili kelompok Probumi/Inlander, tahun 1939 melalui mosinya meminta Indonesia, Indonesisch, dan Indonesier (Indonesia, Bahasa Indonesia, dan Rakyat Indonesia) digunakan sebagai pengganti Nederlands Indie, Nederlands Indische dan Inlander.
Selama di Volksraad, HM Thamrin sering menunjukkan sikap perlawanan atas kebijakan-kebijakan yang tidak berpihak rakyat dan hanya menguntungkan Belanda. Seperti pembangunan perumahan elit Menteng dengan anggaran prioritas daripada perbaikan perkampungan kumuh, juga penetapan harga beli komoditas hasil rakyat yang lebih rendah daripada hasil perkebunan swasta Belanda. Juga terkait pajak serta anggaran untuk angkatan perang yang jauh lebih tinggi daripada anggaran untuk pertanian.
Thamrin juga aktif menyampaikan pembelaan dan empatinya terhadap wong cilik, terutama masalah perbaikan kondisi sosial dan sanitasi. MH. Thamrin juga memperjuangkan dibentuk Dewan Volksraad, kemudian memprakarsai berdirinya Fraksi Nasional, serta turut membentuk PPKI menjelang kemerdekaan Indonesia.
Sebenarnya diangkatnya HM Thamrin menjadi anggota volksraad dengan maksud mengimbangi kelompok nasionalis yang beraliran keras yang dipelopori Ir. Soekarno Hatta. Namun maksud tersebut gagal total, sebab selama menjadi anggota volksraad bukannya bersifat lunak, justru sifat yang keras menentang penjajahan yang diperlihatkan. Bahkan HM Thammrin sering mengadakan pertemuan - pertemuan (rahasia) dengan Sukarno.
HM Thamrin salah satu orang yang sangat memikirkan nasib Sukarno di pengasingan pulau Ende Flores tahun 1933. Sebagai wakil rakyat, beberapa kali HM Thamrin melakukan korespondensi dengan kelompok nasionalis muda ini dari pengasingan. Salah satu hal yang menyentuh hati MH Thamrin, saat Sukarno mengeluh kesepian tidak ada teman diskusi selama di Ende. MH Thamrin segera melakukan kekuatan politiknya untuk membantu meringankan hukuman para aktifis tersebut.
Opsi pertama MH Thamrin yaitu memberi hukuman Sukarno di kirim ke Belanda dengan alasan studi. Opsi kedua dengan memperkerjakan Sukarnosebagai asisten MH Thamrin, dengan jaminan tidak melakukan kegiatan politik. serta opsi ketiga memindahSukarno ke pulau Sumatra yang dianggap lebih manusiawi.
Atas inisiasi MH Thamrin, akhirnya nasib kelompok nasionalis ini ditentukan melalui rapat Volksraad pada tahun 1938. Dari perdebatan yang sengit, akhirnya Sukarno dipindah ke Bengkulu dengan pengawasan ketat Pegawai negeri Hindia Belanda LCM Jaquet.
Selama menjadi anggota parlemen, MH Thamrin benar-benar melaksanakan fungsinya dengan melakukan kunjungan kerja dan menampung aspirasi masyarakat. Kepindahan Sukarno di Bengkulu ini disambut positif MH Thamrin dan melakukan kunjungan. Bersama Mr. Kusumo Utojo saat melakukan kunjungan di Sumatera mengecek bagaimana asisten - asisten perkebunan milik pemerintah kolonial Hindia Belanda memperlakukan buruh pribumi (yang terkenal dengan istilah kuli - kuli). Momen kunjungan itu dimanfaatkan untuk singgah bertemu Sukarno di Bengkulu.
Berpuluh ribu warga Batavia mengikuti iring-iringan pemakaman sang pahlawan di TPU Karet. Foto dok net
Hasil kunjungan kerja tersebut sebenarnya akan disampaikan dalam sidang Volksraad pada tanggal 27 Januari 1930. Namun apa yang terjadi, MH Thamrin lebih dulu meninggal dunia pada 11 Januari 1941. Ada dugaan ada kelompok yang sengaja menggagalkan niat MH Thamrin membeberkan praktek perbudakan di Pulau Sumatra itu, dengan cara membunuhnya. (pul)
Penulis : Pulung Ciptoaji
abad.id-Nama Kurt Cobain masih membekas di hati penggemar fanatiknya. Bahkan hingga kini, Kurt Cobain masih dicintai di seluruh dunia. Bersama band Nirvana, Kurt Cobain pernah membius jutaan penggemar fanatik di seluruh dunia lewat karya-karya besarnya.
Kurt Donald Cobain atau yang lebih dikenal dengan nama Kurt Cobain lahir tanggal 20 Februari 1967 merupakan penyanyi dan musisi dari Amerika Serikat yang lahir di Aberdeen, Washington, AS. Ia seorang gitaris sekaligus vokalis yang pembentuk grup band grunge, Nirvana.
Kurt Cobain dikenal sosok yang pendiam, tempramen dan juga emosional. Rasa frustrasi dan depresi sering ia alami-lah yang membuat dia terjun ke dunia musik. Kurt Cobain sangat membenci hidupnya dan selalu merasa frustrasi.
Kisah Kurt Cobain dan Courtney Love, pertama kali bertemu di klub malam kota Portland pada tahun 1990. Courtney Love pernah sekali menonton pertunjukan Nirvana tahun 1989 dan langsung menyimpan perasaan terhadap Kurt Cobain. Tidak lama mereka berpacaran, Courtney Love kemudian hamil, mengandung anaknya Kurt Cobain. Foto dok net
Dia pernah mengatakan, “I hate myself and I want to die”. Rasa kebencian dan frustrasinya-lah yang membuat dia masuk ke dunia musik. Dia ingin menuangkan ungkapan rasa frustrasi tersebut ke dalam lagu dan musik yang keras dan kemudian dikenal dengan musik grunge.
“Ada yang bilang lirik-lirik lagu ciptaanku bermuatan rujukan gay yang provokatif. Namun aku tidak akan mengatakan bahwa lirik-lirik itu merupakan refleksi pada waktu itu. aku hanya menciptakannya dengan keyakinanku sekarang. Aku kira lirik-lirik itu provokatif secara komersial berdasarkan seberapa banyak album kami yang terjual,” kata Kurt Cobain di catatan Berotak Bukan Tanpa Sebab.
Dunia Keras Kurt Cobain
Sejak usia balita, Kurt Cobain sudah mulai memainkan alat musik. Di umur 4 tahun ia mulai menyanyikan lagu-lagu buatannya secara spontan setelah berkunjung di taman-taman sekitar tempat tinggalnya. Di usia 9 tahun, orang tua Kurt Cobain cerai. Perceraian tersebut membuatnya merasakan hal yang sangat memalukan dalam perjalanan hidupnya. Bahkan selalu malu dengan teman-temannya di sekolah, karena keluarganya hancur. Hal tersebut yang membuat masa kecilnya menjadi suram.
Di usia remaja dia mulai bertingkah seperti orang dewasa. Dia mulai melakukan kekerasan terhadap teman-teman sekolahnya. Kegematannya bermusik dipengaruhi lagu-lagu The Ramones dan The Beatles sejak kecil. Sebab sang bibi sering memutarkan lagu ‘Hey Jude’ saat Kurt Cobain masih kecil. Selain itu, Kurt Cobain tergila-gila dengan musik rock klasik era 70-an seperti Queen, Led Zeppelin, Aerosmith, Black Sabbath, Kiss, AC/DC, dan sebagainya. Seiring waktu, pemahaman musik dan favoritnya mulai berganti.
Bakat seninya memang sudah terlihat sejak muda. Ia pernah menghabiskan waktu di masa sekolah untuk melukis. Dia pernah melukis karikatur Michael Jackson dan presiden AS saat itu, Ronald Reagen. Tidak puas dengan melukis, Kurt Cobain kemudian mempelajari gitar saat di bangku sekolah.
Dalam pengakuannya, Kurt Cobain mulai menulis sekitar umur 14 atau usia anak SMP. Awalnya tidak pernah menganggap serius hasil tulisannya. Bahkan tidak pernah menyimpannya dalam jurnal pribadi. Kurt Cobain tidak pernah menulis buku harian, bait bait puisi dan sajak-sajaknya juga selalu abstrak.
“Sejak awal aku bercita-cita ingin menjadi seniman komersial. Ibu sangat mendukung gagasan itu dan menyarankan dengan memulaai dengan lukisana-lukisan. Maka aku berusaha membangun seperti itu. ketika aku sudah di tingkat 9 aku mengikuti kelas seni komersial sekaligus, dan guruku sering mengikutkan aku dalam lomba-lomba melukis,” kata Kurt Cobain.
Kurt Cobain pernah menjadi fan fanatik musik punk rock. Ia sangat mengidolakan band asal Britania Raya, Sex Pistols. Hingga pada akhirnya mengambil jalan lain dengan membangun gagasan alternative rock, yang memadukan berbagai aliran ke dalam musik rock sebagai musik dasar.
Di masa-masa ia duduk di bangku sekolah, ia mencari-cari teman yang bisa diajak bermain musik bersama. Ia sering pindah tempat tongkrongan hanya untuk menyalurkan bakat musiknya. Hingga suatu saat bertemu dengan Krist Novoselic, yang merupakan penggemar berat punk rock. Ibu Krist memiliki salon kecantikan, dan mereka sering bermusik bersama di lantai atas salon tersebut.
Hingga angkirnya mereka menemukan kecocokan musik satu sama lain. Kurt Cobain menawarkan Krist untuk membentuk grup band, dan mengajukan lagunya sebagai demo. Setelah tawaran berbulan-bulan, Krist Novoselic akhirnya setuju. Mereka berdua kemudian bergabung untuk membentuk band yang disebut ‘Nirvana’.
Kurt Cobain yakin dalam konsep Buddha puncak tertinggi tujuan hidup adalah ‘Nirvana’. Juga memiliki arti bebas dari segala rasa sakit dan tempat merasakan kebahagiaan. Nirvana sepanjang karirnya sering sekali berganti drummer, hingga akhirnya menemukan Dave Grohl di tahun 1990.
Di awal karir Nirvana, memakai jasa lokal untuk memproduseri album debut mereka, Bleach. Album tersebut dipengaruhi oleh musik-musik heavy metal dan juga punk. Hingga pada akhirnya mulai dikenal dan digemari oleh pecinta musik sejak dirilisnya album Nevermind tahun 1991. Di album ini satu kebanggaan besar bagi Kurt Cobain karena dapat menggeser album Dangerous Michael Jackson di tangga lagu Billboard Amerika Serikat.
Keberhasilan ini diluapkan dalam album “Smells Like Teen Spirit”. Dalam album tersebut ada lagu yang selalu dikenang sepanjang masa berjudul Come As You Are dan juga Breed. Kata “Smells Like Teen Spirit” terinspirasi dari tulisan temannya bernama Kathleen Hanna yang sedang berdiskusi tentang anarki, punk rock dan topik-topik yang serupa. bernama Kathleen Hanna merupakan penyanyi dari band punk Bikini Kill.
Dia mencoret dinding tempat tinggal Kurt Cobain dengan tulisan “Kurt Smells Like Teen Spirit.” Teen Spirit merupakan nama sebuah merek deodoran, dan bernama Kathleen Hanna berkata bahwa Kurt Cobain baunya seperti deodoran Teen Spirit tersebut.
Bagi Kurt Cobain, menganggap kalimat tersebut memiliki arti revolusioner, dan terinspirasi mengungkapkan perasaannya dengan lagu “Smells Like Teen Spirit.”
Kesuksesan besar berikutnya mengikuti Nirvana. Penggemar beratnya ada dimana-mana termasuk di Indonesia. Kurt Cobain dan Nirvana dianggap sebagai bentuk revolusi musik dengan grunge-nya yang saat itu masih baru.
Kurt Cobain pernah berseteru dengan pentolan grup band rock legendaris Guns N’ Roses, Axl Rose. Perseteruan mencapai puncaknya di belakang panggung MTV Video Music Award. Foto dok net
Sampai Nirvana bubar tahun 1994, mereka berhasil merilis 3 album yaitu Bleach (1989), Nevermind (1991), In Utero (1993). Sejak terbentuknya mereka telah berhasil menjual 50 juta keping album di seluruh dunia, dan lebih dari 20 juta keping di Amerika Serikat. Penghargaan pernah mereka raih sebagai album nomor 1, single nomor satu juga MTV Music Awards.
Kisah Kematian Kurt Cobain
Saat tur Nirvana di Jerman tahun 1994, Kurt Cobain didiagnosa mengidap bronkhitis dan juga laringitis. Keesokan harinya Kurt Cobain diterbangkan ke Roma untuk terapi medis, dan disusul oleh istrinya. Saat mereka menginap setelah bangun Courtney Love menemukan Kurt Cobain dalam kondisi overdosis sampanye dan campuran Rohypnol.
Dalam sebuah pengakuannya dalam buku berontak bukan tanpa sebab, Kurt Cobain mengaku sebagai pemakai heroin selama lebih setahun. Alasannya punya masalah dengan perut selama 5 tahun terakhir. Ada kalanya selama atur, Kurt Cobain merasa sangat butuh dengan bahan terlarang itu. Kurt Cobain mengaku tidak adaa yang salah dengan memakai zaat tersebut.
“Aku memutuskan bahwa jika aku akan merasa seperti seorang pecandu setiap pagi sehingga aku bisa menemukan subtansi yang membunuh rasa sakit itu,” kata Kurt Cobain.
Beberapa waktu kemudian saat Kurt Cobain berada dalam sebuah rumah sakit untuk penyembuhan, ia diketahui kabur dari rumah sakit dan kembali ke kota Seattle. Usaha pencarian dilakukan di sekitar kota Seattle, hingga akhirnya Kurt Cobain ditemukan tekah tewas di tempat tinggalnya. Jenasah pertama kali ditemukan pada 8 April 1994 oleh seorang Ahli listrik yang hendak memperbaiki sistem keamanan di apartemen Kurt Cobain.
Di sekitar jenasah juga ditemukan shotgun mengarah ke dagunya dan heroin, serta jenis narkoba lain di dekat tubuhnya. Catatan kecil juga ditemukan di dekat jenazah Kurt Cobain. Darah berceceran dimana-mana, termasuk mengalir dari telinganya. Kurt Cobain diketahui bunuh diri dengan menembakkan shotgun ke dalam mulutnya.
Menurut identifikasi forensik, Kurt Cobain diketahui telah meninggal beberapa hari sebelum mayatnya ditemukan. Ada kemungkinan tewas tanggal 5 April 1994, atau 3 hari sebelum jenasah ditemukan. Diduga Kurt Cobain sudah tidak sadarkan diri karena obat-obatan saat melakukan aksi bunuh diri.
Konspirasi kematiannya masih menjadi cerita menarik. Sebab karena pengaruh halusinasi maka Kurt Cobain menjadi berani mengarahkan shotgun ke arah mulutnya. Lalu ada juga yang bilang Kurt Cobain sengaja dibunuh oleh istrinya sendiri yang sebelumnya sering bertengkar.
Courtney Love takut diceraikan oleh Kurt Cobain, dan jika mereka cerai harta Kurt Cobain akan diwariskan dengan anaknya. Oleh karena itu ada kecurigaan Courtney Love menyewa pembunuh bayaran untuk menghabisi Kurt Cobain agar hartanya jatuh ke tanggannya. Terbukti, setelah kematian Kurt Cobain banyak uang hasil kerja keras Kurt Cobain telah menjadi milik Courtney Love. (pul)
Mas Marco Kartodikromo pernah berujar: “Misbach itu seperti harimau di dalam kalangannya binatang-binatang kecil. Dia tidak takut mencela kelakuan orang-orang yang mengaku Islam tetapi selalu mengisap darah teman sendiri.”
Abad.id Doktrin Marxisme dilandaskan filsafat materialisme. Sedangkan Islam berdasarkan spiritualisme dan kepercayaan secara empiris. Meski keduanya sama-sama mengandung unsur antikapitalisme, namun susah dipertemukan.
Hampir semua pendiri bangsa mengadopsi pemikiran Karl Marx, tentunya dengan kadar berbeda-beda.Soekarno menerapkan ideologi kirinya dengan mencocokkan kondisi masyarakat Indonesia dan menamainya Marhaenisme. Demikian pula Hatta, Syahrir, Tan Malaka juga merupakan sosialis atau komunis. Namun berbeda dengan Haji Misbach. Dia justru menggabungkan dua unsur tersebut, Marxisme dan Islam. Dunia perjuangan kemerdekaan geger. Sayang, namanya kini seolah dihapuskan dalam sejarah bangsa. Mungkin karena dia dikenal sebagai ‘Haji Merah’.
Saat itu, awal Maret 1923, adalah Kongres Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Sarekat Islam (SI) di Bandung. Kongres itu dihadiri dua komunis dari Sumatera Barat, yaitu Haji Datuk Batuah dan Natar Zainuddin. Seorang haji menaiki podium. Dia memperkenalkan diri. “Saya bukan Haji, tapi Mohammad Misbach, seorang Jawa, yang telah memenuhi kewajibannya sebagai muslim dengan melakukan perjalanan suci ke Mekah dan Madinah,” terangnya.
Dalam kongres itu, Misbcah jadi bintang. Dia tampil memukau di kalangan cabang-cabang PKI dan SI merah, terutama mereka yang bercorak agamis. Ketika baru memulai uraiannya, Haji Misbach langsung menusuk ke jantung persoalan. Ia berusaha menguraikan kesamaan-kesamaan prinsip antara Qur’an dan Komunisme. “Quran, misalnya, menetapkan bahwa merupakan kewajiban setiap Muslim untuk mengakui hak azasi manusia, dan pokok ini juga ada dalam prinsip-prinsip program komunis.” Berjuang melawan penindasan dan penghisapan, menurut Misbach, merupakan perintah Tuhan. “Ini juga salah satu sasaran komunisme,” kata Misbach. Gagasan inilah kemudian yang disebut Islam-Komunis. “Orang yang mengaku dirinya Islam tetapi tidak setuju adanya komunisme, saya berani mengatakan bahwa mereka bukan Islam sejati, atau belum mengerti betul-betul tentang duduknya agama Islam,” sebutnya.
Misbach juga menganggap saat itu SI di bawah pimpinan Tjokro telah memecah-belah gerakan rakyat dengan memberlakukan disiplin partai. Meskipun bergelar haji dan sudah pernah ke Tanah Suci, tapi Misbach tidak pernah mengenakan sorban ala Arab ataupun peci ala Turki. Dia hanya mengenakan tutup kepala dan bergaul dengan rakyat apa saja. Misbach dikenal mubaligh ulung. Dia fasih ayat-ayat Alquran. Maklum, dia sudah lama mengeyam pendidikan di pesantren.
Haji Misbach dilahirkan di Kauman, Surakarta, tahun 1876, dan dibesarkan sebagai anak seorang pedagang batik yang kaya raya.Mas Marco Kartodikromo, teman seperjuangannya, menggambarkan Misbach sebagai seorang yang ramah dan teguh kepada ajaran Islam. Keduanya memang sempat berkhidmat dalam lapang pergerakan Sarekat Rakjat/PKI. Namun Misbach dan Marco Kartodikromo tak pernah lagi disebut-sebut dalam sejarah resmi yang disusun Orde Baru. Tak mengherankan bila Haji Misbach baru diangkat kembali peran dan sosoknya oleh seorang peneliti asing. Sejarawan dan Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Soewarsono menceritakan, Haji Misbach dikenal sebelum 1965-1966. Salah satu buku yang ditulis almarhum profesor Harsa Bachtiar dari UI menyebut, Haji Misbach sebagai orang di antara pemimpin pergerakan kebangsaan di Indonesia, atau tepatnya dikenal dengan pemimpin komunis keagamaan yang mempropagandakan ideologis komunis dengan kutipan-kutipan dari Alquran.
Haji Misbach, juga dikenal sebagai orang yang dibuang di Manokwari, dan meninggal dua tahun kemudian. Sebuah jalan di Solo pernah dinamai dengan Jalan Haji Misbach, tapi setelah peristiwa 1965/1966, jalan itu dihapus.Dihilangkan Dari Sejarah Politik sejarah telah menyembunyikan tiap-tiap tokoh, peristiwa dan lain-lainnya, yang dapat menimbulkan inspirasi perjuangan bagi bangsa Indonesia. Pahlawan-pahlawan Indonesia yang berhasil mengalahkan Belanda, yang berjuang sampai tetes darah penghabisan, yang berjiwa nasional, dikaburkan oleh sejarawan-sejarawan kolonial dalam tumpukan arsip-arsip tua. Tidak dikenalnya Marco, bukanlah kejadian yang kebetulan saja, akan tetapi merupakan sebuah politik kolonial yang direncanakan, karena Marco adalah tokoh yang inspiratif dan tokoh-tokoh yang tidak penah mau berkompromi dengan Belanda.
“Nama Haji Misbach dicoba untuk ditiadakan dalam realitas masyarakat Indonesia, maupun sejarah Indonesia. Pembicaraan mengenai Haji Misbach muncul kembali di kalangan akademisi itu, sejauh yang saya tahu sejak 1980an, ketika seorang penulis mengutip nama Haji Misbach sebagai seorang Jawa dan Komunis. Belakangan menjadi terkenal karena studi seorang sarjana dari Jepang, Takashi Siraishi yang menulis tentang pergerakan radikalisme rakyat di Jawa 1912-1926. Satu di antara tokoh yang dibahas secara intensif dan mendalam, adalah Haji Misbach. Lewat studi itu pula, nama Haji Merah muncul,” jelas Soemarsono. Takashi Shiraishi memulai disertasinya pada 1986. Bisa dianggap Takashi orang pertama yang menjelaskan secara mendalam dan detail, siapa dan apa peran yang dimainkan Haji Misbach selama masa yang disebut “zaman bergerak”.
Meskipun dalam karyanya, ia memaparkan radikalisme dalam zaman pergerakan secara umum, ia pun mengakui peran penting Haji Misbach dan tulisan-tulisannya, bukan hanya dalam masa hidupnya, namun juga dalam mengilhami dan memengaruhi karyanya ini. Dalam prakata bukunya, misalnya, ia menulis, “Konsepsi buku ini berasal dari pertemuan saya dengan serial artikel Hadji Mohammad Misbach dalam Medan Moeslimin, “Islamisme dan Komunisme”, yang saya temukan di Perpustakaan Museum Nasional Jakarta, pada Desember 1977. Oleh karena tidak dapat memahaminya, saya mencari dan coba merekonstruksi sebuah konteks historis yang bermakna untuk menempatkan dan membaca artikel tersebut. Hal ini membuat saya mempertanyakan historiografi ortodoks tentang pergerakan.”
Yang dimaksud dengan historiografi ortodoks oleh Takashi adalah klasifikasi yang diterapkan pada kelompok-kelompok dalam zaman pergerakan, dan penyederhanaan-penyederhanaan yang reduksionistik dalam melihat pergerakan. Dalam historiografi ortodoks, lapangan pergerakan dibagi secara kaku dan saklek menjadi tiga golongan yang baku berdasar ideologi (nasionalisme, Islam, dan komunisme), tanpa dimungkinkan adanya sintesa dan percampuran hibrida antar ketiganya.
Karenanya, ia akan gagap menjelaskan adanya fenomena orang-orang yang bergerak di lebih dari satu lapang pergerakan (semisal orang yang aktif di Insulinde dan menjadi anggota SI, atau anggota Budi Utomo yang juga aktif di SI, dan seterusnya). Juga, ia kesulitan mengidentifikasi adanya nuansa dan keberagaman dalam satu organisasi, yang tak bisa disederhanakan dalam klasifikasi-klasifikasi tersebut. Dalam hal ini peran Haji Misbach begitu penting. Apalagi Soewarsono melalui buku yang ditulisnya ‘Jejak Kebangsaan Kaum Nasionalis di Manowari dan Bovendigul’ juga menceritakan, sosok Haji Misbach adalah muslim yang baik, lulusan pesantren, serta pernah berhaji sebelum memulai pergerakan Nasional. Haji Misbach juga seorang pimpinan media.
“Pergerakan Nasional dimulai oleh Haji Misbach ketika menjadi jurnalis. Haji Misbach memiliki dua surat kabar namanya Medan Muslimin yang didirikan 1915, dan Islam Bergerak pada 1917. Ini yang akan menjadi dasar dia berkegiatan dalam politik pergerakan saat itu. Hanya saja, masa pergerakan itu dimulai saat ia bergabung dalam organisasi yang didirikan Cipto Mangunkusumo, Insulinder yang berubah menjadi Sarikat Hindia, atau National Indische Partij,” terangnya. Seorang Islam sejati seperti Haji Misbach, jelas Soewarsono, mengalami perkembangan politik pada konteks pertamanya adalah pergerakan yang bersifat kebangsaan, atau saat ini dikenal dengan ‘Tiga Serangkai’ (Cipto, Dowes Dekker, dan Suhardi Suryaningrat) hingga tahun 1923, sebelum kemudian Sarikat Hindia dihancurkan oleh Belanda. Padahal sosok ini tak bisa bahasa Belanda, karena hanya lulusan pesantren dan sekolah ongko lorho. Karena tidak bisa bahasa Belanda, Haji Misbach tidak bisa mengakses buku-buku tentang komunis terbitan Belanda. Untuk menyiasatinya, ia menggunakan bahasa daerah dan melayu yang dikuasainya untuk mengakses karya-karya komunisme yang ditulis dalam bahasa melayu.
Karya Tan Malaka dan Semaun saat itu memang banyak beredar. Semisal Novel Hikayat Kabirun, karya Semaun. Karya-karya yang dibacanya itu membuat Haji Misbach berpandangan lain tentang Islam dan komunisme. Meskipun ia tahu Islam dan komunisme dua hal yang berbeda. Tak jelas dari mana ketertarikan dan kesadaran Haji Misbah terhadap isu yang tak begitu populer bagi kalangan agamawan ini muncul. Yang jelas, seperti tergambar dari kesaksian Marco terhadap sosoknya, ia adalah seorang haji yang terbuka, eklektik, mau menerima pengetahuan dari mana saja, dan tak canggung untuk bergaul dengan siapa saja dari latar belakang apa saja.
Hal-hal ini mungkin yang kemudian memantik kesadarannya dan membangkitkan perhatiannya terhadap persoalan masyarakat pinggiran. Kepedulian Haji Misbach terhadap rakyat kecil pun bukan semata didasari empati dan rasa kasihan, namun juga dilengkapi dengan pengetahuan sebagai perangkat untuk menganalisa dan mengaitkannya dengan struktur ekonomi yang lebih luas pada masa itu.
Hal ini kemudian melahirkan sesuatu yang unik, yaitu sintesis pemikiran. Dalam banyak tulisannya, terutama sejak 1918, ia sering mengombinasikan penguasaannya terhadap pengetahuan agama (patut diingat, pada masa itu, gelar Hadji hampir pasti menunjukkan orang yang menyandangnya adalah Muslim taat dengan pengetahuan agama yang luas dan mendalam), dengan mengutip mashadir al-ahkam (sumber hukum) dan dalil-dalil agama, termasuk juga cerita-cerita perjuangan Nabi, dengan pemahamannya yang juga terbilang cukup baik terhadap konsep ekonomi-politik yang diungkapkan dengan istilah sederhana pada masa itu, seperti “kapitalisme”, “penghisapan”, dan “penindasan” ekonomi.
Akhir Petualangan Haji Merah
Misbach pembela komunis dan pembela Islam. Saat itu Martodharsono yang menerbitkan tulisan Djojodikoro dalam surat kabar yang dikelolanya, Djawi Hisworo. Umat Islam meradang karena Djojodikoro menulis begini dalam artikel yang terbit pada Januari 1918 itu: “Gusti Kanjeng Nabi Rasul minum gin, minum opium, dan kadang suka mengisap opium.” Atas tulisan tak senonoh itu, Misbach meminta kepada pihak-pihak berwenang, yakni pemerintah kolonial Hindia Belanda dan Kasunanan Surakarta Hadiningrat, agar menjatuhkan tindakan tegas kepada dua jurnalis Solo itu lantaran telah melecehkan Islam.
Misbach bahkan mendirikan laskarnya sendiri yang diberi nama Sidik, Amanah, Tableg, Vatonah (SATV) untuk mendampingi Tentara Kandjeng Nabi Mohammad (TKNM). Selain itu, ia menyebar seruan tertulis yang menyerang Martodharsono. Segeralah beredar kabar bahwa Misbach akan berhadapan dengan mantan wartawan Medan Prijaji di arena debat. Jantung peradaban Jawa pun berguncang. Tersengat oleh semangat Misbach, kaum muslimin dari berbagai daerah berbondong-bondong menghadiri tabligh akbar yang disponsori TKNM dan SATV di Lapangan Sriwedari Solo pada 24 Februari 1918.
Takashi Shiraishi menyebut pertemuan besar di Sriwedari itu diramaikan oleh lebih dari 20.000 orang. Sangat riuh, persis seperti Aksi Bela Islam 411 dan 212 yang dipusatkan di Jakarta beberapa waktu lalu.Misbach memang pembela Islam sejati. Dia tak segan-segan menyerang orang-orang yang menistakan agamanya, bukan lewat aksi fisik tentunya tapi melalui debat atau tulisan.“Barangsiapa yang merampas agama Islam, itulah yang wajib kita binasakan!” tukas Misbach di surat kabar Medan Moeslimin (1918).
Bahkan terhadap sesama muslim yang justru tidak menghargai Islam, Misbach pun siap menerkam. Rekan Misbach sesama pejuang pergerakan nasional, Mas Marco Kartodikromo, pernah berujar: “Misbach itu seperti harimau di dalam kalangannya binatang-binatang kecil. Dia tidak takut mencela kelakuan orang-orang yang mengaku Islam tetapi selalu mengisap darah teman sendiri.”
Dan ketika kaum putihan “termakan” propaganda politik identitas oleh PSI/CSI tentang komunisme, tanpa tahu apa itu komunisme, Misbah justru menyatakan: Begitoe djoega sekalian kawan kita jang mengakoei dirinja sebagai seorang kommunist, akan tetapi misi soek mengeloewarkan fikiran jang bermaksoed akan melinjapkan igama Islam, itoelah saja berani mengatakan bahoewa mereka bukannya kommunist jang sedjati atau mereka beloem mengerti doedoeknja kommunist; poen sebaliknja, orang jang soeka mengakoe dirinja Islam tetapi tidak setoedjoe adanja kommunisme, saja berani mengatakan bahoewa ia boekan Islam jang sedjati, ataoe beloem mengertibetoel2 tentang doedoeknja igama Islam.
Pada bulan-bulan berikutnya, ia tetap aktif mengorganisir serikat-serikat buruh dan tani, dan pemogokan-pemogokan ketika dianggap diperlukan untuk menyuarakan isu-isu tertentu, seperti rendahnya upah, dan sebagainya yang tak didengarkan ketika disampaikan secara “baik-baik”. Sampai ketika pada pertengahan Mei 1920, ia diperintahkan untuk ditangkap, dan melalui pengadilan landraad (pengadilan untuk pribumi) di Klaten, diputuskan untuk dipenjara selama dua tahun atas tuduhan provokasi dan hasutan pemogokan melalui rapat-rapat umum yang dihadirinya di desa-desa di sekitar Surakarta.
Dari perjuangannya sebagai Haji Merah, Misbach harus masuk penjara dua kali. Selain keterlibatannya di Sarikat Hindia, dia juga masuk ke partai PKI. Setelah itu menjadi propagandis PKI SI Merah.
Pergerakan politiknya di Propagandis PKI SI Merah ini menjadi gerakan yang menakutkan terutama di Surakarta, dan Solo, yang membuat ia ditangkap dan dibuang di luar Jawa. Dan, dia adalah orang pergerakan pertama yang dibuang di Manokwari.
Dia dianggap sebagai salah satu dalang dari kerusuhan yang terjadi pada Oktober 1923. Per tanggal 18 Juli 1924, ia memulai perjalanan pengasingan ke Manokwari dari pelabuhan Surabaya. Saat itu penjagaan polisi sangat ketat.
Ketika Misbach kembali sebentar ke Surakarta, hanya Sjarief dan Haroenrasjid dari Medan Moeslimin, di samping kerabatnya, yang diizinkan menjenguknya. Anggota-anggota PKI dan SR Surabaya pergi ke pelabuhan, tetapi usaha ini sia-sia karena ia dikurung dalam kabin. Dan Misbach meninggalkan Jawa dalam keterpencilan.
Pada 24 Mei 1926, Haji Misbach wafat setelah mengidap penyakit malaria, menyusul istrinya yang sebelumnya meninggal karena TBC. Ia kemudian dimakamkan di pemakaman Penindi, Manokwari, dengan diantar oleh sekelompok kecil anggota Sarekat Rakjat Manokwari, yang jumlahnya tak lebih dari 20 orang.
Sebagai seorang mantan anggota organisasi pergerakan semacam Insulinde dan Sarekat Rakjat, dan sebagai mantan propagandis yang terbiasa berhubungan dengan ratusan bahkan ribuan orang, kematian dan penguburannya yang sunyi memang ironi.
Namun, ini hanya pengulangan semata dari apa yang sudah menimpa pendahulunya, Tirto Adhi Soerjo—yang oleh Pramoedya Ananta Toer didaulat sebagai “Sang Pemula” penyebaran kesadaran nasional— atau yang kelak menimpa rekannya, Marco Kartodikromo—yang menurut Soe Hok Gie, adalah wartawan pembela rakyat tertindas yang berani nan “bandel”, yang wafat dalam kesunyian pengasingan Boven Digoel pada 1932.
Haji Merah itu kini telah tiada. Namun ada yang perlu dicatat, Haji Misbach telah melihat ada titik-titik persamaan antara Islam sebagai ajaran kemasyarakatan dan Marxisme-Leninisme sebagai ideologi politik. Dia mencoba menggabungkannya.
Misbach menyadari betul Marxisme berpengaruh terhadap bapak-bapak bangsa dan berperan besar di era perjuangan kemerdekaan, sebagai pisau analisa terhadap kondisi kolonialisme yang dialami bangsa Indonesia kala itu.
Soekarno saja mengakui teori Marxisme adalah satu-satunya teori yang dianggap kompeten buat memecahkan soal-soal sejarah, politik, dan kemasyarakatan. Bahkan Sjahrir yang dikemudian hari pandangan ekonomi-politiknya dianggap kanan (karenanya disebut soska alias sosialis kanan), dengan tegas mengatakan bahwa gerakan nasionalisme di Asia-Afrika tak dapat dilepaskan dari ketertarikan mereka terhadap Marxisme.
Mengenang Haji Misbach seperti menyadarkan kembali bahwa tidak ada yang perlu ditakuti terhadap paham Marxisme, atau menganggapnya sebagai ancaman. Alih-alih bangsa ini harusnya mengapresiasi karena peran yang besar dalam perjuangan kemerdekaan bangsa, dan karena kesamaan tujuannya yang mulia dengan Islam, yakni membebaskan masyarakat tertindas.@nov
*) diolah dari berbagai sumber
caption 1: Misbach dijuluki Haji Merah. Foto: repro
caption 2: Buku Takashi Shiraishi berjudul “zaman bergerak”.tahun 1986 menjelaskan peran Haji Misbach. Foto: repro
caption 3: Surat kabar Medan Muslimin yang dipimpin Haji Misbach. Foto: repro
caption 4: Kongres Sarekat Islam (SI) di Bandung. Dalam kongres itu banyak kaum putihan kepincut paham Marxisme setelah Haji Misbach naik podium. Foto: repro
caption 5: Makam Haji Misbach di Manokwari. Foto: repro
Bu Dar mortir pendiri dapur umum selama pertempuran 10 November. (foto: istimewa)
abad.id-Pertempuran di Surabaya makin sengit, sementara amunisi peluru para pejuang sangat terbatas. Mereka datang dari penjuru kota di Indonesia berniat ingin berkorban jiwa dan raganya untuk kemerdekaan. Namun yang mereka jumpai, kota Surabaya seperti neraka yang penuh bara api dan aroma amis darah. Mayat mayat bergelimpangan, serta terdengar dari jauh suara merintih kesakitan. Usaha pertolongan semakin sia-sia, sebab harus melewati rintangan perlawanan dari tentara lawan.
Hanya satu tempat yang paling damai dan jauh dari kebisingan perluru dan bom. Tempat itu berada tersembunyi di garis pinggir, namun sangat menentukan arah pertempuran. Yaitu dapur umum yang dikelola Bu Dar Mortir.
Nama lengkap perempuan itu Dariyah Soerodikoesoemo, namun lebih dikenal sebutan Bu Dar Mortir. Sejak suaminya ikut tewas dalam pertempuan, hidupnya menjadi luntang-lantung tanpa tujuan.
Sebelum pecah perang, kehidupan Bu Dar sangat mapan untuk kelas warga pribumi. Namun kedatangan sekutu di Surabaya sejak September 1945 telah menimbulkan gejolak keamanan dan ketertiban. Para pemuda dan TKR ramai-ramai melakukan pelucutan sepihak senjata dan aset tentara Jepang. Sempat terjadi beberapa pertempuran dan kekacauan di Surabaya karena ada perlawanan. Beberapa pemuda dan TKR tewas dalam kekacauan itu.
Begitu pula dengan keluarga kecil Bu Dan dan suaminya Soerodikoesoemo yang bekerja sebagai pamong praja. Soerodikoesoemo ikut tewas dan mengakibatkan Dariyah menjadi janda. Dariyah marah dan sangat sedih sambil memeluk tubuh suaminya yang tertembak. Saat pemakaman Soerodikoesoemo, Bu Dariyah semakin bertekat ingin membalas kejahatan itu.
Kekuatan tidak seimbang menyebabkan jumlah korban pemuda Surabaya sangat banyak. Pemimpin aksi perlawanan setempat bersama pejabat republik meminta Surabaya harus dikosongkan. Saat itu Bu Dar yang prihatin melihat tentara yang lapar dan terluka. Seketika Bu Dar mendatangi sebuah toko, dan melepas kalung dan gelang emas harta satu satunya yang dibawa mengungsi. Barang berharga seberat 100 gram itu ia tukarkan dengan bahan-bahan makanan mulai beras, saryur dan ikan. Bahan makanan itulah yang kemudian diolah bersama-sama ibu-ibu lain di bekas gudang yang ditinggal pemiliknya di Wonokromo. Kelak asupan ransum ini sangat bermanfaat bagi para pejuang di garis depan.
Aksi Bu Dar membuat dapur umum secara swadaya ini terdengar pimpinan COPP VI di bawah Letkol Latif Hadiningrat. Perang berkecamuk makin besar, Bu Dar langsung diajak terlibat dalam perencanaan menu dan kebutuhan logistik makanan. Terlebih saat Surabaya jatuh ke tangan Inggris dan pasukan pemuda dan TKR melakukan perlawanan gerilya, Bu Dar diminta mengurusi dapur umum. Sementara pasukan COPP VI di bawah pimpinan Letkol Latif Hadiningrat bertugas mencari bahan yang dimasak.
Untuk kebutuhan beras diambil dari gudang beras Sri Sedana yang ada di Sooko. Gudang milik orang Cina itu penuh dengan bahan makanan yang dikumpulkan oleh Jepang sebelum menyerah kalah. Gudang beras itu merupakan tempat penimbunan perbekalan terbesar di Mojokerto. Gudang sejenis yang lebih kecil juga tersebar di wilayah lainnya seperti di Mojosari dan lainnya. Bahan makanan itu dikirim ke Surabaya menggunakan kereta api.
Dalam satu hari, dapur umm Bu Dar di kawasan karang pilang bisa membuat 5 ribu nasi bungkus daun. Ransum itu dibagikan secara estafet oleh kelompok voluntir. Tak hanya mengomando produksi makanan, Bu Dar juga mengawasi distribusi nasi bungkus daun itu. Bu Dar tidak ingin para pejuang mati karena menerima atau mengonsumsi makanan itu dalam keadaan basi. Bahkan, bukan hanya di dapur, rupanya Bu Dar juga menyiapkan dan mengorganisasi pos-pos palang merah. Khususnya untuk merawat para pejuang yang terluka akibat pertempuran.
Sementara beberapa pemuda dan TKR yang sedang istirahat juga memilih mendatangi dapur umum untuk makan sambil ngobrol. Berita berita pertempuran sangat cepat beredar di dapur umum. Sehingga diantara pemuda dan TKR langsung melakukan perencanaan strategi sambil makan dan minum manis.
Kegiatan Dapur umum tidak pernah berhenti selama 24 jam. Di buku Tentara Pelajar, para pemuda dan TKR sangat tidak doyan makan. Begitu selesai perang, perut langsung lapar. Kalau membawa bekal ransum nasi bungkus langsung dimakan. Namun kalau tidak, mereka mendatangi dapur umum terdekat untuk makan apapun yang ada. Bahkan sisa-sisa nasi agak basi juga dimakan.
Ada beberapa saksi yang mengenal Bu Dar Montir dikenal sangat keras dan cekatan. Jika melihat anggota lain kerja lamban menyiapkan ransum, maka lansgung dilempar susur ( bahan kinang dari tembakau dan suruh). Terhadap Keberhasilan Bu Dar Montir membuat dapur umum ini sangat diapresiasi pimpinan militer lainnya. Dalam waktu singkat, Bu Dar diminta membuat 50 dapur umum serupa di titi titik yang sudah disiapkan. Dia adalah 'combat cook' atau dapur umum pusat selama perang yang tidak kenal jam. Dia yang memperhatikan dan merawat pejuang. SDM-nya ada ratusan sampai ribuan orang.
Dalam pertempuran amunisi paling mendukung untuk menang berupa ransum makanan. Ransum tersebut dimasak oleh para relawan ibu-ibu dan didistribusikan hingga garis depan. Foto istimewa
Hingga awal tahun 1946, dapur Umum itu di daerah Wonokromo masih aman dari bahaya perang. Kiriman bahan makanan dari luar kota seperti beras, kelapa, minyak masih lancar menggunakan kereta dan diambil orang suruhan di stasiun. Namun setelah kota Surabaya tidak bisa dipertahakan lagi, maka dapur umum juga dipindahkan mengikuti garis pertahanan yang ditentukan. Dapur Umum kemudian dipindahkan ke Mojokerto yang koordinasinya dibawah kendali DPDS. Pusat kegiatan dapur umum ada di gedung pertemuan Brantas dekat pasar Kliwon. Gedung itu juga menjadi tempat transit bagi para pengungsi yang datang ke Mojokerto sebelum dipindah ke rumah-rumah penduduk. Selain memenuhi kebutuhan para tentara di garis depan, dapur umum juga menyediakan makanan bagi pengungsi.
Pada tahun 1946 sistem pertahanan pejuang disusun menurut garis linier dengan membangun pos pada titik tertentu. ransum makanan bagi pejuang yang berada di garis depan menjadi tanggung jawab dapur umum terdekat. Makanan basah maupun kering harus segera di distribusikan sehingga sering tidak dibungkus rapi. Bungkusan sering rusak saat diterima para pejuang, sehingga makanan sudah basi saat dimakan.
Tugas penyediaan makanan untuk tentara akhirnya dihapuskan dari dapur umum pada awal tahun 1947. Penghapusan karena ada insiden Pesindo dengan Hizbullah. Dua kelompok ini terlibat ketegangan karena Pesindo menuduh Hizbullah menyerobot jatah makan organisasi lain, karena jumlah yang diterima selalu melebihi kebutuhan. Rupanya Pesindo tidak mengerti bahwa selain jatah rutin dari dapur umum, Hizbullah juga memperoleh kiriman makanan dari muslimat NU. Untuk menghindari kecemburuan semacam itu, kemudian diputuskan jatah makanan dirupakan bahan mentah untuk diolah sendiri oleh kesatuannya. Sejak saat itu peran dapur umum mulai berkurang, dan Bu dar Mortir lebih berkonsentrasi penyedian makanan untuk pengungsi.
Cerita dapur umum menjadi kekuatan perlawanan pemuda dan TKR mulai tidak terdengar setelah Mojokerto di duduki tentara NICA pada pertengahan Maret 1947 menjelang perjanjian Linggarjati. Menurut cerita, dapur umum juga ikut pindah ke Jombang mengikuti gerak mundur Pemuda dan TKR yang dipimpin Residen Surabaya, Sudirman. Kiprah dapur umum semakin meredup seiring penataan personil dan para pengungsi mulai menyebar ke tempat-tempat yang bisa memberi kehidupan. Begitu pula kisah perjuangan Bu Dar Montir juga menghilang tanpa meninggalkan catatan apapun. (pul)
abad.id-Pada tanggal 8 Desember 1980, Mark Chapman menembakkan empat peluru ke tubuh penyanyi Jhon Lenon. Pembunuhan tanpa motif yanag jelas itu segera mengubah sejarah the Beatles yang sebelumnya sudah didera konflik. Jhon Lenon legenda musik asal Inggris itu tewas seketika, meninggalkan Yoko dan anaknya Sean.
Sekitar tahun 1980-an pasca kejadian pembunuhan Jhon Lenon, kehidupan janda Yoko selalu bersembunyi dari keramaian. Di belakang kacamatanya yang besar menutupi tubuhnya yang mungil itu, Janda Yoko harus sering berpindah apartemen bersama Sean. Semangat hidup semakin kuat dan memilih tidak terlalu lama berduka. Yoko harus menyelamatkan semua kegiatan bisnis mantan suaminya yang terbengkalai, serta melanjutkan beberapa perusahaan yang sudah dirintis. Disamping kegiatan lain kembali merekam beberapa album Jhon Lenon yang belum sempat dirilis.
Dibalik kesibukannya itu, Yoko masih gelisah dengan masa depan hidupnya bersama Sean. Sebab sejak pembunuhan Jhon Lenon, mata dunia masih terus mengejar kehidupan privasinya. Dampaknya perkembangan phiskologis Sean selalu dicekam ras takut. Untuk itu Yoko harus menyewa beberapa pengawal bersenjata untuk mendampingi Sean yang baru genap 7 tahun. Sebaliknya Sean juga mengkawatirkan kehidupan Yoko yang menjadi orang tua tunggal. “ Mama jangan pergi-pergi tanpa ada pengawalan, sebab jika mama dibunuh, aku tidak punya siapa siapa lagi di dunia,” kata Sean suatu ketika.
Sebenarnya tidak mudah bertahan setelah tragedi penembakan Jhon Lenon itu. Sebab antara Yoko dan Jhon Lenon seperti bermuka dua. Di satu pihak sebagai istri Yoko menangis seperti anak kecil yang membutuhkan bujukan mainan dan kata-kata manis. Namun di pihak lain sebagai janda harus mengatasi kesedihan demi anaknya Sean. “Aku harus menjaga dan membesarkan Sean, disamping mengelola warisan-warisannya,” kata Yoko .
Sean Lenon bersama john lennon dan ibunya Yoko ono. Potret keluarga kecil itu terlihat sangat bahagia. Foto dok net
Kehidupan mapan sudah dirasakan Yoko sejak kecil. Yoko lahir sebagai putri seorang bankir asal Jepang dan melewatkan masa kecilnya dengan pendidikan yang baik. Akhir minggu misalnya, diisi dengan kegiatan membaca dan membuat puisi. Ketika di usia remaja, Yoko senang melukis dan selepas sekolah dia menekuni drama dan nyanyi. Hingga suatu saat Yoko bertemu dengan komponis Jepang Thosi Ichiyanagi. Mereka menikah muda usai Yoko menyelesaikan sebuah pertunjukan. Namun pernikahan tidak bertahan lama, dan mereka memutuskan bercerai. Tidak lama kemudian, Yoko menikah lagi dengan produser film Amerika Anthony Cox. Mereka dianugrahi seorang putri bernama Kyyoko pada tahun 1963.
Dalam kurun waktu 4 tahun setelah Kyyoko lahir, karir Yoko di dunia film mulai bersinar. Melalui film berjudul Original et Cerebral, namanya sering diperbincangkan di Holywood. Jhon Lenon yang saat itu mulai sering konser di benua Amerika mulai tertarik dengan Yoko dari sampul cover film yang beredar. Karena begitu tenarnya, Jhon Lenon meminta foto Yoko untuk sampul luar sebuah album piringan hitam Les Deux Vierges. Saat itu Jhon Lenon sedang menduduki puncak karir sebagai penyanyi idola remaja di Inggris, dan telah memiliki istri Cynthia yang cantik dan mempunyai seorang putra yang masih kecil. Saat media massa menggosipkan keduanya, tiba tiba Jhon Lenon malah menyampaikan ungkapan yang kontroversial. “ Yoko dan saya saling mencintai, dan kami akan segera menikah setelah bebas”
Ungkapan seperti sebuah doa dan semakin ramai menjadi berita gosip di media Inggris. Setelah keduanya berhasil bercerai dari masing masing pasangannya, Jhon Lenon dan Yoko melangsungkan pernikahan pada tahun 1969 di Gibraltar.
Menjadi Manusia Kuat Setelah Kematian Jhon Lenon
Setelah melewati periode panjang yang pemnuh kesedihan, semangat hidup Yoko bersama Sean kembali bergairah karena musik. Tiga tahun setelah peristiwa itu, Yoko sudah kembali muncul di sebuah wawancara televisi. Meskipun wajahnya yang mungil tertutup kaca mata hitam yang besar, para fans Jhon Lenon seperti terobati oleh semangat Yoko . Kehadirannya untuk mempromosikan sebuah album piringan hitam yang baru berjudul it’s Allight. Lagu-lagu dalam album tersebut berisikan cutahan hati Yoko setelah peristiwa kematian suaminya.
Yoko telah menjadi wanita yang sangat sibuk. Diluar karier sebagai artis, dia harus mengurusi perusahaan dan peninggalan barang-barang koleksi Jhon Lenon. Yoko juga membangun sebuah yayasan yang digagas Jhon Lenon, berupa banyak kegiatan investasi dan badan amal. “ Total ada 10 perusahaan piringan hitam, 7 rumah yang disewakan, 4 ranch di Florida dan Viginia, sebuah hotel di New York. “Saya harus mengelola sendiri mulai memegang buku keuangan dan megawasi para direktur.” Kata Yoko yang mengaku hanya butuh waktu tidur 5 jam perhari karena bekerja keras. (pul)
Dr Cipto Mangunkusumo (duduk memakai peci) menjelang dipulangkan dari pengasingan di negeri Belanda tahun 1914. Foto dok net
“Aku anak rakyat, anak si kromo”
Waktu itu kejadian di Kepanjen Malang sekitar tahun 1910 sedang terjangkit wabah pes. Rakyat yang sudah melarat banyak yang menjadi korban penyakit pes. Pemerintah Belanda cukup kewalahan dengan mengamuknya penyakit itu. Apalagi banyak dokter yang bekerja di Pemerintah Hindia Belanda menolak terlibat menangani penyakit pes.
Melihat kondisi itu dr Cipto menangis. Ia begitu iba melihat nasib sebangsanya yang penuh dengan penderitaan. Dengan kesadarannya sendiri, dr Cipto mengajukan permohonan untuk ikut memberantas penyakit pes. Permohonan itu langsung dikabulkan dan tidak lama kemudian dr Cipto diberangkatkan ke Malang.
Tiba di Kepanjen Malang, dr Cipto harus berjuang menyembuhkan ratusan warga yang terkena penyakit pes. Dia datang tanpa dibekali pengaman, seperti masker dan sarung tangan. Tekatnya sudah bulat, ingin mengabdi untuk sesama kaumnya warga bumiputra. Hingga suatu saat di sebuah desa terpencil terdegar tangisan bayi yang melengking dari sebuah gubuk yang sepi. Bagi dr Cipto dan beberapa perangkat desa, suara itu menimbulkan kecurigaan. Sebab hampur seluruh warga di desa tersebut telah meninggal dunia akibat wabah pes. Saat didekati, suara itu semakin melengking dan mengarah di sebuah gubuk. Satu satunya yang masih hidup hanya bayi itu, sementara orang tuanya sudah tergeletak tewas disebelahnya. Dengan kasih sayang, dr Cipto memungut bayi itu dan mengadopsi selayaknya anaknya sendiri. Dr Cipto memberi nama bayi Pesyati, untuk mengenang sebuah peristiwa besar wabah pes di Kepanjen Malang.
Di dalam hidupnya yang tidak terlalu panjang, dr Cipto dikenal sebagai profil yang teladan. Julukannya dokter Jawa yang berbudi diberikan kepadanya karena tindakannya tercetus karena rasa kemanusiaan. Selama dr Cipto berada selalu menjadi pusat perhatian rakyat kecil yang ingin berobat. Selama praktek pengobatan, dr Cipto memasang tarif mahal bagi pasien yang kaya, namun menggratiskan bagi rakyat miskin. Kemampuannya menjinakan anak kecil selalu dikenang para mantan pasiennya. Ia selalu berhasil menaklukan anak anak yang umumnya takut kepada dokter.
Pengabdian Kepada Kemanusiaan
Dr Cipto lahir pada 4 Maret 1886, putra pertama dari seorang kepala sekolah di Cangakan Jepara. Bapaknya Mangunkusumo mendidik Cipto dengan disiplin ketat namun sangat demokratis. Misalnya soal cita-cita, Cipto dibebaskan untuk memilih sekolah. Sebab sekolah itu bisa menentukan masa depan sekaligus kehidupannya tua kelak. Lulus dari sekolah rendah, Cipto mengikuti ujian masuk untuk menjadi pegawai pangreh praja. Ternyata hasil ujian Cipto berhasil lulus dengan peringkat nomor 1. Namun ketika Mangunkusumo bertanya apakah serius ingin menjadi pegawai pamreh praja, ternyata jawabannya Cipto tidak berniat. Ujian itu hanya ingin menunjukan kemampuannya kepada kawan kawan di sekolah. Alasan lain, Cipto ingin masuk ke Stovia ingin menjadi dokter.
“Saya tidak ingin menjadi pegawai pamreh praja yang hidupnya disembah-sembah dan harus menyembah nyembah kepada atasannya,” alasan Cipto.
Bagi Cipto, menjadi dokter lebih baik dan leluasa memberi pertolongan kepada banyak orang tanpa harus kehilangan pekerjaan. Sebab sebagai dokter bisa membuka praktek pengobatan tanpa terikat. Setelah sekolah di Stovia 5 tahun, pada tahun 1905 di usia 19 Cipto lulus dan berhak menyandang gelar dokter. Saat dilantik menjadi dokter, dalam hatinya Cipto berjanji “Aku Anak Rakyat, Anak Si Kromo”. Kata-kata itu diucapkan dengan penuh keyakinan oleh anak muda lulusan Stovia.
Begitu pula saat sesi pemotretan, dr Cipto mangunkusumo menggunakan baju yang berbeda dengan kawan-kawan lainnya. Semua peserta wisuda mewajibkan mengenakan pakaian daerah masing-masing. Bagi siswa Belanda atau eropa lainnya, tentu menggunakan baju jas dan celana panjang. Sedangkan dr Cipto Mangunkusumo memakai baju kebesaran para leluhurnya yaitu beskap lurik tenunan Klaten yang biasa dipakai rakyat pribumi, kepala diikat batik sederhana, bawahan jarik parang serta tanpa alas kaki. Dr Cipto sadar bahwa kedudukannya sebagai bangsawan mestinya bisa merubah penampilannya menjadi apapun. Namun karena prinsip yakin bahwa dirinya bukan siapapun dan apapaun bagi rakyat, maka sejak pelantikan itu, tatapan mata dr Cipto hanya ingin memanusiakan bangsanya sendiri.
Dr Cipto Mangunkusumo usai dilantik dokter. Foto dok net
Semangat berjuang menuntut keadilan kaum pribumi semakain gencar dilakukan dr Cipto Mangunkusumo usai dilantik dokter. Jika selama mahasiswa hanya datang sebagai peserta forum forum diskusi kebangsaan, kini dirinya yang mempelopori gerakan politik itu. Dr Cipto Mangunkusumo bersama dr Sutomo dan Douwes Dekker memprakasai organisasi Budi Utomo pada 20 Mei 1908. Gagasan politik kebangsaan Budi Utomo ini dianggap cikal bakal lahirnya gagasan menjadi negara merdeka. Belanda semakin represif atas gerakan politik kebangsaan, sehingga perlu mengasingkan tokoh tokohnya. Maka tahun 1913, dr Cipto Mangunkusumo, Ki Hajar Dewantara dan Douwwes Dekker diasingkan ke Belanda. Setahun ditepat pengasingan, dr Cipto dikembalikan ke Hindia Belanda karena mengalami sakit asma. Rupanya dr Cipto Mangunkusumo tidak tahan cuaca dingin eropa dan membuat penyakit asma makin ganas menyerangnya.
Tegas Memegang Prinsip
Bagi para kolega sesama kelompok nasionalis, hampir semuanya punya penilaian yang sama terhadap dr Cipto Mangunkusumo. Bangsawan Jepara ini dikenal keras kepala dan tegas terhadap prinsip hidupnya. Dr Cipto keluar dari kepengurusan Budi Utomo dengan penuh amarah. Penyebabnya ada beberapa usulan demi berkembangnya organisasi, namun ditolak. Dr Cipto Mangunkusumo hanya mengenal hitam dan putih sebuah masalah, serta apapun yang sudah diucapkan tidak pernah sudi ditariknya. Sejak saat itu dia sering bentrok pemikiran dengan rekan rekan satu organisasi di Budi Utomo. Hanya dengan Ki Hajar Dewantara dan Douwwes Dekker xaja, dia bisa akrab. Ketiga nama yaitu dr Cipto Mangunkusumo, Douwwes Dekker dan Ki Hajar Dewantara dikenal sebagai “Tiga Bapak” dan Pelopor Nasionalisme Indonesia. Ada juga julukan lain yang lebih dikenal yaitu “Trio Orang Buangan”.
Pemerintah Hindia Belanda juga pernah dibuat kesal dengan kekerasan hati dr Cipto Mangunkusumo ini. Ceritanya saat dirinya mengajukan diri untuk terlibat langsung dalam penanganan wabah pes di Solo. Dr Cipto yakin metode pananganan yang digagasnya akan berhasil, sebab telah terbukti selama pemberantas wabah pes di Kepanjen Malang. Namun apa daya, niat tersebut ditolak mentah mentah oleh Dinas Kesehatan Pemerintah Hindia Belanda. Dengan penuh emosi, dr Cipto mendatangi kepala Dinas Kesehatan sambil membawa bintang Ridder Orde van Oranye Nassau yang diterimanya dari pemerintah Belanda. Bintang jasa tersebut sebagai penghargaan telah berhasil menangani wabah pes di Malang dan hendak dikembalikan.
Dr Cipto wafat pada 8 Maret 1943 karena sakit asma. Karena dedikasinya terhadap perjuangan membangkitkan nilai nilai nasionalisme dan kebangsaan, namanya diabadikan pada sebuah rumah sakit di Jakarta. (pul)
Penulis : Pulung Ciptoaji
Penulis : Pulung Ciptoaji
abad.id- Sutan Syahrir perdana menteri pertama Indonesia yang memiliki peran cukup besar dalam kemerdekaan Indonesia. Sutan Syahrir, salah satu tokoh pergerakan Indonesia yang mengenyam pendidikan di Eropa memiliki sebuah kisah cinta yang unik. Kisah Syahrir layaknya sebuah cerita roman, tentang cinta buta hingga tragedi yang membuat keduanya terpisah.
Sebenarnya Sutan Syahrir berasal dari prototipe suatu keluarga belanda coklat. Syahrir dilahirkan di Padang Panjang pada 5 Maret 1909. Ayahnya Muhamad Rasad begelar Maharaja Sutan bekerja menjadi jaksa. Rasad ayah Syahrir sangat bahagia, sebab tinggal bersama dari 25 anak dari 3 istri. Saat masa keemasan pernah menjadi kepala jaksa dan dianugrahi tanda jasa sebagai ridder in de orde van oranje nassau. Ketika tinggal di Medan, Syahrir memasuki usia sekolah SD Belanda. Lalu melanjutkan di MULO. Dalam rangka kebutuhan pendidikan, pada tahun 1926 Syahrir dikirim ke Bandung untuk menjasi siswa di sekolah AMS. Sekolah AMS ini favoit dan pendidikan lanjutan bagi lulusan MULO. Lulusannya membuka jalan untuk melanjutkan lebih tinggi di Belanda.
Selama di Bandung, Syahrir muda yang berumur 15 tahun telah aktif di gerakan nasionalis. Di gerakan inilah dia sudah kenal dengan Sukarno di beberapa forum diskusi. Padahal Sukarno sudah menjadi lulus dari mahasiswa, sementara Syahrir masih pemuda yang penuh ambisi. Suatu saat Sukarno menjadi pembicara tamu, sementara Syahrir sebagai moderator. Pertemuan itu ternyata tidak berkesan bagi keduanya, sebab justru menimbulkan perang ide antara pelajar dengan pimpinan PNI yang 8 tahun lebih tua. Sukarno sangat tersinggung saat Syahrir memotong pembicaraan dengan mengetok palu. Saat itu tensi diskusi sedang seru-serunya. Penyebabnya Sukarno dianggap terlalu sering menggunakan kata-kata berbahasa Belanda di tengah forum yang dihadiri kaum pribumi.
Keluarga Syahrir sangat mampu untuk membiayai sekolah lanjutan ke belanda. Pada tahun 1929, Syahrir dikirim ke belanda untuk mengikuti pendidikan universitas. “ Tidak ada yang terasa asing bagi saya waktu tiba di Belanda,” kata Syahrir bercerita tentang perkenalannya dengan negara kincir angin itu.
Syahrir tiba di negeri Belanda di akhir musim panas tahun 1929. Syahrir dijemput keluarga Djoehana, temopat awal menumpang. Namun Dokter Djoehana dan Sjahrizal, kakak perempuan Syahrir, hanya sampai 1931 saja tinggal di Belanda. Begitu diploma diraih suami kakaknya, Syahrir hidup sebatang kara di negeri kincir angin.
Selama di Belanda, Syahrir sempat mendaftarkan diri ke fakultas hukum di Universitas Kotamadya Amsterdam, dan Universitas Negara di Leiden. Dari dua kampus tersebut, belum pernah ada catatan Syahrir berhasil menyelesaikannya. Syarir lebih banyak berkelana di Belanda, dan berdiskusi dari forum ke forum. Pemikiran Syahrir sangat dipengaruhi Marx dan Engels. Juga terdapat guru lain penganut marxis fanatik seperti Rosa Luxemburg, Kautsky serta henriette Roland Hols. Stahrir juga menjadi anggota aktif perkumpulan mahasiswa Indonesia, Perhimpunan Indonesia dibawah ketua Mohammad Hatta. Tidak terlalu lama, Syahrir menjadi sekretaris PI.
Setelah berkelana di Amsterdam untuk beberapa waktu, Syahrir mendapat pemondokan di rumah Sal Tas. Keduanya berkenalan di sebuah Perkumpulan mahasiswa Sosial Demokrasi yang diketuai Sal Tas. Perkumpulan ini agak condong ke SDA, tetapi layaknya perkumpulan mahasiswa jauh lebih radikal daripada partai induknya.
Maria Johanna Duchateau
Saat itu Maria Johanna Duchateau masih sangat cantik. Namun, Maria sudah jadi istri Salomon “Sal” Tas induk semangnya. Untung ada Sal Tas. Anak tukang roti yang gandrung pada sastra, musik, dan politik itu menampung Syahrir muda. “Dengan mudah Syahrir dan Tas berteman dan setelah keluarga Djoehana pergi, Syahrir pindah ke rumah kecil Tas yang tidak jauh dari situ,” tulis Rudolf Mrazek dalam Syahrir: Politik dan Pengasingan di Indonesia.
Rumah itu dihuni Sal Tas, istrinya Maria Johanna Duchateau, serta dua anak mereka, dan seorang perempuan bernama Judith van Wamel. Tentu saja ditambah Syahrir yang menumpang. Keluarga ini sering terlihat bersenang-senang ala mereka, mulai pergi ke rumah makan, teater, konser, juga pertemuan politik.
Namun pada November 1931, Syahrir harus angkat kaki dari Belanda setelah dipecat dari PI. Penyebabnya beberapa mahasiswa anggota PI menganggap syaahrir dan Hatta tidak solidaritas kepada Sukarno yang saat itu sedang mendekaam di penjara sukamiskin. Sebelum pulang, rupanya Syahrir sudah terlalu akrab dengan Maria Johanna Duchateau. Kala itu, Maria dan Tas sedang mengalami masa suram pernikahan. Meski sudah punya dua anak, keduanya tampak asyik dengan dunianya masing-masing.
Maria belakangan bahkan seolah-olah membiarkan Tas berhubungan dengan Judith. Sementara Maria Johanna Duchateau juga terlibat cinta dengan Syahrir. Dua sejoli ini punya panggilan kesayangan. Sidi untuk Syahrir dan Mieske untuk Maria. Sal Tas pun tak ambil pusing atas hubungan istrinya dengan sahabatnya itu.
Bulan Desember 1931, Syahrir sudah tiba di Batavia. Dia lalu jadi Ketua Redaksi Daulat Ra'jat. Syahrir tidak menjadi pengekor gaya kaum pergerakan, baik mereka yang dalam pengawasan maupun pemenjaraan seperti Sukarno. Syahrir sering muncul dengan dandanan bohemian: sarung lecek sebagai bawahan, jas sebagai atasan, juga peci di kepala.
Pertemuan Syahrir dengan Sukarno terjadi di Bandung pada 4 Januari 1932 di rumah Gatot seorang aktifis PNI. Sebenarnya keduanya tidak asing, meskipun Syahrir berusia lebih muda dari Sukarno. Syahrir juga dikenal seorang yang pintar menyimpan perasaan, sehingga saat pertemuan itu, dia lebih banyak diam dan Sukarno lebih dominan berbicara tentang arah perjuangan. Atau mungkin pikiran Syahrir sedang tidak nyaman dan masih terkenang perpisahan dengan kekasihnya Maria Duchateau. Sehingga tidak nyambung arah pembicaraan saat diskusi. “Sukarno sudah bebas dan akan mendirikan partai baru dengan tujuan mempersatukan kelompok PNI lama. Saya sudah berbicara dengannya, ia boleh dikatakan memohon bantuan saya. Walaupun demikian saya belum bisa memberi jawaban yang lugas. Saya nasihati dia untuk mempelajari posisi dan sudut pandang kami, dan setelah itu baru berbicara ke kami,” kata Syahrir tentang apa saja yang dibahas dalam pertemuan dengan Sukarno.
Hasil pertemuan dengan Sukarno tidak ada pembahasan penting yang perlu ditindak lanjuti. Saat itu pikiran Syahrir ingin segera ke edan untuk menjemput kekasih hatinya Maria Duchateau. Dalam surat yang dikirim terakhir, Maria akan datang tanggal 28 Maret 1032 di bersama dua anaknya.
Keduanya benar benar telah membuat sejarah gila. Pertama sebelum meninggalkan Belanda, ternyata Maria belum resmi bercerai dengan Sal Tas. Catatan lain keduanya hendak melakukan kawin campur di era kolonialisme yang rasis. Akhirnya tanggal 10 April 1932 mereka menikah siri di Masjid, dan langsung menjadi pasangan eksentrik di Medan. Mereka tinggal di sebuah rumah di kota Medan, berbelanja kebutuhan sehari-hari di Pasar Kesawen, atau sekedar berjalan santai bergandengan tangan mesra di Grand Hotel. Aksi itu tentu sangat terlarang bagi pribumi. “Maria berjalan-jalan di kota Medan, berkain sarung dan kebaya, bergandengan tangan dengan suaminya yang orang Indonesia,” tulis Frances Gouda dalam Dutch Culture Overseas: Praktik Kolonial di Hindia Belanda, 1900-1942.
Pasangan itu bikin gerah orang-orang Eropa rasis di Medan. Orang-orang kulit putih sangat risih, bahkan bertanya ke Maria, barangkali membutuhkan pertolongan. Hal ini menunjukan seolah-olah Syahrir pribumi yang jahat
Pernikahan dua ras yang berbeda itu menjadi perhatian mencolok bagi Belanda. Dengan cepat, berita soal Syahrir bersama Maria tersiar ke kalangan masyarakat Belanda hingga penduduk pribumi. Surat kabar Sumatra Post mengungkapkan bahwa wanita kulit putih yang bergandengan mesra dengan laki-laki pribumi, berjalana keliling kota dengan berlagak. Wanita yang bernama Maria ini sebenarnya masih istri sah dari seorang revolusioner Belanda yang terkenal. Tidak hanya itu media lokal ini juga memuat artikel untuk mendesak pemerintah bertindak terhadap Syahrir dan istrinya.
Kabar hubungan Syahrir dan Maria cepat tersiar dan sangat sinis. Membuat Imam yang mengawinkan mereka langsung menyatakan pernikahan tersebut tidak sah. Sebab Maria belum resmi bercerai dari suami sebelumnya yang berada di Belanda. Sehingga, pernikahan Syahrir dengan Maria hanya berjalan satu bulan.
Atas keputusan itu, pejabat Belanda memulangkan paksa Maria dan dua anaknya kembali ke kampung halamannya menggunakan kapal SS Marnix dari St Aldegonde. Maria pulang ke Belanda dalam keadaan hamil, namun akhirnya mengalami keguguran pada 14 Mei 1932. Peristiwa ini juga dijadikan peringatan penting dari pemerintah Belanda kepada aktivis pergerakan lainnya.
Setelah dipulangkan ke Belanda, Maria terus mencari akal untuk bisa kembali bertemu sang suami. Maria kirim surat kepada Ratu Belanda untuk bisa membawa kembali Syahrir, dengan alasan melanjutkan studi di Belanda. Namun permintaan itu ditolak. Hingga pada tahun 1934, pemerintah Belanda meringkus puluhan anggota PNI, tak terkecuali Bung Hatta dan Syahrir.
Syahrir ditangkap saat hendak bertolak ke Belanda menyusul Maria. Ikut pula diamankan sebuah tiket kapal SS Aramis yang sudah dipesannya jauh-jauh hari. Pertemuan dengan Maria kembali gagal karena Syahrir harus mendekam di balik jeruji penjara Cipinang. Selama masa tahanan, Syahrir ternyata dikenal orang yang tidak tahan kesendirian. Ia selalu berkiirm surat kepada orang yang dikasihinya, sebagai cara mengusir depresi kesendirian. Apa pun diceritakan Syahrir kepada Maria dalam bahasa Belanda, mulai ukuran sel tahanannya hingga makanan di penjara.
"Makin lama aku makin banyak melupakan apakah selera dan perangsang itu. Aku kini menganggap makan sebagai kewajiban, dan dengan demikian rasa kenyang beralih dari makan ke arah yang dimakan, kira-kira cara yang sama degan orang yag merasa puas menyelesaikan sebuah pekerjaan. Kepuasan rohain dari jiwa lebih banyak daripada kepuasan hawa nafsu perut jadi kepuasan dengan spiritualital 'yang lebih tinggi'. Kamu dapat melihat apa yang ditekan jika makan memakai semangkok dari kaleng," tulis Syahrir dalam suratnya untuk Maria.
Akhirnya tanggal 16 November 1934, pemerinah Hindia belanda memutuskan lima pimpinan PNI diasingkan ke Boven Digul yang sangat terpencil. Bung Hatta dan Syahrir turut di dalamnya. Meskipun mereka menganggap pengasingan itu sebagai sebuah tamasya yang tak jelas kapan selesainya.
Akhir babak hubungan jarak jauh Syahrir dan Maria meskipun rajin bersurat mulai retak. Syahrir di Indonesia timur dan Maria di Belanda. Surat-menyurat itu sempat terputus oleh Perang Dunia II. Ketika Depresi Ekonomi eropa dampak perang terjadi, Sjahsam, salah seorang adik Syahrir dengan usia dua tahun lebih muda, diminta untuk membantu Maria dan anak-anaknya.
Kisah perjalanan mereka menuju Boven Digul yang saat itu ditakuti karena wabah malaria yang mematikan diceritakan Syahrir kepada Maria dengan pandangan optimis. Dia juga menceritakan buku-buku bacaanya selama menjadi tahanan yakni kitab Injil hingga novel. Sama sekali tidak ada hubungannya dengan politik.
Dia pun bercerita soal interaksinya dengan "orang buangan" lain di Digoel yang tidak terpelajar. Selama di sana, tingkah laku Syahrir dianggap cukup aneh. Syahrir lebih senang berkelana melalui perahu kano menyusuri Sungai Digoel, berenang, hingga bermain bola. Syahrir juga dikenal sebagai "pengelana jenaka". Selama berada di pengasingan, Syahrir seolah-olah melepaskan diri dari dunia politik. Hal ini berbeda dengan rekannya, Bung Hatta yang masih aktif mengirimkan tulisan-tulisannya ke surat kabar.
Setelah ditelusuri, ternyata Syahrir membuat kesepakatan dengan Belanda untuk tidak menuliskan atau pun terlibat dalam pergerakan politik apa pun. Dengan catatan Syahrir akan mendapat tambahan uang dari Belanda untuk biaya korespondensi dengan Maria dari yang semula 2,6 gulden menjadi 7,5 gulden. Sebab bagi Syahrir, Maria adalah penyemangat hidupnya.
Ketika Belanda diduduki pasukan Nazi Jerman, seluruh korespondensi terputus. Ternyata mulai dari 1931-1940, Maria menerima 287 surat dengan panjang antara 4-7 halaman dari Syahrir. Maria sempat berpikir untuk membakarnya namun dicegah suaminya yang juga adik Syahrir, Sutan Sjahsyam. Diputuskan surat surat itu akan dibukukan dengan judul Indonesische Overpeinzingen, dan diterbitkan di Amsterdam pada 1945.
Syahrir baru bertemu Maria setelah 15 tahun kemudian, yaitu pada 1947 di New Delhi. Kala itu Syahrir sudah menjadi Perdana Menteri Indonesia dan berkunjung ke India bersama rombongan. Ketika bertemu di bandara, Syahrir sempat mencium pipi kanan dan pipi kiri Maria. Tapi, menurut Maria Duchateau, merasakan Syahrir sudah berubah. Mungkin disebabkan Syahrir telah menjadi negarawan, atau sikap canggung karena sedang punya hubungan dekat dengan Popy sekretarisnya. (pul)
abad.id-Tinggi wanita itu hanya 1,5 meter dan sangat kecil untuk ukuran wanita kulit putih. Kulitnya menjadi kecoklatan karena terlalu lama berada di tengah udara tropis negara India. Diwajahnya penuh dengan garis-garis ketuaan, serta mata birunya memancarkana harapan hidup dan kasih sayang. Tangannya menjadi kasar, banyak mengelupas kulit ari seperti milik tangan pembantu rumah tangga. Di usia yang ke 73 tahun itu, Bunda Teresa sudah tidak lagi segesit dulu. Apalagi tubuhnya juga digerogoti penyakit jantung.
Hari itu tahun 1979, tampilan Ibu teresa begitu apa adanya. Dunia yang kagum atas perjuangan dan dedikasi Bunda Teresa menyebutnya Bidadari Kaum Gelandangan, atau Bidadari Kaum Sengasa. Hari istimewa bagi Bunda Teresa sebab mendapatkan nobel perdamaian dan pehargaan Order of Merit Dari kerajaan Inggris. Ditengah gemerlap prestasi itu, Bunda Teresa masih tinggal di kota termiskin dan paling jorok Kalkuta. Hiruk pikuk udara yang berdebu dan bau busuk memudahakan siapapun terkena broncistis atau asma.
Di komplek tempat tinggal yang dia sebut Mother House, setiap hari berkumpul para gelandangan lapar. Mereka berpakaian compang camping menunggu makanan dan obat gratis dari Mataji, (panggilan orang orang itu kepada Bunda Teresa). Suasana antri dan wajah yang resah itu berbaur dengan suara klakson dan bisingnya kota.
Bunda Teresa lahir 27 Agustus 1910 di Skopje (Yugoslavia) dari orang tua bernegara Albania. Nama aslinya Agnes Gonxha Bejaxhin. Ketika kecil tingkah lakunya seperti anak laki-laki. Meskipun demikian Bunda Teresa selalu tertarik dengan tugas-tugas misionaris. Di usia muda 18 tahun, ia berlayar ke Dublin (Irlandia) untuk belajar bahasa Inggris di Biara Ordo Loreto sebelum dikirim ke India. Di usia 20 tahun ia mengajar di St Marys High Scool di Kalkuta, dan sejak saat itu para siswa sering memanggilnya dengan Bunda Teresa.
Kedekatannya dengan kaum miskin berawal ketika menggelar retret di Darjeeling ( Bengali Utara ). Di tempat itu dia seperti mendengar suara perintah Tuhan. Isinya memerintahkan seluruh hidupnya kepada Tuhan dan kepada kaum miskin dan sengsara. Sejak saat itu Bunda Teresa minta ijin keluar dari biara dan tinggal di daerah yang paling miskin (Slum) kota Kalkuta. Bunda Teresa meninggalkan kebiasaan Ordo Loreto, dan kini memakai pakian sari putih dengan piringan biru. Pakaian ini kelak dijadikan ordo baru yang didirikannya pada taun 1950 di Kalkuta, The Society of the Missionaries of Charity. Bunda Teresa juga mengundurkan diri sebagai guru di St Marys High Scool karena menganggap tugasnya terhadap kaum miskin lebih penting.
Kini Bunda Teresa hanya memakai pakian sari putih dengan piringan biru. Pakaian ini kelak dijadikan ordo baru yang didirikannya pada taun 1950 di Kalkuta, The Society of the Missionaries of Charity.
Totalitas Bunda Teresa mengabdi untuk warga miskin dimulai dengan pindah kewarga negaraan India pada tahun 1948. Serta membuka sekolah pertama yang diperuntukan bagi orang miskin. Sekolah itu didirikan yang pertama di wilayah termiskin kota Kalkuta. Bantuan finansial terhadap aksi simpatik Bunda Teresa dari seluruh dunia, membuahkan hasil dengan membuka Nirmal Hridai Home, sebuah rumah perawatan khusus bagi orang yang menjelang ajal. Kemudian menyusul mendirikan Shinshu Bhavans, sebuah panti yang merawat bayi-bayi dan anak terlantar. Pada tahun 1957, Bunda Teresa membuka sebuah Leprosarium atau rumah perawatan bagi penderita penyakit lepra.
Kini ordo yang diadirikan telah berkembang di seluruh India dan 30 negara. Di Kalkuta saja memiliki 250 biarawati dan 1800 diantaranya tersebar di seluruh dunia. Ordo ini mengendalikan 87 panti yatim piatu di India dan 4- di negara lain. Juga mengendalikan 213 rumah obat seperti apotik, 54 rumah sakit lepra dan 60 sekolah. Semuanya disediakan untuk orang miskin dan tidak dipungut biaya. Banyak sukarelawan dari penjuru dunia datang ke India untuk membantu di panti panti perawatan Ibu teresa.
Nirmal Hriday House, Rumah Tunggu Kematian
Nirmal Hriday House atau rumah bagi kaum miskin yang menjelang ajal, dijadikan tempat latihan bagi pelamar yang ingin menjadi relawan Bunda Teresa. Siapapun diwajibkan bekerja terlebih dahulu di rumah perawatan ini sebelum mereka bekerja di Shinshu Bavans atau Leprosarium. Salah seorang biarawati yang bekerja mengaku jika anda bisa bertahan bekerja disini maka anda juga akan tahan bekerja di manapun juga.
Penghuni rumah perawatan ini menderita berbagai macam penyakit. Umumnya masalah gizi, TBC dan disentri. Setiap orang yang memasuki ruangan perawatan harus menahan diri untuk tidak muntah, sebab udara berbau busuk. Disinfektan dianggap tidak berhasil menghalau bau kotoran manusia atau muntahan pasien yang berceceran.
Namun bagi Bunda Teresa, Nirmal Hriday House ini adalah tempat kasih sayang. Ia tidak pernah lupa orang-orang pertama yang dirawatnya. Pada tahun 1952 ketika sedang berjalan di kota Kalkuta, ia menemukan orang yang terbaring di selokan tepi jalan. Tampaknya korban sakit parah. Dipungutnya pria terlantar itu dan dibawa pulang.” Itulah orang pertama yang aku tolong, setelah dimandikan dan dibersihkan luka lukanya, kubaringkan di balai-balai. Kemudian ia berkata seumur umur saya hidup bagaikan binatang, menggelandang sepanjang jalan. Kini saya akan mati bagaikan bidadari dicintai dan dirawat. Tiga jam kemudian ia meninggal dunia dengan senyum di bibirnya,” cerita Bunda Teresa.
Penghui pertama lain seorang wanita yang ditemukan Bunda Teresa di tepi jalan depan sebuah rumah sakit. orang malang ini sedang digigit tikus dan tubuhnya penuh koreng digerogoti belatung. Ibu teresa membawanya pulang dan membersikan tubuh dan lukanya. “ Ketika saya baringkan di tempat tidur, dipeganglah lenganku. Satu satunya ucapannya adalah terimakasih dan iapun meninggal dunia,” tutur Bunda Teresa.
Ada sukarelawan lain Levia dari Yorkshire (Inggris) menceritakan, Nirmal Hriday House dihuni 107 penderita yang tidak lama lagi akan meninggal dunia. Selanjutnya tempat mereka akan digantikan penderita lain. Salah seorang penghuni itu bernama Kelok, wanita muda berusia 20 tahun yang menderita TBC parah. Berat tubuhnya tinggal tulang berbalut kulit. Ia berbaring di sebuah tempat tidur dengan tungkai yang tidak lebih besar dari dua jari tangan manusia dewasa normal. Pasien lain bernama Lakhi juga menderita TBC, disentri dan kekuragan gizi. Melihat penampilananya dikira usia 40 tahun, padahal Lakhi baru berumur 10 tahun. Lakhi tidak pernah mengeluh meskipun tubuhnya sakit. karena levernya membengkak sampai 3 kali lipat. Penghuni lainnya Gauri seorang wanita cantik usia 18 tahun yang menderita TBC parah. Meskipun tubuhnya kurus, Gauri masih senang bercanda dan menggoda suster dan biarawati yang merawatnya. Ada harapan Gauri untuk sembuh.
Di usia senjanya itu, banyak pihak yang menyarankan Bunda Teresa mengurangi aktifitasnya. Keadaan kesehatan juga menurun akibat penyakit jantung. Beberapa tahun terakhir memang pernah dirawat di beberapa rumah sakit, namun Bunda Teresa tetap ingin dekat dengan orang miskin dan sengsara. “Semua terserah kepada Tuhan,” kata Bunda Teresa.
Pengabdian kepada Tuhan dan kaum miskin dan sengsara sudah maksimal. “Yang patut diingat, jangan merendahkan mereka hanya karena miskin. Orang miskin itu adalah manusia seperti kita juga yang punya perasaan dan keinginan. Berilah mereka perhatian dan kasih sayang,” pesan Bunda Teresa. (pul)
Penulis : Pulung Ciptoaji
Sekarang Sukarno harus menjaga sikap. Di hadapan Jepang dia harus tampil sebagai sekutu yang setia sambil berusaha membujuk untuk mewujudkan janjinya memberi kemerdekaan kepada Indonesia. Sementara di hadapan para pemimpin nasional lainnya serta Masyumi, Sukarno harus membuktikan janji Koiso. Lebih dari itu, Sukarno harus bermain aman agar posisinya sebagai tokoh sentral tidak goyah. Sebab ada kelompok rakyat telah menghubungkan namanya sebagai tokoh yang kurang menyenangkan. Bahkan ada yang bilang Sukarno hanya "budak Jepang"
Strategi para pemimpin nasionalis yang belum tampak tujuannya itu rupanya sudah terbaca oleh rakyat yang mulai muak dengan perilaku Jepang. Kelakuan Jepang yang bengis dan diluar batas kewajaran dan adat, benar-benar membuat jengkel kaum priyayi dan rakyat. Kelakuan tentara Jepang itu membuat marah tentara PETA yang mestinya bertugas mendukung program Romusa. Maka pada tanggal 14 februari 1945 di Blitar terjadi perlawanan tentara PETA terhadap Jepang. Tokoh pemimpin aksi perlawanan ini seorang pemuda berpangkat soudanco bernama Supriyadi.
Supriyadi memiliki nama kecil Priyambodo. Sejak kecil dia terbiasa mendengar cerita kepahlawanan para wayang dan sikap hidup kesatria dari kakek tirinya. Kisah-kisah itu membekas pada jiwa dan kepribadian Supriyadi. Pemuda asal Trenggalek lahir 13 April 1923 ini, ikut kesatuan semi militer Jepang Barisan Pemuda atau Seinendan di Tangerang. Berikutnya, Supriyadi pun terpilih mengikuti PETA yang dibentuk Jepang pada 3 Oktober 1943.
Mengutip Kisah 124 Pahlawan dan Pejuang Nusantara oleh Gamal Komandoko, Supriyadi pernah menempuh pendidikan di Sekolah Dasar Belanda, ELS (Europese Lagere School) dan melanjutkannya ke MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs). Sebelum bergabung denan PETA, priyayi Jawa ini sempat melanjutkan pendidikan ke sekolah pamong praja, OSVIA (Opleiding School Voor Indlandse Ambtenaren) di Magelang.
Setelah memperoleh pendidikan militer di PETA, Supriyadi diangkat sebagai Dai Ichi Shodan atau Peleton 1 wilayah Blitar. Tugasnya selama di Blitar mengawasi pekerjaan romusha. Namun, pekerjaan itu ditolaknya dengan alasan terlalu kejam untuk memperbudak bangsanya sendiri.
Dalam buku Sukarno biografi 1901-1950, Lambert Giebels penulis berkebangsaan Belanda itu menyebutkan supriadi sangat percaya diri mampu melakukan perlawanan. Ia menimba kekuatan dari hubungan mistiknya dengan Pangeran Diponegoro. Atas keyakinan ini, banyak anggota PETA lain yakin dan ikut dengan aksi Supriyadi
Sebulan sebelum aksi pemberontakan, terdapat 16 anggota PETA aktif mulai melakukan rapat di sebuah tempat yang tertutup. Para tokoh pemuda itu Supriyadi, Halir, Ismangil dan beberapa tokoh kelompok rakyat. Mereka memutuskan aksi pemberontakan tanggal 14 Pebruari 1945 pukul 04.00 sebelum apel pagi. Dalam keyakinannya, para tokoh pemuda ini akan menyerbu markas dan asrama batalyon PETA di Blitar.
Namun rupanya para pemuda ini lupa strategi dan tujuan aksi pemberontakan itu. Bisa jadi aksi serangan pagi hari ini hanya bentuk ketidak puasan atas tentara Jepang, atau ada masalah dendam pribadi. Strategi penyerangan juga belum matang. Mereka tidak mengukur bagaimana menguasai senjata, bagaimana cara melakukan langkah gerilya jika aksi mereka gagal.
Seperti yang sudah disepakati, pagi itu menjelang subuh sudah muncul rentetan senjata menyerang markas batalyon PETA. Banyak pasukan Jepang yang sedang tidur langsung disergap dan dibunuh. Para pemberontak juga merampas senjata, mobil pengangkut barang dan kas tentara sebesar 10 ribu gulden. Menjelang fajar, masa pemberontak bergerak menuju penjara kota Blitar yang berada dekat alun-alun. Disana mereka membebaskan 250 tahanan kriminal dan segera bergabung dengan pasukan.
Dalam catatan sejarah aksi para pemuda PETA ini penuh dengan semangat dan kepahlawanan, dan benar benar menguasai kota Blitar. Menang dalam satu gebrakan. Pukul 10 pagi sudah banyak mayat tentara Jepang bergelimpangan di markas dan di jalan. Belum puas, massa bergerak semakin bengis dengan melakukan penjarahan toko-toko yang dihuni etnis China. Bahkan Lambert Giebels berani menyebut pasukan liar semakin bengis dengan melakukan aksi pemerkosaan wanita Indo Belanda. Situasi kota Blitar benar-benar tidak bisa dikendalikan. Namun sekali lagi massa ini tidak memperhitungkan strategi pertahanan jika ada aksi balasan dari tentara Jepang. Supriyadi yang menjadi tokoh utama gerakan masih terlalu muda dan emosional tidak bisa mengendalikan massa yang terlanjur euforia.
Rupanya Jepang langsung kalap penuh kemarahan begitu mendengar kabar kota Blitar dilumpuhkan dan banyak tentaranya dibunuh. Serangan para pemberontak PETA ini dibalas Jepang dengan skala lebih besar. Batalyon dari Malang dan Kediri didatangkan untuk mengepung Blitar. Akibatnya situasi tak seimbang. Para pemberontak yang kurang berpengalaman tempur kocar kacir menyelamatkan diri masuk ke hutan dan Gunung Kelud. Sementara para pemimpin berhasil ditangkap dan diajukan ke pengadilan militer Jepang di Jakarta. Di berbagai buku sejarah menyebutkan, Supriyadi tidak ikut diadili dan diduga sudah lebih dahulu dihabisi Jepang.
Aksi pemberontakan PETA ini juga dipantau para pemimpin nasional, dan mereka mengambil sikap berbeda-beda. Ada pihak yang menuding Supriadi terlalu gegabah dan terburu-buru. Bahkan ada kelompok nasionalis lain yang menyalahkan cara Supriyadi, sebab dianggap menggangu rencana dan strategi awal untuk menjadi negara merdeka sesuai janji Koiso. Namun ada kelompok lain menganggap justru dengan pemberontakan PETA ini membukikan kekuatan rakyat bisa mengalahkan tentara Jepang. Berkat aksi pemberontakaan ini posisi Jepang yang sebelumnya sudah banyak kalah perang di beberapa wilayah perang pasifik semakit terdesak. Aksi pemberotakan PETA juga membangkitkan rasa patriotik rakyat yang tinggal di batalyon wilayah lain, dan sudah menyiapkan diri akan melakukan langkah sama jika diperlukan.
Sementara itu bagi Sukarno, serangan PETA ini membuat posisinya yang sebelumnya sangat aman menjadi dilematis. Sebab aksi pemberontakan itu berada di Kota Blitar tempat tinggalnya. Sukarno kawatir muncul kesan seakan-akan aksi pemberontakan itu dibawah kendalinya. Sukarno harus mencari cara agar keluarga di Blitar aman dari incaran Jepang.
Untuk menghilangkan keraguan tentara Jepang terhadap Sukarno, segera menawakan diri untuk bertindak sebagai salah satu juri pribumi yang diperbantukan kepada pengadilan militer di Jakarta. Mereka yang tertangkap ini para pemimpin mulai Halir dan dr ismail. Namun upaya Sukarno ini ditolak Jepang karena akan berdampak negatif dengan namanya. Dalam sidang militer Jepang itu, para pimpinan pemberonak mendapatkan vonis hukuman mati dengan cara dipancung sesuai tradisi samurai.
Rupanya keterangan berbeda dalam otobiografi Sukarno yang ditulis wartawan Amerika Cindy Adams. Sukarno mengatakan bahwa secara tidak langsung ikut terlibat dalam aksi pemberontakan PETA. Sukarno membesar-besarkan keterlibatannya. Seakan-akan membuka rahasia yang tidak banyak diketahui orang. Katanya sebelum dilakukan rapat-rapat di markas, para pimpinan pemberontak mendatangi rumah orang tua Sukarno di kelurahan Gebang Bendogerit yang tidak jauh dari lokasi markas. Mereka mengungkapkan rencana aksinya. Raden Sukemi orang tua Sukarno menemui para pimpinan PETA itu memberi semangat. Namun juga mengingatkan bahwa kalau nanti mendapatkan kesulitan, ia tidak bisa membantu karena keterbatasannya.
Memang dampak pemberonakan PETA ini benar benar merubah tingkat kepercayaan diplomatik terhadap pemimpin nasionalis di Jakarta. Sumber dari Jepang kolonel Miyamoto Shizuo perwira staf dari tentara ke 16 bagian transportasi dan komunikasi mengatakan, pemberontakan batalyon PETA harus mengubah strategi Jepang. Setelah kejadian itu PETA tidak lagi dipercaya sepenuhnya oleh Jepang jika terjadi pertempuran besar melawan sekutu di pulau Jawa. Bahkan Jepang mulai curiga dengan PETA. Dikawatirkan akan muncul pemberontakan susulan yang bisa terjadi saat serangan sekutu di tanah Jawa. Atas kejadian itu, semua tenaga cadangan di kepulauan Indonesia termasuk divisi 48 di wilayah timur segera ditarik untuk mempertahankan pulau Jawa. Sehingga kekuatan Jepang di pulau Jawa meningkat menjadi 80 ribu tentara.
Bahkan jika muncul serangan sekutu ke pulau Jawa, kekuatan Jepang akan dikonsentrasikan di daratan tinggi Bandung. Di kota ini akan dirancang menjadi palagan pertempuran yang menentukan. Beruntung, semua langkah tersebut tidak semua dilakukan oleh Jepang, sebab 2 bom besar di kota Hirosima dan Nagasaki telah menundukan Jepang dari kemungkinan perang yang lebih dasyat. (pul)
Rasputin termasuk manusia yang paling sukar dimengerti dalam sejarah modern. Sebagai manusia suci, Rasputin memiliki kemampuan menyembuhkan penyakit. Rasputin diangkat sebagai penasehat spiritual sang raja alias dukun politik. Dia kemudian menggunakan kekuasan untuk hal-hal jahat. Puluhan istri maupun gundik pejabat negara dikencani. Beberapa perempuan malah rela menyerahkan kehormatannya karena sang Rasputin dikenal memiliki penis sepanjang 30 cm. Gejolak pun timbul. Rasputin dimusuhi banyak orang. Dia dibunuh. Penisnya dipotong dan dijadikan tontonan.
Abad.id Namanya Grigori Efimovich Rasputin. Dia dikenal dengan julukan si rahib sinting. Dia seorang yang memiliki karunia menyembuhkan berbagai macam penyakit. Dia mendapat pengelihatan-pengelihatan mengenai seorang perempuan yang masih perawan. Bila ia mendekati anak tersebut, maka pendarahannya akan berhenti.
Rasputin terlibat dalam penyembahan seks iblis. Karena itu ia dapat mengendalikan Tsarina (permaisuri). Ia dimusuhi kalangan atas. Banyak orang percaya bahwa Rasputin seorang yang dikuasai oleh iblis. Inilah yang mengendalikan Rusia dari balik layar. Bahkan Tsar (Raja Rusia) takut akan kekuatan anehnya.
Semenjak masih muda, Rasputin telah mengikuti aliran “aneh”. Aliran ini percaya untuk dekat dengan Tuhan. Bahkan mereka harus berdosa dulu bila ingin masuk ke dalam aliran tersebut. Ketika mereka sudah besimbah dosa, mereka meminta ampunan dosa. Dengan begitu mereka bisa dekat dengan Tuhan. Lalu rasputin mulai pengembaraannya sebagai pendeta.
Yang paling aneh dari aliran ini adalah, aliran ini menghalalkan berhubungan seks dengan siapapun saat melakukan upacara keagamaan.
Rasputin mulai memasuki dunia pemerintahan ketika dia berhasil mengobati anak Tsar Rusia Nikolas yang memiliki Hemophilia, penyakit kelainan darah keturunan yg didapat dari garis keturunan ratu Victoria Inggris.
Semua dokter, tabib, dukun angkat tangan dalam mengobati penyakit Nikolas. Hingga sampai nama Rasputin di kalangan bangsawan. Namanya diajukan sebagai alternatif.
Tsarina Rusia yang sudah putus asa bersedia nerima Rasputin. Dan entah bagaimana caranya (banyak teori tentang ini) Rasputin cuma menemui anak tersebut. Secara ajaib pendarahannya berhenti.
Sejak itu nama Rasputin mulai diperhitungan di kalangan kerajaan Rusia. Selain Bahkan banyak keputusan kerajaan selalu meminta nasihat darinya. Tak heran jika Tsar Nikolas dan Tsarina sangat percaya dengan dukun ini.
Meski Rasputin sudah termasuk bagian dari tatanan kerajaan, tapi ia tetap menjalankan ibadah anehnya, yakni sering mengadakan pesta orgy seks di basement rumahnya sebelum minta pengampunan dosa. Selain itu, pendeta ini juga jarang mandi. Dia hanya mandi sebulan sekali!!
Pesta Seks Perawan
Grigori Yefimovich Rasputin atau Grigori Yefimovich Novy atau (риго́рий Ефи́мович Распу́тин/Григорий Ефимович Новый) terkenal sebagai anak berandalan yang suka mabuk dan main cewek.
Dia dilahirkan lahir pada 22 Januari 1869 di sebuah desa terpencil di Pokrovskoye, tepatnya sepanjang sungai Tura Sungai di Tobolsk Guberniya (sekarang Tyumen Oblast) Siberia.
Tidak banyak yang tahu mengenai masa kanak-kanak Rasputin. Rasputin memiliki dua saudara kandung bernama Maria dan yang paling lebih tua bernama Dmitri.
Sewaktu kecil Maria menderita epilepsy (ayan). Suatu hari Rasputin sedang bermain di sungai bersama kedua saudaranya. Tiba-tiba penyakit Maria kambuh. Ia tercebur ke sungai. Melihat itu, Dmitri masuk ke dalam sungai dan berusaha menolong Maria. Sayang, karena keduanya tak bisa berenang, mereka pun hanyut terseret arus sungai.
Melihat kejadian itu, Rasputin hanya diam. Dia tak berusaha menolong atau menyelamatkan kedua saudaranya. Keduanya dibiarkan mati. Maria mati tenggelam karena penyakit epilepsinya kumat, sedang Dmitri tenggelam karena tak bisa berenang. Sehingga radang paru-parunya tak kuat menampung air.
Kematian kedua saudaranya itu, tak pelak, mempengaruhi perkembangan Rasputin. Tak heran jika kemudian Rasputin memberi nama anak-anaknya dengan nama Maria dan Dmitri, diambil dari nama saudara-saudaranya.
Sepeninggal saudara-saudaranya, kontan kehidupannya berubah. Rasputin kecil kerap menyendiri dan mengurung dalam kamar. Dia tak mau bergaul dengan teman-teman sebayanya. Dia lebih memilih berdiam diri di tempat-tempat yang angker dan keramat.
Bukan itu saja, dalam melakukan pencarian jati diri, Rasputin jarang menyentuh air alias tak pernah mandi. Badannya jadi kusut, bau, dan lusuh. Pun pakaiannya mirip pengemis dibanding orang lelaku.
Setiap orang kampung berpapasan dengan Rasputin, mereka buru-buru menutupi hidungnya. Karena badannya mengeluarkan aroma tak sedap, laki-laki itu mulai dijauhi keluarga maupun teman-temannya.
Suatu hari Efimy Rasputin, ayah Rasputin mendapati kudanya hilang dicuri maling. Setelah diperiksa, ternyata si pencurinya tak lain adalah anaknya sendiri, tak lain Rasputin. Dia pun diusir ayahnya. Ketika itu usianya baru menginjak 18 tahun.
Setelah diusir dari rumah, Rasputin mulai melakukan pengembaraan. Dia masuk ke sebuah biara Verkhoturye. Tujuannya adalah penebusan dosa atas pencurian yang pernah dilakukannya.
Selama dalam pengembaraan, Rasputin mengalami banyak pengalaman spritual. Berbagai sekte atau aliran sesat dilakoninya demi mendapatkan ilmu yang diinginkan. Bahkan akhirnya, dia bergabung dengan sebuah aliran sesat. Aliran ini berkiblat pada seks. Setiap mengadakan upacara keagamaan, aliran ini sebelumnya harus melakukan ritual seks. Dalam ajarannya, aliran ini selalu berpedoman bahwa setiap manusia yang ingin dekat dengan Tuhan, maka ia harus melakukan perbuatan terlarang.
Inilah pertama kali Rasputin mengenal seks. Darah mudanya terpacu. Apalagi, di antara pengikut-pengikut tersebut, Rasputin dikenal memiliki alat kelamin paling besar dan panjang. Menurut catatan sejarah, penis Rasputin berukuran 30 cm. Di kalangan pengikut aliran sesat tersebut Rasputin dijuluki dewa seks. Selain memiliki alat yang besar dan panjang, dia ternyata jago bermain seks.
Tidak sedikit para pengikut-pengikutnya (khususnya wanita) yang puas bila berhubungan dengan Rasputin. Rasputin bukan saja hebat bermain di ranjang, tapi juga hebat melayani 5 hingga 7 wanita sekaligus.
Setiap kali memulai aliran sesatnya, sang dewa seks selalu mengajak teman-temannya untuk melihatnya berhubungan intim dengan lawan jenisnya. Pengikutnya bertelanjang bulat. Di sudut ruangan yang remang-remang itulah, beberapa pria dan wanita mulai melakukan ritual keagamaan dengan saling bercengkraman dan tumpang tindih.
Orang pertama yang memulai tentu saja Rasputin. Di depannya telah terlentang seorang wanita muda. Kulitnya putih dan mulus. Wanita itu pura-pura tertidur nyenyak di sebuah ranjang.
Wajahnya tenang, mulutnya terlukis sesungging senyum. Sesekali ia membuka matanya dan melihat sosok kekar Rasputin dan berharap agar lelaki itu segera mendekatinya.
Secara phisik, gadis ini sangatlah bahagia dan sejahtera. Ia dikelilingi lelaki dan wanita yang tengah bertelanjang bulat. Dalam usia yang relatif muda, gadis itu mulai dijejali dijejali pemandangan erotis di sekelilingnya. Entah bagaimana awalnya ia bisa tergabung dalam aliran sesat tersebut. Yang jelas gadis itu telah siap melakukan ritual keagamaan yang dianut Rasputin.
Sementara Rasputin muda mulai digelayuti keresahan. Keindahan tubuh si gadis membuat jakun Rasputin naik turun. Gairah Rasputin naik. Antara ragu dan takut, Rasputin berusaha untuk menahan gairahnya. Dalam hatinya berkata, mampukah ia melakukan perbuatan terlarang tersebut.
Lagi-lagi perang batin kian berkecamuk di hatinya. Rasputin resah dan tak bisa mengatupkan mata. Malam terus merangkak. Dingin menempel di jendela, dan terus merayap memenuhi ruang tua tersebut.
Melihat perubahan yang dialami Rasputin, beberapa orang yang hadir dan si gadis tadi terpekur. Mereka melihat perubahan yang sangat dramatis dialami laki-laki kusut tersebut. Alat kemaluan Rasputin makin lama makin membesar.
Si gadis makin bernafsu. Detup jantung di seluruh ruangan membahana. Nafas Rasputin dan si gadis memburu hebat. Otaknya berpikir keras. Saat itulah Rasputin dan si gadis mulai naik ke peraduan. Keduanya tak tertutupi kain apa-apa. Bahkan, perbuatan mereka dapat dilihat oleh yang lain.
Rasputin terus merayap. Sampai akhirnya keluarlah lengkuhan panjang dari si gadis. Pemandangan ini sontak membuat orang-orang di sekitarnya, baik pria dan wanita mulai mengikuti langkah Rasputin.
Mereka akhirnya mulai melakukan pesta seks. Saling merangsang, saling tindih, dan saling tukar pasangan.
Tak berhenti sampai di situ. Rasputin terus saja melakukan ritualnya. Dia menindih lagi si gadis. Ia memasukkan lingganya ke yoni gadis ini. Saat itulah keluar darah perawan dari si gadis. Melihat hal itu, Rasputin makin penasaran dan meneruskan ‘pekerjaannya’.
Kejadian itu berlangsung lama. Dan itulah pesta seks perawan yang dilakukan Rasputin dan pengikutnya. Ritual tersebut dilakukan untuk menjajal ilmu kesaktiannya. Hampir setiap malam bulan purnama, Rasputin melakukan ritual seks. Bukan satu gadis yang ditindih, melainkan banyak.
Kegilaan Rasputin ini sempat mendapat pujian dari para pengikut aliran sesat lainnya. Tak heran jika setelah melakukan ritual terlarang tersebut, Rasputin mendapat julukan sebagai dewa seks.
Dibunuh Kaum Homo, Penisnya Dipotong dan Diawetkan
Rasputin sempat menikah menikah dengan Prascovie Dubrovin pada usia 19 tahun. Namun demikian dia tetap ‘bermain’ dengan banyak wanita. Rasputin juga semakin dihormati karena sering melakukan pengembaraan spiritual ke daerah lain dan pintar menafsirkan kitab suci. Pengikutnya semakin banyak sampai pendeta di desanya cemburu.
Seorang pertapa dari Makari menganjurkan padanya untuk mengembara ke Pegunungan Althos, Pusat Gereja Ortodoks setelah Rasputin melihat bayangan Perawan Maria. Dalam perjalanan Rasputin menginap dirumah-rumah penduduk dan membayar dengan menceritakan kisah-kisah perjalanannya. Namanya menjadi semakin terkenal karena kearifannya dalam mendiskusikan agama, memberikan nasihat, dan menolong orang sakit.
Dua setengah tahun, Rasputin pulang ke kampung halamannya sebagai orang suci. Ketika penduduk desa Pokrovskoe tahu bahwa Rasputin telah kembali dari pengembaraannya , mereka berbondong-bondong datang ke rumahnya untuk mendengarkan kisah pengalamannya.
Mereka dibuat terpesona dengan perubahan yang terjadi padanya. Rasputin tidak lagi memakan daging dan minum vodka. Ketika dia berbicara tentang agama, kesungguhan dan kedalamannya membuat semua terpikat.
Rasputin selalu merasionalisasi perilakunya dengan falsafah Khlyst, bahwa Tuhan telah menciptakan manusia dan nafsu seks. Dalam menghadapi murid wanitanya dia menerapkan kebijaksanaan berbeda. Untuk dibebaskan dari dosa kita harus berbuat dosa terlebih dahulu, katanya.
Rasputin mendirikan tempat pemujaan di bawah tanah tepat di bawah lumbung penyimpanan gandum bersama dengan teman-temannya.
Nama Rasputin kian menyebar di lingkungan petani dan biarawan Siberia. Bahkan Rasputin dianggap mampu menyembuhkan orang sakit. Penduduk Kiev di Kazan yang kebanyakan bangsawan dan tokoh gerejanya mulai mengenal Rasputin.
Kazan , yang terletak di tepi sungai Volga adalah kota yang didirikan oleh bangsa Tartar pada abad ke 15. Dikota ini berkumpul berbagai bangsa : Cina , Negro, Tartar, Turki, Arab dan bangsa Rusia dari segala daerah.
Salah satu yang menjadi perhatian Rasputin di Kazan adalah Biara Bogoroditski yang dibangun pada tahun 1579. Di dalam biara itu terdapat patung Perawan Hitam Kazan yang sangat indah. Patung itu mengingatkannya pada pertemuannya dengan Perawan Suci Maria di ladang.
Tokoh gereja yang ditemui Rasputin di Kazan antara lain Pendeta Chrisanthos dan Uskup Andrey. Pendeta Chrisanthos dengan cepat bersimpati, akan tetapi Uskup Andrey mulai meragukan Rasputin sebagai orang suci.
Pada awal abad ke 20 Rasputin dan istrinya mempunyai tiga anak: Dmitri (1895), Maria (1898) dan Varya (1900).
Di tahun 1900 saat Rasputin berusia 29 tahun, dia berdiri diambang kejayaan dan kekuasaan, juga ancaman kebencian dan bahaya.
Rasputin mulai menarik perhatian kalangan Istana Romanov ,dan Grand Duchess Militsa mengundangnya untuk datang menghadap. Militsa terkesan dan mengundang kembali Rasputin untuk datang ke St. Petersburg.
Militsa adalah seorang wanita yang berpengaruh dan licik. Suaminya Peter adalah saudara sepupu Tsar. Militsa adalah putri raja Nikita penguasa Monte-Negro (kini Yugoslavia). Dia mempunyai pengaruh yang besar di istana Rusia karena keakrabannya dengan Tsarita. Mereka akrab karena sama-sama menyukai spiritualisme, komunikasi dengan arwah, ramalan dan keagamaan.
Saat itulah Rasputin diangkat sebagai penasehat spiritual oleh istana. Dalam perjalanannya, sepak terjang Rasputin kian kuat. Dari sisi spiritual, banyak pejabat-pejabat istana, terutama istri-istri pejabat, meminta nasehat kepada Rasputin. Layaknya seorang sakti, Rasputin dengan bijak memberi wejangan kepada mereka.
Namun demikian, nasehat yang diberikan Rasputin tidak gratis. Sebab setiap kali memberi nasehat, dia selalu meminta imbalan. Dan imbalannya adalah berhubungan intim. Tentu saja hal itu dilakukan hanya untuk istri-istri pejabat.
Dan memang awalnya Rasputin suka dengan seks, maka semua wanita di seluruh istana pernah tidur dengan Rasputin. Dan kebanyak wanita-wanita tersebut sangat puas bila berhubungan badan dengan Rasputin. Mereka melihat Rasputin adalah sosok laki-laki yang perkasa. Belum lagi dia memiliki penis yang sangat panjang.
Hal ini pula yang membuat istri-istri pejabat tersebut tidak menolak untuk diajak tidur. Bukan saja wanita di lingkungan istana yang pernah ditindih, Tsarita sendiri, permaisuri raja malah pernah takluk akan keperkasaan Rasputin. Menurut Tsarita, Rasputin adalah pria yang luar biasa. Dalam satu malam dia bisa berhubungan badan dengan 3-4 perempuan.
Rasputin memang seorang yang jago bermain kata-kata. Setiap kata-kata yang keluar dari mulutnya ibarat dewa. Dan apapun yang diinginkan Rasputin harus dipenuhi. Jika tidak, maka dewa-dewa akan marah.
Kejayaan Rasputin dari tahun ke tahun telah menenggelamkan dirinya. Di istana, dia menjadi orang yang paling dipercaya. Banyak orang yang takut kepadanya. Pejabat istana bahkan tidak berani menentang Rasputin. Bukan itu saja, mereka juga takut jika ucapan Rasputin akan menjadi kenyataan.
Tapi kemudian muncul kebencian terhadap Rasputin. Para pejabat mulai mencium gelagat tidak baik dalam diri Rasputin. Mereka mulai tahu bahwa Rasputin pernah meniduri istri-istri mereka. Selain itu pula, para pejabat dari aliran konservatif ini mulai khawatir akan pengaruh Rasputin terhadap istri tsar.
Yah, dengan menguasai permaisuri, otomatis permintaan Rasputin akan dipenuhi tsar. Maka, pada tanggal 29 Desember 1916, para pejabat istana mulai merencanakan sebuah siasat untuk membunuh Rasputin.
Suatu hari saat perjamuan makan malam di istana, seseorang memberi racun sianida. Dosisnya setara untuk menewaskan 10 orang. Tapi karena diketahui kemudian bahwa sianida tersebut sudah rusak oleh pemanasan makanan, Rasputin gagal mati.
Kesempatan itu kemudian dilakukan pada malam harinya, di saat Rasputin hendak pulang ke kampungnya. Dalam perjalanan pulang, beberapa pria tak dikenal menembak Rasputin dari belakang. Penembak itu bernama Felix Yusupov. Felix sendiri adalah utusan dari istana. Dia seorang gay atau homo. Bersama teman-teman homonya, Felix mulai melakukan aksi bengisnya. Tapi saat Rasputin ditembak, sang dukun masih dapat bertahan hidup. Ia ditembak lagi 3 kali, tapi tidak mati juga.
Saking berangnya melihat Rasputih tidak mati, mereka lantas memukulnya dengan tongkat berkali-kali dan beramai-ramai. Saat itulah Rasputin langsung tewas seketika. Dan sebelum tewas, para pembunuh gay ini memotong penis Rasputin. Penis itu dipotong untuk dijadikan bukti kepada pejabat istana bahwa musuhnya telah mati. Jika saat tegang penis Rasputin bisa memanjang sampai 30 cm, nah pada saat tewas (tidak tegang, red) penisnya menyusut menjadi 27 cm. Namun tetap saja panjang.
Setelah memotong penis Rasputin, para pembunuh bayaran tersebut kemudian menenggelamkan jasad Rasputin ke Sungai Neva yang dingin. Menurut beberapa sumber di istana, seorang pembantu menemukan penis Rasputin di tempat sampah, tak jauh dari istana. Jelas itu adalah konspirasi tinggi yang dilakukan oleh pejabat-pejabat istana yang benci dengan Rasputin.
Namun demikian, tak ada penyidikan lebih lanjut mengenai pembunuhan tersebut. Di tahun 1920-an, penis Rasputin sepanjang 27 cm kemudian disimpan oleh sekelompok wanita Rusia di Paris. Para wanita ini menyembah penis ini sebagai lambang kesuburan, dan menyimpannya di dalam sebuah kotak kayu. Mendengar hal ini, anak Rasputin, Marie, meminta mereka mengembalikan penis ayahnya kepadanya. Marie lantas menyimpannya sampai ia meninggal pada tahun 1977.
Sepeninggal Marie, seseorang bernama Michael Augustine mengaku telah membeli penis ini dan beberapa barang kepunyaan Rasputin dari ahli waris. Dan kini penis tersebut diawatkan di sebuah museum di Bonhams.@nov
*) diolah dari berbagai sumber
Bung Tomo, tokoh penting di balik pertempuran 10 November 1945. Di mata istrinya, Sulistina, pejuang yang membakar semangat arek-arek Surabaya itu bukan hanya dianggap sebagai “pahlawan keluarga” tapi juga sosok yang romantis.
Abad.id Buku berjudul “Romantisme Bung Tomo, Kumpulan Surat dan Dokumen pribadi Pejuang Revolusi Kemerdekaan” merupakan hasil kumpulan surat-surat Sutomo–nama panjang Bung Tomo–yang dikumpulkan alm Sulistina (istri) selama puluhan tahun.
“Saya menyalin sendiri tulisan-tulisan itu dengan laptop saya,” kata Sulis, panggilan akrabnya, semasa hidup.
Ibu empat anak dan nenek dari 12 cucu itu menceritakan perjalanan kisah cintanya dengan Bung Tomo pada masa pergolakan revolusi. Dan, cerita-ceritanya hingga kini masih relevan untuk diceritakan pada generasi muda.
Sulis menceritakan, saat itu, dia–yang tercatat sebagai anggota PMI cabang Malang–sedang ditugasi kantornya ke Surabaya. Di kota itulah, gadis kelahiran kota dingin Malang itu bertemu Bung Tomo yang usianya lebih tua lima tahun.
Menurut Sulis, saat itu tidak banyak lelaki yang berani mendekatinya. Namun, pria kelahiran Kampung Blauran, Surabaya, yang disebut Mas Tomo itulah yang berani mendekatinya.
“Bahkan ia berani menyatakan cintanya kepada saya. Dari sana saya menyadari bahwa di balik sosok Mas Tomo yang keras, juga memiliki sisi romantis” kata Sulis.
Meski mereka resmi sudah memadu kasih sejak Januari 1946, namun karena kota Surabaya masih dikuasai tentara Sekutu, mereka pun bertemu secara sembunyi-sembunyi.
Bung Tomo yang dikenal sebagai pemimpin Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia (BPRI) saat itu merupakan salah satu tokoh yang diincar oleh tentara sekutu. Pada 19 Juni 1947 pasangan itu memutuskan untuk menikah di kota Malang.
Pernikahan pun diputuskan di Jalan Lowokwaru IV/2 Malang. Banyak kawan-kawan beliau dari BPRI dan PMI (Teman-teman istrinya) yang hadir, tetapi bukan berarti mudah menjadi istri Bung Tomo karena masih diburu-buru Belanda, mereka harus pindah ke Jogjakarta.
Untuk urusan dapur beliau memang jago memasak rawon, lodeh, sayur asem, sambel goreng taoco. Bahkan beliau sendiri yang mengajari istrinya memasak. “Waktu kecil aku sering ikut ibu membantu orang yang punya hajat perkawinan. Mereka sering kali bilang, kalau perempuan yang bisa mengulek pasti pandai melayani suami di tempat tidur. Makanya kamu harus pandai memasak supaya aku betah di rumah” ucap Bung Tomo kepada istrinya.
Di bawah tekanan hidup di awal kemerdekaan yang serba susah, termasuk posisi Bung Tomo yang masih “diburu” Sekutu, pasangan muda itu memutuskan pindah ke kota Malang. Di kota dingin itu, Sulis mengaku bahagia kendati kehidupan ekonominya sangat berat. “Saya sampai harus gali lobang tutup lobang. Tapi, yang saya salut Bung Tomo tidak mau menyerah menghadapi kenyataan yang berat itu,” katanya.
Meski kejadiannya sudah lebih lebih setengah abad lalu, Sulis masih bisa mengingat secara tepat tanggal-tanggal yang dianggapnya sangat istimewa. Dia ingat betul kapan Bung Tomo menyatakan cintanya hingga peristiwa-peristiwa politik yang menimpa suami, termasuk saat Bung Tomo meninggal saat naik haji pada 1981.
Menulis Surat Cinta
Di mata Sulis, sosok Bung Tomo adalah seorang pribadi yang memiliki jiwa ksatria, pemberani, dan romantis. Di bawah berbagai tekanan yang dialaminya, Bung Tomo selalu mencurahkan isi hati kepada keluarga melalui puisi dan surat-surat cintanya di balik kamar tahanan.
Karena merasa surat-surat itu sangat berharga, wanita itu mengumpulan kumpulan surat yang didokumentasikan melalui buku yang disusunnya. “Jika dihitung-hitung jumlahnya ratusan. Bahkan kalau diukur panjangnya bisa mencapai 15 meter,” katanya.
Seperempat abad lebih setelah kematian Bung Tomo di tanah suci Makkah pada 1981, cinta Sulistina kepada sang suami seperti tak pernah pupus. Bahkan, sampai hari ini pun, wanita kelahiran Malang itu mengaku masih terkenang dengan si Bung yang disebutnya sebagai “perayu ulung” itu.
Banyak cara orang mengungkapkan rasa cinta kepada pasangannya. Namun, Sulistina memilih membuat buku. “Saya sedang mempersiapkan buku kumpulan sajak-sajak Bung Tomo,” kata Sulis, panggilan akrab Sulistina.
Menurut Sulis, buku adalah persembahan cinta terbaik bagi suami. Sebab, dengan menulis, jiwa dan pikiran Bung Tomo tidak hanya bisa dibaca oleh anak keturunannya, tapi juga publik secara luas.
Salah satunya adalah surat cinta Sulis kepada Bung Tomo yang dibacakan budayawan tersohor Taufik Ismail. Taufik membawakan puisi tersebut dengan syahdu hingga orang yang hadir, termasuk Sulis, terpana. Dia mulai menyadari arti penting surat-surat yang ditulis Bung Tomo yang disimpannya secara apik selama puluhan tahun.
Bung Tomo yang suaranya menggelegar membangkitkan perlawanan arek-arek Surabaya pada pertempuran 10 November 1945, kata Sulis, adalah sosok yang romantis. Dengan mengandalkan laptop milik cucunya, Tami Rahmilawati, Sulis mengetik ulang sajak-sajak romantis yang ditulis pada 1951-1971 itu dengan penuh emosi siang dan malam.
“Dalam sehari, saya bisa menyelesaikan lima surat,” kata wanita yang pandai berbahasa Belanda itu.
Selain surat cinta, buku itu juga memuat surat-surat Bung Tomo selama masa tahanan rezim Orde Baru pada 1977-1978. Saat itu, suaminya ditahan di Penjara Nirbaya, di kawasan Pondok Gede, Jakarta. Bung Tomo adalah sosok yang kritis kepada rezim Soekarno maupun Soeharto. Akibat sikapnya itu, Bung Tomo oleh Orde Lama maupun Orde Baru diasingkan secara politik, bahkan dibui.
Dari ratusan pucuk surat dan puisi romantis Bung Tomo, ada beberapa yang paling membuat Sulis terharu. Salah satunya adalah puisi cinta berjudul Melati Putih, Pujaan Abadi Hatiku.
Puisi tersebut dibuat Bung Tomo di Penjara Nirbaya pada 26 Juni 1978. Dalam puisi itu, pejuang kemerdekaan tersebut berusaha mengungkap kembali perasaan cinta kedua insan yang menikah pada saat pergolakan revolusi pada 1947. Sajak itu dedikasikan untuk putri pertama mereka, Tien Sulistami, yang lahir pada 29 Juni 1948.
“Mas Tom merupakan perayu yang ulung. Dia tidak pernah berhenti menyanjung saya setiap waktu. Pada puisi itu, Mas Tom menyebut saya sebagai Melati Putih, hati siapa yang tak tersanjung disebut seperti itu,” katanya.
Masih saat di Penjara Nirbaya, Bung Tomo yang ketika itu sudah berusia 58 tahun tetap bersemangat menulis puisi untuk istrinya. Dalam puisi itu, lagi-lagi Bung Tomo memuji kecantikan wajah istrinya saat bangsa Indonesia merayakan Hari Kartini.
Ini Hari Kartini, Dik!
Terbayang wajahmu nan cantik
Penaku kini henti sedetik
Terlintas semua jasamu
Sejak kita bertemu
Sulis tidak pernah merasa kecil hati mengungkap seluruh dokumen pribadinya kepada pembaca. Justru dia ingin itu menjadi sejarah yang tidak terlupakan. “Biar pembaca bisa mengambil hikmah dan mengerti betapa indahnya hidup ini,” ujarnya.
Menolak Dimakamkan
Sulis mengakui kehidupan cintanya bersama Bung Tomo dilalui lewat pasang surut perjalanan republik. Dulu, keduanya memadu cinta ketika Bung Tomo masih diburu tentara sekutu di Surabaya.
Keromantisan Bung Tomo tampak dalam setiap surat-suratnya. “Tiengke” panggilan sayang untuk Sulistina selalu menghiasi kop surat. Dalam beberapa surat panggilan sayang itu dikombinasi dengan kata-kata mesra lainya. Misalnya “Tieng adikku sayang”, “Tieng isteri pujaanku”, “Dik Tinaku sing ayu dewe”, “Tieng Bojoku sing denok debleng” atau “Tiengke Sayang”.
Dalam sebuah surat yang ditulis pada 13 Maret 1951 Bung Tomo memahami bahwa istrinya sudah terlalu lama ditinggal di rumah bersama anak-anaknya. Selain menanyakan kabar buah hatinya, Bung Tomo juga berpesan: “Bila kesepian, ambilah buku pelajaran bahasa Inggris kita, en…success,”. Indahnya ucapan itu hingga Sulistina mengaku selalu tak sabar menunggu surat-surat berikutnya.
Selera humor Bung Tomo juga membuat Tiengke terpesona. Dalam satu kesempatan di 20 Maret 1951 surat Bung Tomo diterima. Dalam suratnya pria yang lahir pada 1920 itu menceritakan bahwa foto Sulistina dipuji teman-temannya dan beberapa ibu-ibu.
“Malah ono sing kanda (malah ada yang bilang) een paar’dames (beberapa ibu-ibu) memper (mirip) Ingrid Bergman! Bintang film Swedia di USA,’’ begitu petikan surat Bung Tomo.
Kemesraan yang terjalin melalui surat-surat Bung Tomo tak membuat nafas perjuangannya hilang. Dalam surat balasan kepada Bung Tomo, Sulistina pernah bertanya, kapan perang kemerdekaan ini akan selesai? Karena jarang sekali mereka berdua bertemu dan anak-anaknya selalu menanyakan kapan Bung Tomo datang.
Melihat istrinya mengeluh dengan perjuangannya yang tak kunjung berakhir, Bung Tomo menulis: “Tieng kowe tak seneni ya? Sesuk-sesuk adja sok kanda kapan telase merdeka ini, ya? Wong sedih merga ora bareng-bareng dua minggu wae kok ndukani “Merdekane”. (Tieng aku boleh marah ya? Lain kali jangan pernah bilang kapan selesainya perang kemerdekaan ini. Cuma sedih karena tidak bersama-sama dua minggu saja, kok menyalahkan “Merdekanya”).
Dukungan seorang istri atas perjuangan suami benar-benar menjadi sebuah perekat hubungan yang sudah terjalin. Bagaimana tidak? Saat Bung Tomo ditahan selama setahun (1978-1979) oleh rezim Soeharto, Sulistina tak tinggal diam. Presiden pun disurati. Dalam surat itu Sulistina menyebut Pak Harto saja, tanpa embel-embel presiden.
“Orang yang sudah mempertaruhkan jiwa-raganya untuk mempertahankan kemerdekaan negaranya, tidak mungkin mengkhianati bangsanya sendiri,” protes Sulistina dalam surat itu.
Di era kemerdekaan Bung Tomo lalu berkarir sebagai politisi di Jakarta, sebelum kemudian berseberangan dengan Bung Karno. Saat Orde Baru lahir, Bung Tomo ikut mendukung. Tapi, sikap kritisnya membuat Soeharto berang sehingga Bung Tomo ditahan.
Wanita itu bersyukur, perkawinan mereka dikaruniai empat anak yang berbakti. Mereka adalah Tin Sulistami (59), H M. Bambang Sulistomo (57), Sri Sulistami (56), dan Ratna Sulistami (49).
Seperti dia, sebagian besar anak-anak Bung Tomo itu menetap di Perumahan Kota Pesona, Bogor, setelah rumah warisan ayah mereka di Menteng, Jakarta, dijual.
Lantaran begitu cintanya kepada istri, tutur Sulis, Bung Tomo pernah berkelakar aneh kepada dia. Intinya, Bung Tomo ingin Sulis menyusul mati tiga hari setelah kematiannya. Alasannya, supaya Sulis punya cukup waktu untuk membaca tulisan wartawan soal kematiannya. “Supaya saya menceritakan ulang tulisan wartawan kepadanya di akhirat,” kata Sulis seperti yang ditulis dalam buku Bung Tomo, Suamiku.
Kelakar pejuang itu ternyata “benar-benar” terjadi. Saat keduanya menunaikan ibadah haji pada 7 Oktober 1981, tiba-tiba Bung Tomo jatuh sakit dan meninggal di Makkah tepatnya di Padang Arafah. Sulis yang saat itu pontang-panting mengurus jenazah sang suami sehat-sehat saja. Tapi, tepat tiga hari, ibu Sulis–mertua Bung Tomo–yang meninggal dunia.
Hanya, Sulis tidak bercerita apakah ibunya sempat membaca berita-berita koran yang saat itu ramai memberitakan kematian suaminya.
Meski hingga kini Bung Tomo tak kunjung dinobatkan sebagai pahlawan nasional, Sulis tidak terlalu mempermasalahkannya. Sebab, dia tetap menganggap Bung Tomo sebagai pahlawan baginya. “Saya yakin masyarakat Indonesia tetap menganggapnya sebagai pahlawan. Begitu pula saya,” ceritanya.
“Sampai sekarang, nama Bung Tomo tidak pernah hilang. Saya saja yang tidak pernah berjuang ikut terbawa harum,” katanya sambil tertawa.
Bung Tomo mempertahankan kekecewaannya kepada pemerintah sampai wafat. Dalam wasiatnya, dia dengan tegas mengaku tidak mau dimakamkan di Taman Pahlawan Kalibata, Jakarta. “Alasannya, di sana dimakamkan banyak koruptor,” ungkap Sulis.
Menurut Sulis, setahun setelah meninggal di tanah suci, jenazah suaminya dibawa kembali ke tanah air. Sesuai dengan amanahnya, Bung Tomo dimakamkan di pekuburan rakyat di Ngagel, Surabaya. Di jalan menuju makam itu, kini berdiri plang Jalan Bung Tomo.
Kesetiaan Sulistina kepada Bung Tomo tidak perlu diragukan lagi. Cinta mereka tak terhalang ruang dan waktu. Setelah Bung Tomo meninggal dunia pun, Sulistina tetap rajin menulis surat. Kejadian apa pun selalu diceritakan dalam surat yang tak pernah terkirim itu.
Surat-surat Cinta Bung Tomo
“Datanglah. Waktuku amat sempit. Ada yang ingin aku ceriterakan padamu” atau, “Aku rindu padamu tetapi tak punya waktu,. Bisa Jeng menemuiku?”
“Jeng Lies aku cinta padamu. nanti kalau perang sudah usai. Dan…Kita akan membuat Mahligai.”
“Tak terlalu tinggi cita-citaku. Impianku kita punya rumah diatas gunung. Jauuuh dari keramaian. Rumah yang sederhana seperti pondok. Hawanya bersih, sejuk & pemandangannya Indah. Kau tanam bunga-bunga dan kita menanam sayur sendiri. aku kumpulkan muda-mudi kudidik mereka menjadi patriot bangsa.”
“Waktu kecil aku sering ikut ibu membantu orang yang punya hajat perkawinan. Mereka sering kali bilang, kalau perempuan yang bisa mengulek pasti pandai melayani suami di tempat tidur. Makanya kamu harus pandai memasak supaya aku betah di rumah.”
“Waktu bebas, aku tidak mempunyai kesempatan membaca, nah sekarang kesempatan itu ada dan harus ku pergunakan. Tuhan memberi cobaan, tentu ada hikmahnya.”
“You are a hero, a patriot, a great lover sampai hari akhirmu.” @nov
*) diolah dari berbagai sumber
abad.id-Nama SK Trimurti begitu melegenda dalam dunia jurnalisme Indonesia. Dia adalah wartawan senior yang hidup tiga zaman. Pada zaman penjajahan Belanda, dia sudah terbiasa hidup di dalam bui karena idealisme dan karya jurnalistiknya. Bahkan, dia harus melahirkan anak keduanya di lorong penjara.
Abad.id Tubuhnya yang renta terkulai di tempat tidur. Wajahnya yang pucat memancarkan kepolosan. Sesekali perempuan mungil ini meringis, mengeluhkan perutnya yang sakit. Ia meronta dari ikatan yang membalut tangannya. Ikatan yang sebenarnya membelenggunya, tapi dilakukan demi kasih sayang orang-orang terdekatnya.
Namun demikian, ajal pun tetap tak bisa dilawan. Pada Selasa 20 Mei 2008 di RS Pusat Angkatan Darat, Jakarta, istri mantan penulis naskah proklamasi Sayuti Melik menghembuskan nafas terakhir. Dia pun dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.
Meski ajal sudah menjemput, nama Soerastri Karma Trimurti tetap harum di mata kerabat dan handai taulan. Yah, oran-orang biasa memanggilnya dengan nama singkatan SK Trimurti. Trimurti merupakan wartawan tiga zaman. Dia, boleh dibilang gambaran kekuatan dari masa lalu.
Namanya tercatat dalam sejarah dunia jurnalisme di Indonesia. Coretan dan tulisannya meninggalkan bekas di kalangan wartawan tiga jaman.
Melalui karya-karya dan tulisannya, ia bahkan pernah menjalani hidup di bui Belanda (1936-1943). Bahkan, anak partamanya lahir dalam penjara Belanda yang kumuh dan sempit kala itu.
Wanita kelahiran Solo, 11 Mei 1912 menikah dengan Muhammad Ibnu Sayuti atau lebih dikenal Sayuti Melik pada tahun 1938. Namun dia kemudian bercerai pada tahun 1969. Dari perkawinan mereka lahir dua orang putra yang diberi nama Moesafir Karma Boediman (MK Boediman) dan Heru Baskoro.
Di usia senjanya, ia masih tetap menuangkan kritikan-kritikan tentang apa yang terjadi di sekitar dalam tulisan dan goresan di atas kertas. Sikap ramah dan penuh kesopanan, menuntunnya dalam mengungkap fakta-fakta ketidakadilan.
Trimurti, dialah perempuan berkebaya yang membelakangi kamera di sebelah kanan Fatmawati Soekarno dalam foto pengibaran Sang Merah Putih seusai pembacaan naskah proklamasi tanggal 17 Agustus 1945.
Dijothak Bung Karno
SK Trimurti lahir dari pasangan Salim Banjaransari Mangunsuromo dan Saparinten binti Mangunbisomo. Nama Karma dan Trimurti yang sering dimunculkannya, digunakannya sebagai samaran secara bergantian untuk untuk menghindar dari delik pers masa pemerintahan kolonial Belanda. Rupanya siasat itu tidak sampai meloloskannya dari penjara pemerintah Belanda.
Wanita yang menjadi Menteri Perburuhan pertama pada era Soekarno ini, mengenal dunia politik sejak ia tamat dari Sekolah Ongko Loro, yang waktu itu lebih dikenal dengan sebutan Tweede Inlandsche School. Saat menjadi guru dan sering mendengar pidato Bung Karno, di radio-radio, ia pun tergerak untuk aktif sebagai kader di Partindo. Di partai tersebut, Surastri mengenal Sudiro, Sanusi Pane dan Intojo.
Pada masa-masa itu, saat mengajar di Bandung, Trimurti sempat menetap di rumah Inggit Ganarsih (istri Bung Karno), yang saat itu menjadi contoh tauladan bagi gadis-gadis sebaya Trimurti, sebab Inggit dikatakan sebagai Srikandi Indonesia.
Akibat keaktifannya di dunia perjuangan, Trimurti sempat merasakan dinginnya dinding penjara pada tahun 1936. Ia dihukum di Penjara Wanita, di Bulu, Semarang, akibat menyebarkan pamflet anti penjajah. Sekeluarnya dari penjara, ia dilarang lagi mengajar. Trimurti pun bekerja di sebuah percetakan kecil yang merupakan percetakan kaum pejuang. Di sinilah ia belajar tentang membuat koran atau mencetak majalah. Dan bakat menulisnya pun mulai terlihat. Pesat, Bedug, dan Genderang yang sudah tidak lagi terbit adalah contoh nama-nama media majalah tempat dia pernah berlabuh menuangkan kemampuan intelektual jurnalistik untuk membangun bangsa.
Pada tahun 1937, SK Trimurti berkenalan dengan Sayuti Melik. Kedua orang aktivis politik ini pun mengikat janji untuk menjadi suami istri pada 19 Juli 1938. Maka jadilah mereka pasangan suami istri yang saling bahu membahu dalam dunia perjuangan.
Dalam masa pernikahannya itu, Sayuti dan Trimurti mengalami romantisme perjuangan. Bahkan demi membela Sayuti, yang menulis artikel berisi anjuran agar rakyat Indonesia tidak membantu Belanda dan dimuat di majalah tempat Trimurti bekerja, Trimurti rela mengaku itu tulisannya sehingga ia dikenakan tahanan luar, karena saat itu ia tengah mengandung anak pertamanya.
Pada masa kemerdekaan, oleh Soekarno, SK Trimurti diangkat sebagai Menteri Perburuhan dalam Kabinet Amir Syarifuddin, mulai dari 3 Juli 1947 sampai 23 Januari 1948. Awalnya ia merasa tidak mampu, namun berkat bujukan Drs Setiajid, hatinya pun luluh. Namun kabinet tersebut tidak berjalan lama.
Pensiun jadi menteri, SK Trimurti menjadi anggota Dewan Nasional RI Ia juga melanjutkan kuliahnya di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia dan tamat tahun 1960. 1962 hingga 1964, ia diutus oleh Pemerintah RI ke Yugoslavia untuk mempelajari Worker’s Management dan ke negara-negara sosialis lainnya di Eropa untuk mengadakan studi perbandingan mengenai sistem ekonomi. Karena dedikasinya kepada dunia perburuhan, SK Trimurti diangkat sebagai anggota dewan pimpinan Yayasan Tenaga Kerja Indonesia (YTKI).
Meski bergelut dalam dunia perburuhan, timbul rasa rindu di hatinya untuk kembali menekuni dunia jurnalistik. Maka ia pun menerbitkan majalah yang diberi nama Mawas Diri, yang memuat soal-soal kekagamaan, aliran kepercayaan, soal-soal etika, moral dan sebagainya.
Wanita yang wafat pada usia 96 tahun itu, tinggal sendiri di rumah mungilnya di Jalan Kramat Lontar H-7, Kramat, Jakarta Pusat. Rumah sederhana itu jauh dari kemegahan dan kementerengan.
Sebagai perempuan yang lahir dan dibesarkan di lingkungan Jawa, dia menentukan sikap untuk tetap sangat tegas terhadap perihal hak-hak perempuan yang dibingkai dengan sopan santun kejawen. Ketegasan itu bukan hanya telah dia contohkan dengan kerelaan melahirkan seorang anak di sebuah lorong penjara, melainkan, terhadap seorang suami Sayuti Melik pun yang karena menikah lagi keduanya harus bercerai dia tetap menaruh rasa hormat sebagai mantan suami.
Kendati sudah berusia uzur, Trimurti masih sempat wira-wiri sebagai pembicara di seminar-seminar bertaraf nasional. Tahun 1956 ia sempat memimpin Gerakan Wanita Sedar (Gerwis), cikal bakal Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani). Ia juga pernah diutus Dewan Perancang Nasional (sekarang Bappenas) ke Yugoslavia untuk mempelajari manajemen pekerja. Kegiatannya hingga usianya mendekati 80 tahun masih penuh. Ia ikut menandatangani Petisi 50 tahun 1980.
Dan kini, di sebuah rumah sederhana tersebut, tampak bajaj bebas berseliweran dengan suara gaduhnya. Suara itu sewaktu-waktu dapat bercampur dengan suara orang-orang lewat. Pun anak-anak kecil yang menangis termasuk teriakan ibu-ibu yang memanggil tukang siomai dan bakso, bersahut-sahutan.
Di rumahnya yang sebagian kamarnya dia sewakan sebagai tempat indekos bagi para karyawati terdapat sebuah ruang tamu tempat menggantung lukisan Semar, tokoh pewayangan setengah dewa setengah manusia dan separuh laki-laki dan separuh perempuan yang dikeramatkan oleh sebagian orang Jawa.
Nah, baru di ruang tengah rumahnya terdapat sebuah gambar ukuran 100×60 centimeter yang melukiskan seorang Presiden Soekarno yang sedang menyematkan Bintang Mahaputra Tingkat V ke dada Trimurti.
Dia tercengang mengenang sebentar, “Saya sedang dijothak (didiamkan) Bung Karno waktu itu karena memprotes poligami!” tutur Trimurti yang akhirnya bisa tersenyum menerawang mengingat-ingat kembali tipe Bung Karno seorang lelaki yang karismatik tapi beristri banyak.
Memang, hubungan Trimurti dan Bung Karno waktu itu sempat terganggu ketika Bung Karno menikahi Hartini. Saat itu Trimurti dikenal sejawatnya sebagai perempuan yang antipoligami. Namun, sikap itu rupanya tak menghalangi Soekarno memberikan Bintang Mahaputra Tingkat V kepadanya.
Dia mengatakan sesungguhnya sangat loyal terhadap Bung Karno sang guru politik sekaligus orang yang memaksanya untuk pertama kali menulis di majalah Pikiran Rakyat.
Proklamator Kemerdekaan dan Presiden R.I. pertama itulah yang telah membuat dia kecemplung ke dunia jurnalisme sebab sebelumnya Trimurti sudah menjadi seorang guru di sebuah sekolah dasar khusus putri di Surakarta dan Banyumas, serta di perguruan rakyat di Bandung.
Satu-satunya persoalan fisik dia yang serius adalah keterbatasan penglihatan mata sebelah kanannya yang merosot karena termakan usia, selebihnya tak ada masalah fisik lain pada perempuan tua namun masih sehat walafiat ini. Bukan peristiwa aneh jika ketika dia sedang berjalan-jalan di sekitar rumah lalu tetangganya melontarkan senyum namun tak sekali pun pernah berbalas.
Persoalannya Trimurti tidak bisa melihat dengan sempurna bukan karena wartawan senior ini sombong. “Wong saya baca saja pake kaca pembesar!” ujarnya penuh rasa humor.
Pejuang Dunia Sunyi
Di masa tuanya, mata Trimurti selalu terpejam. Sesekali suara napasnya meningkahi sunyi ruangan tempat dia berbaring.
Ketika Sainah (46), yang merawat Trimurti, pahlawan negara itu sering bergulat dalam kesunyian batinnya. Dia kembali tenggelam di dalam dunianya yang sunyi, entah di mana. Kadang, seperti diceritakan Sainah, yang mendampinginya 25 tahun terakhir, Trimurti sering melantunkan tembang Sigra Milir, lagu Jawa yang syairnya berisi cerita tentang legenda Joko Tingkir.
Kali lain ia menyanyikan lagu-lagu dolanan bocah di Jawa, seperti Ilir-ilir, atau seperti ditirukan Sainah, “Saya lupa judulnya, itu lho… Aduh Yu Truno.. kathokku copot, enggal benekna. (Aduh Yu Truno, celanaku lepas, tolong dibetulkan)."
Sesekali Trimurti membuka matanya, tetapi lalu memejam lagi. Jari-jari tangannya masih bisa menggenggam tangan orang yang menyentuhnya.
Kerapuhan tubuh ibu dua anak, nenek dua cucu, dan buyut dari satu cicit ini, selain faktor usia, tampaknya juga dipengaruhi peristiwa tabrakan hebat pada tahun 1994. Menurut Heru, mobil sampai harus digergaji untuk mengeluarkan tubuh Trimurti.
“Orang menyangka Ibu meninggal saat itu,” kenang Heru, anak Trimurti.
Trimurti kemudian dirawat berbulan-bulan di rumah sakit, tetapi ia bertahan. Hanya, setelah itu, ia harus memakai tongkat kalau berjalan.
“Sebelum itu, Ibu masih pergi ke mana-mana. Pada usia 82 tahun ibu masih naik bus,” lanjut Heru.
“Pekerjaan di rumah juga dilakukan sendiri, cuci piring, cuci baju,” lanjut Sainah.
Hidupnya Trimurti memang sangat sederhana. Sebagai mantan menteri, Trimurti sebenarnya berhak atas rumah di kawasan Menteng, tetapi ia memilih Jalan Kramat Lontar. “Dekat kampung. Ibu lebih suka tinggal dekat rakyat, dan ia inginnya jadi rakyat biasa. Itu sebabnya, Ibu menolak ketika ditawari menjadi Menteri Sosial,” tutur Heru.
Memasuki usia lanjutnya, ingatan Trimurti timbul tenggelam. Ia ingat anaknya, tetapi tak ingat cucunya, apalagi cicitnya. Tetapi yang cukup mencengangkan, dia masih ingat dengan Bung Karno. “Dia masih ingat Bung Karno dan Ali Sadikin,” sambung Heru.
Dan sekarang, sang pejuang wanita itu cuma terbaring di atas ranjang, seperti tenggelam dalam dunianya sendiri. Perempuan yang dipanggil Eyang itu pada akhirnya menyerah pada takdir. Dia pun tidur tenang. Sayangnya hingga kini, tidak banyak orang yang mengetahui tentang keadaan dirinya, padahal ia punya peran besar dalam menghantarkan bangsa Indonesia menikmati kemerdekaan.@nov
*) diolah dari berbagai sumber
abad.id-Pramoedya Ananta Toer, seorang pengarang yang namanya melegenda. Setiap tulisan-tulisannya dibuat semasa berada di penjara. Dan memang hampir separuh hidupnya dihabiskan di penjara. Tulisan Pram juga membawa musibah sekaligus berkah. Berkahnya, dia berhasil membuka mata dunia. Musibahnya, buku-bukunya dilarang terbit.
Abad.id Sudah dua pekan lelaki itu dirawat di rumah sakit. Tapi, rupanya waktu tidak berpihak padanya. Baginya, waktu telah selesai. Kontrak hidup tinggal menunggu hari saja. “Saya sudah lelah dirawat di rumah sakit,” itu kata Pram sebelum menutup mata selama-lamanya.
Sastrawan hebat itu menutup mata pada usia 81 tahun, tepat Minggu, 30 April 2006. Terbaring di tempat tidur memang sudah menjadi langganannya. Dalam sepekan terakhir sebelum pergi, ia bahkan tak bisa lagi meninggalkan tempat tidurnya. Meski dokter sempat menancapkan selang infus, sastrawan yang baru saja mendapatkan penghargaan The Norwegian Authors Union ini tetap menolak dirawat di rumah sakit. Sudah bosan, katanya.
Jadilah istri Pram, Maemunah Thamrin, yang umurnya juga sudah tiga perempat abad, setia menunggui Pram di rumah mereka di Jalan Warung Ulan, Bojong Gede, Bogor.
Banyak cerita mengenai sastrawan hebat itu. Ia, katanya punya kebiasaan ajaib. Dari kamar tidur, ia gemar sekali menyorotkan sebuah lampu senter besar berkekuatan besar. Ia melakukan ini karena senang melihat barisan pohon menghijau di bukit jauh.
Bukannya itu kawasan Utankayu, Jakarta, yang jadi tempat tinggal novelis ini, ada bukit? Tentu tidak. Aksi sorot ini dilakukan Pram di rumah barunya di Bojonggede, sekitar 50 kilometer selatan Jakarta. “Kalau di Jakarta, yang kita lihat hanya tembok,” kata Pram beralasan.
Di rumah barunya, Pram menjumpai banyak cara untuk bergembira, misalnya melihat cucu bermain di pelataran, berkebun, atau tidur siang dengan bantuan masker oksigen. Membicarakan rumah itu sendiri juga mendatangkan keriangan baginya. Soalnya, kediaman Pram yang baru memang istimewa. Luas tanahnya 7.000 meter persegi, yang penuh dengan pohon buah-buahan. Pram mulai membeli tanah di sini pada 1980. Awalnya memang tak seluas itu. Namun, seiring dengan banjir royalti yang diterimanya, tanah di sekitarnya pun dibelinya.
Rumahnya sendiri baru selesai dibangun sebulan lalu. Pram sendiri yang merancang rumah senilai Rp 1 miliar ini. Berukuran 15 x 20 meter persegi, gaya tropis dengan sentuhan modern—empat pilar baja besar di bagian depan—jadi pilihan si empunya rumah. Rumah yang dicitakan jadi padepokan ini sebetulnya kurang praktis untuk Pram, karena ia harus naik-turun tangga bila ingin berjalan-jalan.
Namun, novelis ini tampaknya telanjur cinta. Soalnya, bukan cuma kesenangan baru yang datang. Sekian kegemaran lamanya masih bisa dilakukannya, termasuk yang paling favorit, yaitu membakar sampah. Bedanya, dulu, di rumah lama, yang dibakar benar-benar sampah—termasuk kiriman dari tetangga karena tahu Pram sangat gemar melakukan ini—kini Pram cukup puas dengan membakar tumpukan daun kering. “Saya senang mengamati api yang membakar dan membesar,” kata Pram.
Terinspirasi Sang Ibu
Pram memang memiliki kebiasaan unik, membakar sampah. Tetapi sampah-sampah itu dibakar lantaran traumatiknya yang mendalam terhadap kejadian masa lalu. Saat membakar sampah, matanya selalu terpejam. Jadilah, perjalanan masa lalu itu kembali dikenangkannya.
Saat itu zaman revolusi kemerdekaan, kata orang. Namun pada hari itu seorang bayi mungil dilahirkan di Blora, Jawa Tengah, 6 Februari 1925. Oleh ibunya, dia diberi nama Pramoedya Ananta Toer. Ibu itu tidak tahu anaknya bakal menjadi orang besar, kelak. Tapi Pram tahu kalau ibunya adalah orang hebat. Ibunya memberikan pengaruh kuat dalam pertumbuhannya. Itu dikatakan Pram setelah tulisannya jadi. Katanya terinspirasi dari ibu.
Karakter kuat seorang perempuan inilah yang dikisahkan Pram dalam setiap karangan fiksinya. “Seorang pribadi yang tak ternilai, api yang menyala begitu terang tanpa meninggalkan abu sedikitpun,” kata Pram.
Melihat kembali ke masa lalu, Pram seperti melihat “revolusi Indonesia diwujudkan dalam bentuk tubuh perempuan (ibunya)”. Meskipun karakter ibunya kuat, fisik ibunya menjadi lemah karena TBC dan meninggal pada umur 34 tahun, waktu itu Pramoedya masih berumur 17 tahun.
Setelah ibunya meninggal, Pram dan adiknya meninggalkan rumah keluarga lalu menetap di Jakarta. Pram masuk ke Radio Vakschool, di sini ia dilatih menjadi operator radio yang ia ikuti hingga selesai. Namun ketika Jepang datang menduduki, ia tidak pernah menerima sertifikat kelulusannya. Pram, sastrawan hebat itu tidak lulus.
Pram lantas bersekolah hingga kelas 2 di Taman Dewasa, sambil bekerja di Kantor Berita Jepang Domei. Ia belajar mengetik lalu bekerja sebagai stenographer. Selanjutnya, ia di jurnalis.
Ketika tentara Indonesia berperang melawan koloni Belanda (tahun 1945), Pram bergabung dengan para nasionalis. Dia bekerja di sebuah radio dan membuat sebuah majalah berbahasa Indonesia sebelum akhirnya ditangkap dan ditahan oleh Belanda tahun 1947. Ia menulis novel pertamanya, Perburuan (1950), itu ditulisnya selama dua tahun di penjara Belanda (1947-1949).
Setelah Indonesia merdeka (tahun 1949), Pram kembali menghasilkan beberapa novel. Dan sekali lagi, karyanya itu ditulis sewaktu di penjara. Saat itu ia dipenjara di Bukit Duri Jakarta (1947-1949). Ia dijebloskan lagi ke penjara di zaman pemerintahan Soekarno karena buku Hoakiau di Indonesia, yang menentang peraturan yang mendiskriminasi keturunan Tionghoa.
Karangan yang ditulis Pram dipenjara adalah Keluarga Gerilya (1950). Buku itu menceritakan sejarah tentang konsekuensi tragis dari menduanya simpati politik dalam keluarga Jawa selama revolusi melawan pemerintahan Belanda.
Cerita-cerita singkat lain yang dikumpulkan adalah Subuh (1950) dan Pertjikan Revolusi (1950). Semua ditulis sewaktu dia di dalam penjara.
Di awal tahun 50-an, ia bekerja sebagai editor di Departemen Literatur Modern Balai Pustaka. Di akhir tahun 1950, Pram bersimpati kepada PKI. Dan setelah tahun 1958 ia ditentang karena tulisan-tulisan dan kritik kulturalnya yang berpandangan kiri. Tahun 1962, ia dekat dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat yang disponsori oleh PKI yang kemudian dicap sebagai organisasi “onderbow” atau “mantel” PKI.
Di Lekra ia menjadi anggota pleno lalu diangkat menjadi wakil ketua Lembaga Sastra, dan menjadi salah seorang pendiri Akademi Multatuli, semua disponsori oleh LEKRA. Pramoedya mengaku bangga mendapat kehormatan seperti itu, meskipun sekiranya Lekra memang benar merupakan organisasi mantel PKI.
Tak lama, pecah G30S-PKI. Pram yang anggota Lembaga Kebudayaan Rakyat–onderbouw Partai Komunis Indonesia–ditangkap dan dibuang ke Pulau Buru sampai tahun 1979.
Siksaan dan kekerasan adalah bagian hari-harinya di tahanan dan terpaksa kehilangan sebagian pendengarannya, karena kepalanya dihajar popor bedil.
Selama di pulau buru, Pram banyak bercerita. Saat itu lahirkan Tjerita dari Blora (1952). Cerita itu terinspirasi dari ibunya. Ia menggambarkan betapa kehidupan daerah Jawa ketika Belanda masih memerintah.
Memasuki rezim orde baru, kesenggangan antara WNI keturunan Tionghoa dan pribumi sangat kentara. Rasialisme ini dipicu oleh beberapa orang dari kalangan elit Orba untuk meranjau hubungan antara RI dengan RRC, yang jelas, sadar atau tidak, menjadi sempalan perang-dingin yang menguntungkan pihak Barat.
Karya Monumental
Di tahun 1965-an, Soeharto memimpin setelah mengambil alih pemerintahan yang didukung oleh Amerika yang tidak suka Sukarno bersekutu dengan Cina.
Mengikuti cara Amerika, Soeharto mulai membersihkan komunis dan semua orang yang berafiliasi dengan komunis. Soeharto memerintahkan hukuman massal, tekanan masal dan memulai Rezim Orde Baru yang dikuasai oleh militer. Akibatnya, Pram ikut dipenjara setelah kudeta yang dilakukan komunis tahun 1965.
Meskipun Pram tidak pernah menjadi anggota PKI, ia dipenjara selama 15 tahun karena beberapa alasan: pertama, karena dukungannya kepada Soekarno. Kedua, karena kritikannya terhadap pemerintahan Soekarno, khususnya ketika tahun 1959 dikeluarkan dekrit yang menyatakan tidak diperbolehkannya pedagang Cina untuk melakukan bisnis di beberapa daerah.
Ketiga, karena artikelnya yang dikumpulkan menjadi sebuah buku berjudul HoaKiau di Indonesia. Gara-gara tulisan Pram, pemerintah lantas membuat skenario ‘asimilasi budaya’ dengan menghapus budaya Cina. Sekolah-sekolah Cina ditutup, buku-buku Cina dibredel, dan perayaan tahun Baru Cina dilarang.
Pada masa awal di penjara, ia diijinkan untuk mengunjungi keluarga dan diberikan hak-hak tertentu sebagai tahanan. Di masa ini, ia dan teman penjaranya diberikan berbagai pekerjaan yang berat. Hasil tulisan-tulisannya diambil darinya, dimusnahkan atau hilang. Tanpa pena dan kertas, ia mengarang berbagai cerita kepada teman penjaranya di malam hari untuk mendorong semangat juang mereka.
Dijebloskannya dalam penjara seakan sebuah berkah dan musibah. Memang ia tidak bisa merasakan nimatnya kebebasan dan hak-haknya. Namun siapa sangka penjara yang ruangannya sempit itu kemudian mengharumkan namanya di seantero dunia melalui karyanya yang monumental dan menguncang dunia.
Pada tahun 1972, saat di penjara, Pram ”terpaksa” diperbolehkan oleh rezim Soeharto untuk tetap menulis di penjara. Setelah akhirnya memperoleh pena dan kertas, Pram bisa menulis kembali apalagi ada tahanan lain yang menggantikan pekerjaannya.
Selama dalam pengasingan di Pulau Buru (1965-1979) ia menulis 4 rangkaian novel sejarah yang kemudian semakin mengukuhkan reputasinya.
Dua di antaranya adalah Bumi Manusia (1980) dan Anak Semua Bangsa (1980), mendapat perhatian dan kritikan setelah diterbitkan, dan pemerintah membredelnya. Dua volume lainnya dari tetralogi ini, Jejak Langkah dan Rumah Kaca terpaksa dipublikasikan di luar negeri.
Ada pesan yang cukup menggugah dari seorang Pram. Begini katanya, ”Kita telah melawan, Nak Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.”
Demikianlah akhir drama dan dialog dalam Novel Bumi Manusia. Dan, dalam perlawanan, seringkali manusia kalah. Melawan adalah alat dan bukan tujuan. Karena itu ketika tidak ada alat lainnya, hanya dengan melawan maka kehidupan akan didapatkan. Melawan adalah cara untuk ”merendahkan mereka yang berkuasa dan menaikkan mereka yang terhina.”
Begitu hipotesa Pram di akhir Novel Rumah Kaca. Melawan memang milik sedikit orang. Ia hanya dipunyai para pejuang dan pahlawan. Ia menjadi ciri kaum idealis dan ”kesejatian”.
Jadi, ia langka dan agak susah dipahami. Terutama bagi ”yang menang dan berkuasa”. Bagi mereka selalu ada tanya, ”untuk apa melawan” jika kita merasa sudah mapan? Begitu susahnya kata dan perbuatan melawan, ia menjadi musuh bagi yang menggunakannya. Tapi, jangan berkecil hati. Perlawanan tak akan berhenti ketika keadilan belum menjadi bukti. Walau sekedar melawan dengan omongan. ”Ya Ma, kita sudah melawan. Biarpun hanya dengan mulut.” Inilah kalimat penutup Novel Anak Semua Bangsa.
Karya-karya (tetralogi-red) Pram ini menggambarkan secara komprehensif tentang masyarakat Jawa ketika Belanda masih memerintah di awal abad 20. Sebagai perbandingan dengan karya awalnya, karya terakhirnya ini ditulis dengan gaya bahasa naratif yang sederhana. Sementara itu, enam buku lainnya disita oleh pemerintah dan hilang untuk selamanya.
Beberapa tahun setelah dibebaskan tahun 1979, Pram dijadikan tahanan rumah dan masih menjalani wajib lapor setiap minggu di instansi militer. Meskipun ia sudah ‘bebas’, hak-hak sipilnya terus dibrangus, dan buku-bukunya banyak yang dilarang beredar terutama di era Soeharto. Pemerintah telah mengambil tahun-tahun terbaik dalam hidupnya, pendengarannya, papernya, rumahnya dan tulisan-tulisannya. Kini, belasan bukunya sudah diterjemahkan lebih dari 30 puluh bahasa termasuk Belanda, Jerman, Jepang, Rusia dan Inggris. Ia bagaikan potret seorang nabi. Dunia menghargainya, tetapi negeri sendiri malah memenjarakannya.
Karena prestasi Pram, ia memperoleh berrbagai penghargaan seperti PEN Freedom-to-Write Award, Wertheim Award dari Belanda, serta Ramon Magsaysay Award (dinilai dengan brilian menonjolkan kebangkitan dan pengalaman moderen rakyat Indonesia).
Tahun 2002, bersama musisi Iwan Fals dan Pramoedia Ananta Toer juga dinobatkan majalah Time Asia sebagai “Asian Heroes”.
Daftar Buku Pram yang Dilarang
Buku-buku Pramoedya yang dilarang memang mengandung berkah. Karena dilarang, dia dicari, meski mutunya belum tentu terjamin. Karena itu, ada lelucon bahwa humas terbaik dari penjualan buku adalah pelarangan yang dilakukan Kejaksaan Agung. Tiba-tiba zaman sudah berubah, dan sesungguhnya daftar itu sudah tidak berguna lagi.
Apa boleh buat, karena daftar belum dicabut, berikut adalah sebagian nama-nama buku (dari terbitan 1910 hingga 1990-an) yang dilarang, baik oleh Kejaksaan Agung maupun instansi lain:
Bukan Pasar Malam (Pramoedya Ananta Toer)
Dia jang Menjerah (Pramoedya Ananta Toer)
Gulat di Djakarta (Pramoedya Ananta Toer)
Mereka jang Dilumpuhkan (Pramoedya Ananta Toer)
Perburuan (Pramoedya Ananta Toer)
Pertjikan Revolusi (Pramoedya Ananta Toer)
Sekali Peristiwa di Banten Selatan (Pramoedya Ananta Toer)
Subuh: Tjerita-Tjerita Pendidikan Revolusi (Pramoedya Ananta Toer)
Tjerita dari Blora (Pramoedya Ananta Toer)
Jejak Langkah (Pramoedya Ananta Toer)
Bumi Manusia (Pramoedya Ananta Toer)
Anak Semua Bangsa (Pramoedya Ananta Toer)
Nyanyi Sunyi Seorang Bisu (Pramoedya Ananta Toer)
Undang Berfikir Rakyat Berjuang (Ibnu Parna)
Dua Taktik Sosial Demokrasi di Dalam Revolusi Demokrasi (W.I. Lenin)
Komunisme Sajap Kiri (W.I. Lenin)
Totalitarian Dictatorship and Autocracy (Carl J. Friedrich)
Untuk Demokrasi dan Kabinet Gotong Royong (Aidit)
Ik ben een Papua (Zakarias Asawor)
Lima Jaman: Perwujudan Integrasi Wajar (Siauw Giok Tjhan)
Alam Barzah_Alam Kubur (Dalimi Lubis)
Modern Korea (Kim Byong Sik)
Sosialisme ala Indonesia (R. Moestopo)
Teologi Pembebasan: Sejarah, Metode, Praksis, dan Isinya (Wahono Nitiprawiro)
Tan Malaka: Pergulatan Menuju Republik (Harry A. Poeze)
Runtuhnja Keradjaan Hindhu-Djawa dan Timbulnja Keradjaan-Keradjaan Islam di Nusantara (Slametmuljana)
Sabda Allah yang Diwahyukan Menurut Agama Islam dan Agama Kristen (P.A. Heuken S.J.)
Memperkenalkan Korps Muballigh Indonesia dan Pendiriannya Mengenai Pancasila Sebagai Azas Tunggal
The Indonesian Tragedy (Brian May)
Hari-Hari Terakhir Kekuasaan Soeharto (Benedict Anderson)
Indonesia di Bawah Sepatu Lars (Sukmadji Indro Tjahjono)
Siapa yang Sesungguhnya Melakukan Kudeta terhadap Soekarno (Y. Pohan)
Permesta, Kandasnya Cita-Cita
Seri Demokrasi: Kesaksian Kaum Muda
The Devious Dalang
Heboh Ayat-Ayat Setan
Amerika Serikat dan Penggulingan Soekarno
Pesona Seks Wanita
Menjaga Keseimbangan antara Kebutuhan Seks dan Kesehatan
Bertarung Demi Demokrasi: Kumpulan Eksepsi Mahasiswa Bandung
Kasih yang Menyelamatkan (Herman O.T.M. Simanjuntak)
Geger Lampung dan Kaum Sempalan (P. Bambang Siswoyo)
Serat Darmogandul dan Sulak Gatoloco
Masa Depan Islam: Kilas Balik Abad Ke-14 (Dr. Muhammad Al Baby)
Wajah Dunia Islam Kontemporer (Dr. Ali Qarishah)
Dosa dan Penebusan Dosa Menurut Islam dan Kristen
Kristus dalam Injil dan Al Quran
Wajah Dunia Islam Kontemporer
Tanah untuk Rakyat
Kapitalisme Semu Asia Tenggara (Yoshihara Kunio)
Di Bawah Lentera Merah: Riwayat Sarekat Islam Semarang 1917-20
Perang Teluk: Islam akan Kembali Gemilang
Cina, Jawa, Madura dalam Konteks Hari Jadi Surabaya (Moch. Choesni)
Sebuah Mocopat Kebudayaan Indonesia (Joebaar Ayoeb)
Aurad Muhammadiyah Pegangan Darul Arqam (Ustadz Ashaari Muhammad)
Menyingkap Sosok Misionaris (Abdul Rasyad Shiddiq)
Demokrasi di Balik Keranda (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia)
Presiden Soeharto Ikuti Jadual Allah (Ashaari Muhammad)
Oei Tjoe Tat Pembantu Presiden Soekarno (nov)
*Diolah dari berbagai sumber