abad.id- Letnan Jendral Kokubu Shinshichoto dan Kolonel yamamoto Moishiro sadar untuk kelancaran peperangan harus dirancang sebuah organisasi baru yang dapat memobilisasi seluruh rakyat. Seharusnya sudah tidak ada lagi golongan pribumi, China, Arab dan Indo eropa. Kedua perwira militer ini sadar selain organisasi untuk gerakan para nasionalis dan golongan priyayi Jawa, juga harus merangkul kalangan pemimpin Islam. Tujuan Jepang ingin mengambil simpati Islam agar mau mendukung perang melawan negara-negara Barat
Sebelum Jepang tiba di Hindia belanda sudah ada organisasi MIAI ( Majisul Islam Alla Indonesia ) atau majelis islam tinggi di Indonesia. Federasi ormas Islam didirikan oleh KH Mas Mansyur dan beberapa Ulama tahun 1937 di Surabaya. Di tubuh MIAI terdapat partisipasi golongan Muhammdiyah, Nahdlatul Ulama dan PSII (Sarekat Islam). Khusus untuk PSII terpaksa dibedakan oleh Jepang, sebab akan dibubarkan bersama organisasi partai lain. Saat ini Jepang hanya butuh organisasi massa dan bukan kelompok partisipan politik.
Kolonel Yamamoto Moishiro Pemimpin Bagian Pengajaran dan Agama mulai melakukan penjajakan dengan mengadakan pertemuan dengan sejumlah pemuka agama Islam dari seluruh Jawa Timur di Surabaya. Yamamoto ingin berkenalan dengan para pemuka agama Islam. Ia minta umat Islam tidak melakukan kegiatan politik.
Di Jawa Barat, Kolonel Yamamoto mengerahkan para pembantunya. Mereka terdiri dari orang Jepang yang beragama Islam, seperti Abdul Muniam Inada serta Moh Sayido Wakas. Tugas mereka secara bergiliran mengunjungi beberapa masjid besar di Jakarta untuk mengadakan ceramah dan khotbah Jumat. Jepang berusaha mengarahkan ulama dan umat Islam mencurahkan kegiatan keagamaan dan keumatannya lewat organisasi.
Karena dianggap masih sejalan dengan semangat organisasi, MIAI awalnya masih diperbolehkan berkembang. Jepang pun mengaktifkan kembali MIAI pada 4 September 1942. Markasnya yang ada di Surabaya dipindah ke Jakarta. Adapun tugas MIAI menempatkan umat Islam pada kedudukan yang layak dalam masyarakat Indonesia, mengharmoniskan Islam dengan tuntutan perkembangan zaman dan ikut membantu Jepang dalam Perang Asia Timur Raya.
MIAI membuat sejumlah program yang berfokus pada pergerakan Islam. Mereka berencana membangun Masjid Agung di Jakarta serta mendirikan universitas. Namun Jepang tak sepakat. Jepang hanya program MIAI membentuk baitulmal atau lembaga pengelola amal.
Meskipun dalam tekanan Jepang, MIAI masih bisa berkembang menjadi tempat pertukaran pikiran dan pembangunan kesadaran umat agar tidak terjebak pada perangkap kebijakan Jepang yang semata-mata untuk memenangkan perang Asia Timur Raya. Pada bulan Mei 1943, MIAI berhasil membentuk Majelis Pemuda yang diketuai oleh Sofwan, dan membentuk Majelis Keputrian yang dipimpin oleh Siti Nurjanah. Bahkan MIAI masih diperbolehkan menerbitkan majalahnya yaitu Soeara MIAI.
Melihat hal itu, Jepang menjadi waspada terhadap perkembangan MIAI. Kecurigaan jepang berawal dari dana yang terkumpul di Baitulmal disalurkan ke umat dan tidak diserahkan ke Jepang. Para tokoh Islam di daerah mulai diawasi. Jepang mulai intervensi ke organisasi dengan mengadakan pelatihan bagi para kiai selama satu bulan. Dari hasil pelatihan itu, disimpulkan para kiai tidak membahayakan. Hanya saja MIAI dianggap tidak berkontribusi terhadap perang. MIAI akhirnya dibubarkan pada November 1943 dan diganti dengan Majelis Penasehat Islam Indonesia yang dalam Bahasa Indonesia disingkat Masyumi.
Masyumi kelak akan menjadi kekuatan politik yang penting. Berkat campur tangan para tokoh Masyumi, seluruh kegiatan di masjid selalu mendoakan kemenangan Jepang dalam perang asia raya. Serta para petani diingatkan untuk menyetor hasil bumi kepada pemerintah Jepang dan dianggap kegiatan Baitulmal.
Pada awal terbentuk Masyumi diketuai Kepala Departemen Agama Hussein Djajadiningrat. Namun karena terlalu bersemangan membela pemerintahan Jepang, sehingga kegiatan di Masyumi menjadi berkurang. Maka kepemimpinan diambil alih ulama kharismatik Hasyim Ashari. Wakilnya dari Muhammadiyah antara lain KH Mas Mansyur, KH Farid Ma’ruf, KH Mukti, KH Wahid Hasyim, dan Kartosudarmo. Sementara Wakil Masyumi dari Nahdatul Ulama yakni KH Nachrowi, Zainul Arifin, dan KH Muchtar. Masyumi berkembang dengan cepat karena di setiap karesidenan ada cabangnya.
Tugas Masyumi menjadi wadah bertukar pikiran antara tokoh-tokoh Islam sekaligus menjadi tempat penampungan keluh kesah rakyat. Hasil kesepakatan para kyai salah satunya menolak budaya Jepang yang tak sesuai dengan ajaran Islam. Salah satunya yakni seikerei atau posisi membungkuk 90 derajat ke arah Tokyo. Gagasan penolakan itu dipelopori ayah Buya Hamka, Abdul Karim Amrullah, dengan alasan umat Islam hanya melakukan posisi itu ketika rukuk saat shalat dan menghadap kiblat.
Sejak berdirinya tiga mitra kerja pemerintah Jepang, pemerintahan militer menjadi mudah memobilisasi rakyat. Tiga pilar itu yaitu para priyayi dari pamong praja telah berhasil diikat Sukarno Hatta melalui gerakan nasionalis bernama PUTERA. Begitu pula kelompok islam dipersatukan dalam Masyumi. Sedangkan organisasi kemasyarakat dan Partai Politik telah dilebur menjadi Persekutuan Pemerintah Kaisar ada awal tahun 1944. Jepang membentuk Jawa Hokokai atau organisasi pelayanan Pulau jawa yang bersifat perkumpulan atau federasi.
Masyumi Menjadi Partai Yang Disegani
Awal Mula Masyumi bukanlah sebuah partai, melainkan sebuah organisasi Islam. Jepang membentuk organisasi ini karena menganggap Masyumi dapat membantu dalam mengendalikan umat Islam di Indonesia. Pada saat itu, Jepang telah melarang Partai Sarekat Islam Indonesia dan Partai Islam Indonesia.
Dua bulan pasca Kemerdekaan Indonesia, digelar Kongres Umat Islam Pada 7-8 November 1945 yang melibatkan semua organisasi Islam di Indonesia, di gedung Madrasah Mu’alimin Muhammadiyah, Yogyakarta. Hasilnya harus ada solusi untuk membentuk kesamaan politik Umat Islam. Kesepakatan membentuk partai juga karena ada rasa kecewa sebagian kelompok atas penghapusan 7 Kata di Piagam Jakarta.
Hadir dalam Kongres Umat Islam Indonesia sekitar 500 tokoh dan utusan. Pertemuan ini memilih nama Partai Masyumi. Pemilihan ini bukan merujuk pada Majelis Syuro Muslimin Indonesia di masa Jepang, namun pilihan nama lebih baik dari nama lain yang diusulkan, yakni Partai Rakyat Islam. Penggunaan nama yang sama karena pertimbangan Masjumi sudah dikenal dan kuat jaringan hingga pedesaan.
Pada Pemilu 1955 Masyumi sempat mendapat perolehan suara terbanyak setelah PNI. Pada pemilu pertama tersebut Partai Masyumi mendapatkan 57 kursi legislatif dan 112 kursi anggota konstituante, yang berasal dari 10 daerah pemilihan dari total 14 daerah pemilihan di Indonesia. (pul)
Abad.id Seorang pria paruh baya lunglai setelah dihujani peluru. Tak lama setelahnya, dia menghembuskan nafas terakhirnya. Peluru-peluru tersebut telah mengakhiri kisah perjuangannya melawan kapitalis.
Tepat 9 Oktober 1967, Che Guevara tewas setelah peluru menghujam tubuhnya. Tokoh revolusioner ini meninggal dunia oleh hukuman tembak setelah sehari sebelumnya ditangkap tentara Bolivia.
Sejak itu nama Che Guevara terus terkenang hingga kini. Sebagian orang mengingatnya sebagai pemberontak, namun sebagian besar lainnya menganggapnya sebagai pahlawan. Kisah perjuangannya akan selaku dikenang.
Che Guevara akan selalu dianggap sebagai pejuang revolusi Marxis di Argentina. Lelaki ini terlahir pada 14 Juni 1928 dengan nama Ernesto Guevara Lynch de La Serna. Dia lahir di Rosario, kota terbesar di provinsi Santa Fe, di pusat Argentina (300 km barat laut dari Buenos Aires).
Sejak usia dua tahun, anak dari keluarga berdarah campuran Irlandia, Basque dan Spanyol menderita penyakit asma akut. Kondisi kesehatan Che yang demikian membuat orangtuanya mencari daerah yang lebih kering. Mereka ingin Che sehat dan daerah yang dipilihnya adalah Alta Gracia (Córdoba). Sayangnya kesehatan Che tak mengalami perubahan yang berarti.
Che lahir dari keluarga kaya, awalnya ia tak berminat di bidang politik, seluruh pikirannya hanya terpusat pada penyakitnya ‘asma’. Ia sangat tersiksa dengan penyakitnya ini, ia terus mencari tahu informasi tentang penyembuhan penyakitnya.
Hobi membacanya tumbuh karena ibunya Celia de la Serna, amat berminat di bidang sastra, ia ingin anaknya menyukai membaca, Celia tak hanya mengajari anaknya tentang huruf, ia mengajari kosa kata yang hidup, dari ibunya-lah pertama kali Che, mengenali bahwa ‘dibalik aksara’ ada kehidupan.
Karena itulah ia banyak membaca literatur tokoh dunia di perpustakaannya. Di umur 12 tahun ia suka sekali berkutat di ruang perpustakaan ayahnya. Dan ada satu buku yang amat menarik, sebuah buku berbahasa Spanyol terjemahan dari bahasa Jerman. Judulnya ‘Das Kapital’ karangan Karl Marx.
Ia menggeluti buku ini, ia mendefinisikan kemanusiaan, ia mendefinisikan bagaimana komoditi kemudian berkembang bukan sebagai ‘alat yang memudahkan manusia’ tapi sebagai alat penindasan–manusia terasingkan oleh kehidupannya.
Minat baca yang demikian tinggi telah menjadikannya seorang pemuda yang cerdas dan mengetahui tokoh-tokoh revolusioner dunia seperti Karl Marx, Engels, dan Sigmund Freud.
Untuk melanjutkan tingkat pendidikan dasarnya, Che kemudian dimasukan ke sekolah menengah pertama Colegio Nacional Deán Funes di Cordoba (1941). Di sekolah ini mendapat predikat terbaik untuk bidang sastra dan olahraga.
Terjunnya Che ke kancah perjuangan rakyat berawal saat dirinya melihat para pengungsi perang sipil Spanyol akibat rentetan krisis politik di Argentina. Krisis yang kemudian semakin memuncak di bawah pemerintahan diktator fasis Juan Peron.
Kondisi ini membuat hati Che tergerak untuk melakukan perlawanan. Terlebih, Juan Peron merupakan pemimpin yang paling ditentangnya.
Sebagai wujud perlawanan pertamanya terhadap pemerintah fasis, Che mengangkatnya dalam sebuah karya sastra, pantomin.
Dia menuangkan kebencian akan politisi militer dan kaum kapitalis di sebuah pertunjukan pantomin Demokrasi di parlemen.
Namun, Che masih terlalu muda untuk terjun langsung ke dunia politik dan memimpin rekan-rekannya untuk melawan kapitalisme. Karenanya Che muda tidak bergabung dalam gerakan pelajar revolusioner.
Minat politiknya saat itu masih sangat sedikit. Dan itu dipelajarinya saat dia menuntut ilmu kedokteran di Universitas Buenos Aires, (1947).
Che memilih dunia kedokteran karena ingin mempelajari penyakit yang dideritanya sejak kecil. Namun, sayangnya dia justru tertarik pada penyakit kusta.
Perjalanan ke Beberapa Negara
Usianya telah memasuki 21 tahun. Che muda memutuskan untuk melakukan perjalanan panjang menjelajahi Argentina Utara pada 1949. Dengan menggunakan sepeda motor, Che mulai menelusuri desa-desa dan kota-kota terpencil dan terpelosok di Argentina Utara.
Ia mengajak kawannya Alberto Granado keliling Argentina. Semua hutan dimasukinya, melewati sungai, melihat perkampungan-perkampungan yang tak terlihat dengan motornya. Ia menaiki rakit dan berjalan terus menantang sinar matahari, dan tangannya mencoba meraih bulan di angkasa, hatinya penuh, ia bergembira sekaligus bertanya ‘kemanusiaan, kemanusiaan…’.
Ya, Che, menemukan kebahagiaan di atas tunggangannya, kuda besi dan dengan buku berlapis kulit ia mencatat seluruh yang ia lihat, orang miskin, para Indian yang terpinggirkan, mereka yang terlupakan, mereka yang harus berkutat dengan kehidupan, seluruh dari mereka yang tak bebas dan harus dibebaskan.
Dari situlah Che menyadari betapa sulitnya hidup di negara yang dipimpin oleh kaum kapitalis. Dalam perjalanannya, Che bersentuhan langsung dengan orang miskin dan sisa suku Indian.
Pengalaman dan pemikirannya dalam dunia politik mulai berkembang. Setelah menempuh ujian pertengahan semester, Che melanjutkan perjalanan panjangnya menjelajah Argentina dan beberapa negara Amerika Selatan lainnya pada 1951. Pada perjalanan keduanya, Che bersama seorang teman.
Dalam perjalanannya tersebut, dia bertemu dengan Salvador Allende saat berada di Chili dan di Peru. Dia bekerja sama selama beberapa minggu di Leprasorium San Pablo. Kala berada di Kolombia, Che dapat merasakan bagaimana hebatnya La Violencia (perang sipil) yang terjadi pada 1948-1958.
Che Guevara dikenal sebagai pribadi yang sederhana. Foto: ist
Namun kala berada di Venezuela, dia ditangkap tetapi dilepaskan kembali. Setelah itu dia mengunjungi Miami.
Kisah perjalanan Che ini kemudian diterbitkan dalam sebuah buku dengan judul The Motorcycle Diaries, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris pada 1996 dan kemudian difilmkan dengan judul yang sama pada 2004.
Setelah melakukan perjalanan panjang, Che kembali ke daerah asalnya.Namun, kehidupannya sebagai spesialis penyakit kulit tak membuatnya bahagia. Saat berada dalam masa revolusi nasional, Che kemudian pergi ke La Paz, Bolivia. Namun, dia justru dituduh sebagai seorang oportunis.
Tak berlama-lama berada di Bolivia, Che kemudian melanjutkan perjalanannya ke Guatemala. Kala itu Guatemala dipimpin oleh Presiden Jacobo Arbenz Guzman yang merupakan seorang sosialis. Meski sepaham, Che tidak serta merta bergabung dengan Partai Komunis pimpinan Jacobo. Karena itulah dia ditolak untuk menjadi tenaga medis pemerintah.
Che pun kemudian terpuruk dalam kemiskinan. Untuk mnyambung hidupnya dia memilih bertahan hidup dengan menjadi seorang penulis arkeologi tentang reruntuhan Indian Maya dan Inca.
Yakin Revolusi Menang
Guatemala menjadi awal perjalanan karirnya di dunia politik. Selama berada di Guatemala dan menjadi penulis arkeologi, Che lalu berkenalan dengan Hilda Gadea, penganut paham Marxis keturunan Indian lulusan pendidikan politik. Bahkan mereka pun tinggal bersama.
Perjalanan politiknya dimulai. Kepada Che, Hilda kemudian mengenalkannya dengan Nico Lopez, salah satu Letnan Fidel Castro. Che lantas banyak belajar tentang revolusi. Dia melihat dan memperhatikan cara kerja CIA sebagai agen kontrarevolusi.
Dari situlah keyakinannya akan kemenangan sebuah revolusi harus dilakukan dengan jaminan persenjataan.
Perjalanan politiknya di Guatemala berakhir, ketika Presiden Arbenz turun jabatan, Che lantas hijrah ke Kota Meksiko (September 1954) dan bekerja di rumah sakit umum. Demikian pula dengan Hilda Gadea dan Nico Lopez yang mengikuti Che ke Meksiko.
Rupanya Meksiko membawa perubahan besar dalam perjalanan hidup dari karir politiknya. Che bertemu dengan tokoh revolusioner Raul Castro dan Fidel Castro.
Che yakin Fidel Castro adalah sosok pemimpin yang patut diikutinya. Che pun memutuskan bergabung dengan pengikut Castro.
Bersama pengikut lainnya, dia dilatih perang gerilya oleh kapten tentara Republik Spanyol Alberto Bayo. Alberto Bayo juga merupakan seorang penulis buku Ciento cincuenta preguntas a un guerilleo (Seratus lima puluh pertanyaan kepada seorang gerilyawan) di Havana, tahun 1959.
Bayo tidak hanya mengajarkan pengalaman pribadinya tetapi juga ajaran Mao Ze Dong. Kecerdasan Che membuat Bayo kagum dan menjadikannya murid kesayangan. Che pun ditunjuk sebagai pemimpin.
Pada Juni 1956, Che dan pasukannya menyerbu Kuba. Dalam penyerbuan Che diangkat menjadi komandan tentara revolusioner Barbutos.
Kepemimpinan Che semakin disegani. Che dinilai sebagai seorang pemimpin yang berdisiplin tinggi. Dia kerap menembak mati anggotanya yang ceroboh dan bisa membahayakan perjuangan demi melawan presiden Batista.
Revolusi pun dimenangkan. Che pun mendapat penghargaan sebagai orang kedua di bawah Fidel Castro untuk memimpin Kuba. Dalam pemerintahan ini, Che bertanggung jawab menggiring Castro ke komunisme merdeka bukan komunisme ortodoks.
Dalam perjalanannya menuju komunisme merdeka, Che memimpin Instituto Nacional de la Forma Agraria dan kemudian menyusun hukum agraria.
Dalam hukum agraria besutan Che, pemerintah menyita tanah-tanah milik kaum feodal (tuan tanah), mendirikan Departemen Industri dan ditunjuk sebagai Presiden Bank Nasional Kuba dan menggusur orang orang komunis dari pemerintahan serta pos-pos strategis.
Ia bertindak keras melawan dua ekonom Perancis yang beraliran Marxis yang dimintai nasehatnya oleh Fidel Castro dan yang menginginkan Che bertindak lebih perlahan. Che pula yang melawan para penasihat Uni Soviet.
Dia mengantarkan perekonomian Kuba begitu cepat ke komunisme total, menggandakan panen dan mendiversifikasikan produksi yang ia hancurkan secara temporer.
Che dan Indonesia
Setelah menjadi salah satu pemimpin di Kuba, Che melepas lanjang. Dia mempersunting Aledia March pada 1959. Tiga bulan setelah itu atau tepatnya 12 Juni 1959, Castro mengutusnya untuk mengunjungi 14 negara Asia.
Negara-negara yang dikunjungi kebanyakan peserta Konferensi Asia Afrika di Bandung 1955. Salah satunya Indonesia.
Che berkunjung ke Jakarta dan menyempatkan diri ke Borobudur. Aksi kunjungan Che dibalas oleh Soekarno. Presiden pertama Indonesia itu melakukan kunjungan balasan ke Kuba setahun kemudian atau tepatnya 13 Mei 1960.
Che Guevara bersama idolanya Bung Karno. Foto: ist
Setibanya di Bandara Jose Marti, Havana, Soekarno disambut oleh Presiden Kuba Fidel Castro dan Che Guevara.
Usai mengunjungi 14 negara Asia, Che diangkat menjadi Menteri Perindustrian. Setelah menjabat, pada Februari 1960, Che menandatangani pakta perdagangan dengan Uni Soviet dan melepaskan industri gula Kuba pada ketergantungan pasar Amerika.
Che yakin perjuangannya akan membawa keberhasilan bagi revolusi Kuba. “Tidaklah penting menunggu sampai kondisi yang memungkinkan sebuah revolusi terwujud sebab fokus instruksional dapat mewujudkannya,” ucap Che sesuai dengan ajaran Mao Ze Dong.
Che percaya daerah pasti membawa revolusi ke kota yang sebagian besar penduduknya adalah petani.
Namun, aksinya itu justru mendatangkan petaka. Pada acara Solidaritas Asia-Afrika di Aljazair (Februari 1965), Che menuduh Uni Soviet sebagai kaki tangan imperialisme. Ia juga menyerang pemerintahan Soviet atas kebijakan hidup bertetangga dan juga atas Revisionisme.
Sebagai wujud pertentangannya dengan Uni Soviet, Che mengadakan konferensi Tiga Benua. Tujuannya konferensi tersebut adalah merealisasikan program revolusioner, pemberontakan, kerjasama gerilya dari Afrika, Asia dan Amerika Selatan.
Sikap Che yang tidak kenal kompromi pada negara kapitalis mendorong negara-negara komunis meminta Castro memberhentikan Che. Akhirnya pada 1965, Che diberhentikan.
Che pun terbang ke Kongo, Afrika. Namun dia dikabarkan telah tewas. Target Che di Kongo adalah mengadakan survei akan kemungkinan mengubah pemberontakan Kinshasa menjadi sebuah revolusi komunis dengan taktik gerilya Kuba. Untuk menerapkan taktiknya dia mengirim 120 orang Kuba ke Kongo.
Sayangnya, niatnya tak semulus kenyataan. Che dan pasukannya gagal di Kongo. Mereka sia-sia saja melawan kekejaman Belgia. Che pun pada 1965, meminta Castro untuk menarik mundur bantuan dari Kuba.
Penghargaan Melawan Kapitalisme
Perjalanan panjang Che Guevara berakhir pada 9 Oktober 1967. Dia bergerilya ke Bolivia. Namun malang, Che ditangkap oleh tentara Bolivia pada 8 Oktober 1967. Sehari setelah penangkapan, Che mendapat hukuman tembak.
Berita kematian Che pun lantas tersebar. Berbagai penghormatan atas kegigihannya melawan kapitalisme mendapat apresiasi dari berbagai kalangan.
Berbagai tokoh sastra, musik dan seni telah mempersembahkan komposisinya kepada Che Guevara. Penyair Chili Pablo Neruda mempersembahkan kepadanya puisi Tristeza en la Muerte de unHéroe (Kesedihan karena kematian seorang pahlawan) dalam karyanya Fin del Mundo (Akhir dunia) pada 1969.
Pengarang Uruguay, Mario Benedetti menerbitkan pada 1967 serangkaian puisi yang dipersembahkan kepadanya dengan judul A Ras del Sueño (Pada tingkat impian). Penyanyi Carlos Puebla mempersembahkan sebuah lagu Hasta Siempre Comandante Che Guevara (Untuk selamanya komandan Che Guevara) dan Los Fabulosos Cadillacs, Gallo Rojo (Ayam jantan merah), yang muncul dalam album El León (Singa) pada 1991.
Pada 12 Juli 1997, jenazahnya dikuburkan kembali dengan upacara kemiliteran di Santa Clara di provinsi Las Villas, di mana Guevara mengalami kemenangan dalam pertempuran ketika revolusi Kuba.
Che menjadi legenda. Ia dikenang karena kehebatannya dalam memimpin sebuah revolusi. Ia juga idola para pejuang revolusi dan bahkan kaum muda generasi 1960-1970 atas tindakan revolusi yang berani yang tampak oleh jutaan orang muda sebagai satu-satunya harapan dalam perombakan lingkup borjuis kapitalisme, industri dan komunisme.
Che, bukanlah pemimpin yang senang hidup nyaman, ia berjuang hanya karena “harus” berjuang. Ia melihat bagian dunia lain masih sengsara, ia ingin membebaskan dunia, tapi kadang-kadang manusia punya kenaifannya, mungkin di Kuba Revolusi menemukan momentum-nya, tapi tidak di dunia lain.
Che gagal di Kongo, Afrika begitu juga saat ia memasuki Bolivia, Che ditangkap tentara pemerintah Bolivia, ia mati dengan kepala ditembusi peluru, peluru penindasan……
Itulah Che, seorang pejuang abadi, seorang yang menolak kemapanan, memilih revolusi angkat bersenjata sebagai jalan hidupnya, seorang yang berkata kepada isterinya,
“Kuberikan kebebasanku pada dunia, tapi aku tak bisa membebaskan dunia, aku mencintaimu sekali lagi mencintaimu”.
Dan seorang bapak yang amat mencintai anaknya seperti surat yang ia kirimkan kepada anak sulungnya Hildita, di hari ulangtahun Hildita :
Anakku, kau musti berjuang menjadi yang terbaik di sekolah, terbaik dalam setiap pengertian, dan kau akan mengetahuinya kelak: belajar dan bersikaplah revolusioner.
Apa itu sikap revolusioner? Sikap itu adalah kelakuanmu yang baik, cintamu yang tulus pada revolusi, pada persamaan manusia, persaudaraan.
Aku sendiri tidak bersikap demikian disaat usiaku sama denganmu, aku hidup dalam masyarakat yang berbeda, masyarakat yang kolot dan berpaham sempit, ‘dimana manusia menjadi ancaman bagi manusia lainnya’. Tapi kau nak, hidup dalam masa yang indah, memiliki kemudahan hidup di jaman yang lain dari jaman bapak-mu, kau harus bersyukur soal itu.
Bermainlah dalam dunia kanak-kanakmu, bermainlah ke rumah tetanggamu untuk menyapa mereka dan ceritakan pada mereka bagaimana kelakuan baik seharusnya dijalankan. Dekati adikmu Aleidita, ajarkan bagaimana bertindak baik, yang butuh perhatian besar darimu, sebagai anak tertua.
Oke, Tuan Putri……Sekali lagi aku berharap hatimu mekar berbahagia di hari ulang tahunmu ini, Peluk mesra untuk ibumu dan Gina. Aku memelukmu, memeluk dengan keabadian, memeluk sebagai rasa cinta bapak kepada anaknya hingga akhirnya kita berpisah. Papamu, Che Guevara.@dbs/nov
Abad.id Setelah dimakamkan bertahun-tahun, petugas makam dari pemerintah kota kemudian menggali.
Ini sudah menjadi kebijakan di Arab Saudi untuk menggali tulang belulang mayat untuk diambil dan disatukan dengan tulang belulang mayat lain. Semua tulang itu dikuburkan di tempat lain di luar kota.
Namun saat penggalian makam, ada satu makam yang membuat semua orang terkejut. Di lubang makam itu bukannya ditemukan tulang belulang manusia, justru ditemukan jasad yang masih utuh. Tidak ada tanda-tanda pembusukan lazimnya jenazah yang telah lama dikubur. Tidak ada lecet. Bahkan kain kafan penutup jasad tidak sobek dan tidak lapuk.
Setelah diteliti, ternyata makam yang digali itu bukan makam orang sembarangan. Diketahui itu adalah makam Syekh Nawawi al-Bantani.
Langkah strategis diambil Pemerintah Arab Saudi. Makam Syekh Nawawi al-Bantani kemudian dilarang untuk dibongkar. Jasad beliau lalu dikuburkan kembali seperti sediakala. Hingga sekarang makam beliau tetap berada di pemakaman umum Ma’la, Mekkah.
Syekh Nawawi nama yang sedikit dikenal oleh kalangan awam namun sangat harum di lingkungan ulama Indonesia. Dialah salah seorang tokoh yang sangat penting bagi dunia pesantren dan perumusan kitab kuning di Indonesia.
Karyanya menjadi rujukan utama di berbagai pesantren tradisional di tanah air yang sampai sekarang masih banyak dikaji, juga di luar negeri. Namanya bahkan sering terdengar disamakan kebesarannya dengan tokoh ulama klasik madzhab Syafi’i.
Di kalangan komunitas pesantren, Syekh Nawawi tidak hanya dikenal sebagai ulama penulis kitab, tapi juga maha guru sejati (the great scholar).
Teologis dan batasan-batasan etis tradisi keilmuan di lembaga pendidikan pesantren. Beliau banyak membentuk keintelektualan tokoh-tokoh para pendiri pesantren di Nusantara.
Syekh Nawawi mengajak murid-muridnya yang datang dari berbagai belahan dunia di Masjidil Haram. Di antara muridnya yang berasal dari Indonesia adalah Kiai Kholil Madura, Kiai Asnawi Kudus, Kiai Tubagus Bakri, Kiai Arsyad Thawil dari Banten dan Kiai Hasyim Asyari dari Jombang (Pendiri NU). Mereka inilah yang kemudian hari menjadi ulama-ulama besar di tanah air.
Di antara sekian banyak muridnya, Syekh Nawawi juga mempunyai satu murid dari Indonesia yang paling berpengaruh di nusantara dan memiliki reputasi di dunia Islam. Tak lain Kiai Mahfudz Termas atau dikenal Syekh Mahfudz Al-Tarmasi (Termas).
Kiai Mahfudz boleh dibilang merupakan pewaris terakhir dari pertalian penerima (isnad) hadits dari 23 generasi (secara berturut-turut) penerima Hadist Shahih Bukhori.
Syekh Nawawi juga mengarang dan menulis kitab. Banyak karya-karya yang lahir tersebar ke berbagai penjuru dunia untuk perkembangan Islam terutama Islam Nusantara.
Karya-karyanya sudah tersebar di berbagai penjuru dunia. Syekh Nawawi merupakan satu-satunya ulama Indonesia yang namanya tercantum dalam kamus al-Majid (kamus bahasa arab yang terkenal paling lengkap).
Di antara karya-karya beliau adalah
Ilmu Kalam (Teologi Islam):
Kitab Fathul Majid (1298 H), Tijn ad- Darari (1301 H), Kasyfatus Syaja (1292 H), an-Nahjatul Jadidah (1303 H), Dazari’atul Yaqin ‘alaummil Barahil (1317 H), ar-Risalah al-Jami’ah baina Ushuluddin wal Fiqh wat-Tasawuf (1292 H), ats-Tsimar al-Yani’ah (1299 H), Nur adh-Dhulam (1329 H).
Ilmu Fiqih: At-Tausyeh (1314 H), Sulamut Munajat (1297 H), Nihayatuz Zain (1297 H), Mirqat ash-Shu’ud at-Tashdiq (1297 H), Uqud al-Lujjain fi Bayani huquq azZaujain (1297 H), Qutul Habib al-Gharib (1301 H).
Akhlak dan Tasawuf: Salalimul Fudhala (1315 H), Misbah adh-dhuln ‘ala Manhaj al-Atam fi Tabwibil Hukmi (1314 H).
Kitab Tafsir: al-Tafsir al-Munir li Ma’alim al-Tanzil/Tafsir Marah Labid.
Yusuf Alias Sarkis dalam Dictionary of Arabic Printed Books mencatat setidaknya 34 karya telah ditulis oleh Syekh Nawawi. Beberapa kalangan ada yang menyebutkan bahwa karya-karya beliau mencapai lebih dari 100 judul, meliputi berbagai disiplin ilmu, seperti tauhid, ilmu kalam, sejarah, syari’ah, tafsir, dan lainnya.
Sejak tahun 1888 M, secara bertahap kurikulum pesantren mulai mengalami perubahan, yakni terdapat tiga bidang keilmuan yang bersifat epistemologis, di antara bidang Tafsir, Ushl al-Fiqh dan Hadits. Perubahan tiga bidang di atas tidak terlepas dari jasa tiga orang alim Indonesia yang sangat berpengaruh.
Syekh Nawawi Banten berjasa dalam menyemarakkan bidang tafsir, Syekh Ahmad Khatib berjasa mengembangkan bidang Ushul Fiqh dengan kitabnya al-Nafahat ‘Ala Syarh al-Waraqat, dan Kiai Mahfuz Termas berjasa dalam bidang Ilmu Hadis.
Karya-karya Syekh Nawawi tidak hanya banyak dikaji dan dipelajari di seluruh pesantren di Indonesia tetapi di seluruh wilayah Asia Tenggara. Tulisan-tulisan Syekh Nawawi dikaji di lembaga-lembaga pondok tradisional di Malaysia, Filipina dan Thailand.
Menurut Ray Salam T. Mangondanan, peneliti di Institut Studi Islam, University of Philippines, pada sekitar 40 sekolah agama di Filipina Selatan yang masih menggunakan kurikulum tradisional.
Selain itu Sulaiman Yasin, seorang dosen di Fakultas Studi Islam, Universitas Kebangsaan di Malaysia, mengajar karya-karya Syekh Nawawi sejak periode 1950-1958 di Johor dan di beberapa sekolah agama di Malaysia.
Di kawasan Indonesia menurut peneliti Belanda, Martin Van Bruinessen yang sudah meneliti kurikulum kitab-kitab rujukan di 46 Pondok Pesantren Klasik 42 yang tersebar di Indonesia mencatat bahwa karya-karya Nawawi memang mendominasi kurikulum pesantren.
Sampai saat ia melakukan penelitian pada tahun 1990 diperkirakan pada 22 judul tulisan Syekh Nawawi yang masih dipelajari di sana.
Dari 100 karya populer yang dijadikan contoh penelitiannya yang banyak dikaji di pesantren-pesantren terdapat 11 judul populer di antaranya adalah karya Syekh Nawawi.
Penyebaran karyanya di sejumlah pesantren yang tersebar di seluruh wilayah nusantara ini memperkokoh pengaruh ajaran Syekh Nawawi.
Penelitian Zamakhsyari Dhofir mencatat pesantren di Indonesia dapat dikatakan memiliki rangkaian geneologi yang sama.
Polarisasi pemikiran modernis dan tradisionalis yang berkembang di Haramain seiring dengan munculnya gerakan pembaharuan Afghani dan Abduh, turut mempererat soliditas ulama tradisional di Indonesia yang sebagian besar adalah sarjana-sarjana tamatan Mekkah dan Madinah.
Bila ditarik simpul pengikat di sejumlah pesantren yang ada, maka ada enam tokoh ternama yang sangat menentukan warna jaringan intelektual pesantren.
Mereka adalah Syekh Ahmad Khatib Syambas, Syekh Nawawi Banten., Kiai Mahfuz Termas, Kiai Abdul Karim, Kiai Kholil Bangkalan Madura, dan Kiai Hasyim Asy’ari.
Doktor Teologi
Syekh Nawawi menjadi seorang Imam Besar Masjidil Haram dari Kerajaan Banten. Beliau digelari Sayyid Ulama al-Hijaz atau penghulu ulama di Mekkah dan Madinah karena kepakarannya tiada tara pada masanya.
Memiliki nama lengkap Abu Abd al-Mu’ti Muhammad bin Umar al- Tanara al-Bantani al-Jawi. Lahir di sebuah desa kecil di kecamatan Tirtayasa, Kabupaten Serang, atau sekarang di Kampung Pesisir, desa Pedaleman, Tarana Serang, Banten pada tahun 1230 H/1815 M.
Ayahnya seorang tokoh agama yang sangat disegani yakni Umar bin Arabi, ibunya bernama Zubaedah. Beliau masih punya hubungan nasab dengan Maulana Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati (Cirebon). Juga termasuk salah satu keturunan Sultan Hasanuddin, putera Sunan Gunung Jati atau keturunan ke-12 dari Sultan Banten.
Sejak kecil, Syekh Nawawi telah diarahkan ayahnya, Kiai Umar menjadi seorang ulama. Setelah mendidik putranya, Kiai Umar yang sehari-harinya menjadi penghulu Kecamatan Tanara menyerahkan Nawawi kepada Kiai Sahal, ulama terkenal di Banten. Usai dari Banten, Nawawi melanjutkan pendidikannya kepada ulama besar Purwakarta Kiai Yusuf.
Sejak usia 15 tahun, beliau telah dikirim ayahnya untuk belajar kepada Syekh Ahmad Khatib Sambas di Mekkah. Maklum, pada saat itu Indonesia–yang namanya masih Hindia Belanda- dijajah oleh Belanda, yang membatasi kegiatan pendidikan di Nusantara.
Syekh Nawawi begitu disukai oleh gurunya karena kecerdasan yang dimiliki. Bahkan ketika Syekh Ahmad Khatib Sambas uzur, beliau diangkat dan ditunjuk menggantikan posisi sang guru menjadi Syekh dan pengajar majelis di Masjidil Haram.
Beberapa tahun kemudian, beliau kembali ke Indonesia untuk menyalurkan ilmunya kepada masyarakat. Tak lama mengajar, hanya tiga tahun, kondisi Nusantara masih sama, di bawah penjajahan oleh Belanda, membuat Syekh Nawawi tidak bebas menyebarkan dakwah. Beliau pun kembali ke Mekkah dan mengamalkan ilmunya di sana, terutama kepada orang Indonesia yang belajar di sana.
Syekh Nawawi Al-Bantani boleh dikata merupakan satu dari tiga ulama Indonesia yang mengajar di Masjid Al-Haram pada abad ke-19 dan awal abad ke-20. Dua ulama lain adalah muridnya, Ahmad Khatib Minangkabau dan Syekh Mahfudz Termas.
Ini menunjukkan bahwa keilmuan Syekh Nawawi sangat diakui tidak hanya di Indonesia, melainkan juga semenanjung Arab. Syekh Nawawi sendiri menjadi pengajar di Masjid al-Haram sampai akhir hayatnya yaitu sampai 1898, lalu dilanjutkan oleh kedua muridnya tersebut.
Syekh Nawawi mendapat gelar Sayyidu Ulama’ al-Hijaz yang berarti sesepuh ulama Hijaz atau guru dari ulama Hijaz atau akar dari ulama Hijaz wilayah Saudi sekarang, yang di dalamnya termasuk Mekkah dan Madinah.
Yang menarik dari gelar di atas adalah beliau juga mendapat gelar Sayyidu ‘Ulama al-Indonesi sehingga bermakna bahwa kealiman beliau tidak hanya diakui di semenanjung Arabia, tapi diakui di tanah airnya sendiri.
Selain itu, beliau juga mendapat gelar al-imam wa al-fahm al-mudaqqiq yang berarti tokoh dan pakar dengan pemahaman yang sangat mendalam. Snouck Hourgronje seorang orientalis yang pernah mengunjungi Kota Mekkah pada 1884-1885 memberinya gelar “Doktor Teologi”.
Snouck mengatakan setiap hari Syekh Nawawi sejak pukul 07.30 hingga 12.00 memberikan tiga perkuliahan sesuai dengan kebutuhan jumlah muridnya.
Dalam bidang syari’at Islamiyah, Syekh Nawawi mendasarkan pandangannya pada dua sumber inti Islam, Alquran dan Al-Hadis, selain juga ijma’ dan qiyas.
Empat pijakan ini seperti yang dipakai pendiri Mazhab Syafi’iyyah, yakni Imam Syafi’i. Mengenai ijtihad dan taklid (mengikuti salah satu ajaran), Syekh Nawawi berpendapat, bahwa yang termasuk mujtahid (ahli ijtihad) mutlak adalah Imam Syafi’i, Hanafi, Hanbali, dan Maliki.
Bagi keempat ulama itu, katanya, haram bertaklid, sementara selain mereka wajib bertaklid kepada salah satu keempat imam mazhab tersebut.
Pandangannya ini mungkin agak berbeda dengan kebanyakan ulama yang menilai pintu ijtihad tetaplah terbuka lebar sepanjang masa. Barangkali, bila dalam soal mazhab fikih, memang keempat ulama itulah yang patut diikuti umat Islam kini.
Karya-karya besar Syekh Nawawi yang pemikiran pembaharuannya berangkat dari Mesir, sesungguhnya terbagi dalam tujuh kategorisasi bidang; yakni bidang tafsir, tauhid, fiqh, tasawuf, sejarah nabi, bahasa dan retorika. Hampir semua bidang ditulis dalam beberapa kitab kecuali bidang tafsir yang ditulisnya hanya satu kitab.
Dari banyaknya karya yang ditulisnya ini dapat jadikan bukti bahwa memang Syekh Nawawi adalah seorang penulis produktif multidisiplin. Beliau banyak mengetahui semua bidang keilmuan Islam.
Luasnya wawasan pengetahuan Syekh Nawawi yang tersebar membuat kesulitan bagi pengamat untuk menjelajah seluruh pemikirannya secara komprehensif-utuh. Dalam beberapa tulisannya seringkali Nawawi mengaku dirinya sebagai penganut teologi Asy’ari (al-Asyari al-I’tiqodiy).
Sejalan dengan prinsip pola fikir yang dibangunnya, dalam bidang teologi Syekh Nawawi mengikuti aliran teologi Imam Abu Hasan al-Asyari dan Imam Abu Manshur al-Maturidi.
Sebagai penganut Asyariyah Syekh Nawawi banyak memperkenalkan konsep sifat-sifat Allah. Seorang muslim harus mempercayai bahwa Allah memiliki sifat yang dapat diketahui dari perbuatannya (His Act), karena sifat Allah adalah perbuatanNya.
Beliau membagi sifat Allah dalam tiga bagian: wajib, mustahil dan mumkin. Sifat Wajib adalah sifat yang pasti melekat pada Allah dan mustahil tidak adanya, dan mustahil adalah sifat yang pasti tidak melekat pada Allah dan wajib tidak adanya.
Meskipun Syekh Nawawi bukan orang pertama yang membahas konsep sifatiyah Allah, namun dalam konteks Indonesia Syekh Nawawi dinilai orang yang berhasil memperkenalkan teologi Asyari sebagai sistem teologi yang kuat di negeri ini.
Sayangnya sebagian sejarawan modern terlanjur menuding teologi Asyariyah sebagai sistem teologi yang tidak dapat menggugah perlawanan kolonialisme. Padahal fenomena kolonialisme pada waktu itu telah melanda seluruh daerah Islam dan tidak ada satu kekuatan teologi pun yang dapat melawannya, bahkan daerah yang bukan Asyariyah pun turut terkena.
Dalam konteks Islam Jawa, teologi Asyariyah dalam kadar tertentu sebenarnya telah dapat menumbuhkan sikap merdekanya dari kekuatan lain setelah tawakkal kepada Allah. Melalui konsep penyerahan diri kepada Allah, umat Islam disadarkan bahwa tidak ada kekuatan lain kecuali Allah. Kekuatan Allah dengan mudah mengalahkan kekuatan kolonialis.
Di sinilah letak peranan Syekh Nawawi dalam pensosialisasian teologi Asyariyahnya yang terbukti dapat menggugah para muridnya di Mekkah berkumpul dalam “koloni Jawa”.
Dalam beberapa kesempatan Syekh Nawawi sering memprovokasi bahwa bekerja sama dengan kolonial Belanda (non muslim) haram hukumnya. Dan seringkali kumpulan semacam ini selalu dicurigai oleh kolonial Belanda karena memiliki potensi melakukan perlawanan pada mereka.
Sementara di bidang fikih tidak berlebihan jika Syeikh Nawawi dikatakan sebagai “obor” mazhab imam Syafi’i untuk konteks Indonesia. Melalui karya-karya fikihnya seperti Syarh Safinat an-Naja, Syarh Sullam at-Taufiq, Nihayat az-Zain fi Irsyad al-Mubtadi’in dan Tasyrih ala Fathul Qarib, Syekh Nawawi berhasil memperkenalkan madzhab Syafi’i secara sempurna.
Dalam bidang tasawuf, intelektual Syekh Nawawi mencerminkan disiplin ilmu-ilmu agama. Dalam bidang ini beliau memiliki konsep yang identik dengan tasawuf ortodok.
Dari tulisannya bidang tasawuf Syekh Nawawi menunjukkan seorang sufi brilian. Brockleman, seorang penulis dari Belanda mencatat ada 3 karya Nawawi yang dapat merepresentasikan pandangan tasawufnya, yaitu Misbah al-Zulam, Qami’ al-Thugyan dan Salalim al Fudala.
Di sana Syekh Nawawi banyak sekali merujuk kitab Ihya ‘Ulumuddin al-Ghazali. Bahkan kitab ini merupakan rujukan penting bagi setiap tarekat.
Ciri yang menonjol dari sikap kesufian Syekh Nawawi adalah sikap moderatnya. Sikap moderat ini terlihat ketika ia diminta fatwanya oleh Sayyid Ustman bin Yahya, orang Arab yang menentang praktek tarekat di Indonesia, tentang tasawuf dan praktek tarekat yang disebutnya dengan “sistem yang durhaka”. Permintaan Sayyid Ustman ini bertujuan untuk mencari sokongan dari Syekh Nawawi dalam mengecam praktek tarekat yang dinilai oleh pemerintah Belanda sebagai penggerak pemberontakan Banten 1888.
Namun secara hati-hati Syekh Nawawi menjawab dengan bahasa manis tanpa menyinggung perasaan Sayyid Ustman. Sebab Syekh Nawawi tahu bahwa di satu sisi ia memahami kecenderungan masyarakat Jawi yang senang akan dunia spiritual, di sisi lain ia tidak mau terlibat langsung dalam persoalan politik.
Wajar saja jika pesantren menjadi wahana penyebaran ide penafsiran Syekh Nawawi. Selain menjadi benteng penyebaran ajaran tasawuf dan tempat pengajaran kitab kuning, juga merupakan wahana sintesis dari dua pergulatan antara tarekat heterodoks versus tarekat ortodoks. Sementara ada pergulatan antara gerakan fiqh versus gerakan tasawuf di sisi lain.
Bagaimana pun itu, karya-karya Syekh Nawawi di bidang tasawuf cukup mempunyai konstribusi dalam melerai dua arus tasawuf dan fikih. Dalam hal ini Syekh Nawawi diibaratkan al-Ghazali, yang telah mendamaikan dua kecenderungan ekstrim antara tasawuf yang menitik beratkan emosi dan fikih yang cenderung rasionalistik.
Umat Islam terutama Indonesia patut bersyukur pernah memiliki ulama dan guru besar keagamaan seperti Syekh Nawawi Al-Bantani. Saat wafat, beliau dimakamkan berdekatan dengan makam istri Nabi Muhammad, Khadijah ra di Ma’la.
Banyak sumber menyatakan Syekh Nawawi wafat di Makkah dan dimakamkan di Ma’la pada 1314 H/1897 M, namun menurut Al-A’lam dan Mu’jam Mu’allim, dua kitab yang membahas tokoh dan guru yang berpengaruh di dunia Islam, beliau wafat pada 1316 H/1898 M.
Walaupun jasadnya sudah terkubur tanah liat, namun besar Syekh Nawawi akan selalu abadi dan kedudukannya selalu mulia. Hal itu disebabkan dua hal yaitu ilmu dan karya-karyanya yang monumental dan tak lekang dimakan jaman.@dbs/nov
Bob Marley, saat berada dalam acara Reggae Sunsplash festival di Montego Bay, Jamaika, 1979. Keluarga Bob Marley meluncurkan 'Marley Natural' yang digunakan dalam produk-produk lotion ganja, krim, dan sejumlah aksesoris. Denis O'Regan/Getty Images
abad.id-Lagu No Woman, No Cry: My Life With Bob Marley, Bob Marley mendedikasikan untuk Vincent Ford atau kerap dipanggil Tata. Ini cara Marley menghormati sahabat karena sudah berkontribusi banyak terhadap kehidupan Marley. Sejak No Woman, No Cry dirilis, langsung berhasil mendapatkan sertifikasi platinum di Inggris. Serta tercatat mendapatkan Brit Certified Silver Award karena menjual lebih dari 600.000 unit di Inggris Raya saja. Meman bukan hal baru bagi Marley, tetapi penghargaan ini menjadi sesuatu sangat dibanggkan dalam dunia musik.
Lagu yang hit dirilis pada 1974 di album Natty Dread tersebut versi single live yang direkam di Lyceum di London pada 1975 berjudul No Woman, No Cry. Makna lagu ini berhubungan dengan menjaga seseorang tetap tegak meskipun sedang masa sulit. Namun beberapa versi berasumsi liriknya memiliki arti laki-laki sedang menjauhkan perempuan dari hidupnya, untuk tidak menangis. Padahal bagi Bob, Lagu ini dimaksudkan sebagai penyemangat dan pengingat akan hal-hal yang layak untuk menjalani hidup dengan penuh semangat.
Saat menciptakan lagu No Woman, No Cry, Bob Marley terinspirasi dari kehidupannya. Ia mengambil pengalaman pribadinya dan mengubahnya menjadi pesan yang positif. Kala itu, Marley mengingat bahwa dirinya sedang duduk di halaman pemerintah di Trenchtown Jamaika, sambil mengawasi orang yang tidak jujur. Ia pun menyadari bahwa banyak teman tersayangnya perlahan telah pergi meninggalkannya. Marley berharap mereka selalu diingat. Sebab sudah banyak kenangan manis daripada harus menangis. Hidup harus selalu bergerak dan berharap agar seorang perempuan tidak selalu menangis di masa sulitnya.
Bob Marley seorang pelopor musik reggae yang lahir pada 6 Februari 1945 di Nine Mile, Jamaika. Nama asli Robert Nesta Marley, berhasil memadukan musiknya dengan reggae, ska, rocksteady, serta gaya vokal yang khas dan lirik lagu membawa pesan perdamaian. Sebenarnya tidak hanya lagu No Woman, No Cry yang memiliki lirik kuat dan semangat untuk perubahan dengan cara Marley.
Bob Marley banyak menghabiskan waktunya di Jamaika dan Amerika Serikat. Sepanjang karir bermmusik, tidak hanya lagu No Woman, No Cry saja yang menggambarkan gagasan hidup Marley. Pada lagu Exsodus misalnya, Marley menggagas sebuah kebersamaan, gerakan Afrika atau gerakan kulit hitam. Exsodus yang dimaksud Marley berasal dari tanah Bablonia yang disebut pindah menuju Rumah. Marley sangat ingin semua bangsa kulit hitam bersatu. Saling berpegangan tangan dan saling membantu. Bagi Marley, bangsa kulit putih telah melakukan kebohongan tentang sejarah kulit hitam. Padahal yang benar Raja Sulaiman dan Raja Daud merupakan sumber insipirasi orang afrika merupakan pria berkulit hitam. Marley yakin dengan bersepakat bersatu, peradaban dunia itu bisa dimulai dari orang kulit hitam.
Dalam catatan Berotak Bukan Tanpa Sebab yang disusun Ade Maruf, ada kesan Marley sangat jengkel dengan Paus di Vatikan yang menyebarkan berita salah tentang Kristus. “Jika hidup di era sekarang, kemungkinan Kristus itu seorang Rastafari,” kata Marley.
"Mereka ingin maju. Maksudku, kami mencintai Jamaika. Namun ada tanah lain yang haus dibantu yaitu Afrika". Foto dok net
Sangat banyak orang berfikir dan meyakini bahwa Kristus, Sulaiman, Musa dan Haile Selassie itu berkulit hitam. Munculnya sosok Kristus berkulit putih yang disebarkan oleh gereja Vatikan merupakan kesalahan besar. Sebab agama tersebut lahir dari Afrika, maka jika ada orang berfikir bahwa Kristus berkulit putih maka itu berbahaya dan hanya membuang-buang waktu. “Paus tiba di kota ini dan mengatakan, hiduplah dalam damai, hiduplah dengana begini-begitu, hiduplah dalam ketiaknya. Kau harus setuju untuk hidup dalam damai sepanjang Paus ada di sana. Tidak ada paus buatku. Tanpa Paus, kita sudah hidup dalam damai,” kata Marley.
Penampilan Marley terlihat berbeda jika dibandingkan superstar lain di Amerika. Memakai celana jeans denim, berambut dreadlock berhasil membangun komunitas baru Rasta. Komunitas ini sangat menginspirasi warga dunia dan kelompok kulit putih di eropa. Berbeda dengan komunitas Hipies yang terbangun tahun 60an karena persoalan politik dan aksi penolakan perang vietnam, komunitas Rasta ini muncul karena memiliki solidaritas yang sama. Yaitu menolak kemapanan yang dibangun dari kebohongan dan konspirasi.
Metode perlawanan Rasta disimbulkan Marley saat asyik melinting ganja. Padahal bagi orang Jamaika, ganja ini sudah menjadi komuditi lumrah yang mudah dikonsumsi. Marley mengaku pertama kali terlibat penggunaan ganja ketika usia remaja. Mariyuana terbaik yang pernah dihisap ketika mengadakan pertunjukan di Jamaika. “Sekarang aku merasa itulah yang terbaik yang pernah aku hisap. Aku tidak pernah mendapatkan yang seperti itu lagi, itu seperti satu satunya pohon yang ada di bumi,” kata Marley.
Marley menganggap ganja sebagai pengobat untuk suatu bangsa. Sekali menghisap ganja, pasti akan menyukainya. Setelah sama-sama menyukainya berarti telah berada di jalur yang sama. Artinya telah bersatu. Berbeda dengan alkohol yang membunuh, maka ganja justru membangkitkan. Ya, ganja membuatmu hidup. Banyak terbukti orang-orang menghisap ganja umumnya paling panjang umur. “Jika ganja adalah pengobatan untuk sebuah bangsa dan orang-orang harus menghisapnya, maka biarkanlah,” kata Marley. (pul)
abad.id- Nahdlatul Ulama berdiri pada 31 Januari 1926 di Surabaya. Para ulama pesantren Ahlussunnah wal Jamaah mendirikan Jamiyah NU di kediamaan KH Abdul Wahab Hasbullah di Kertopaten. Menyusul berakhirnya tugas Komite Hijaz pimpinan KH Abdul Wahab Hasbullah kepada raja Ibn Saud di Araab Saudi.
KH Abdul Wahab Hasbullah juga pernah mendirikan organisasi pergerakan Nahdlatul Waton atau Kebangkitan Tanah Air pada tahun 1916. Kemudian KH Abdul Wahab Hasbullah juga mendirikan Nahlatul Tujjar ( kebangkitan Saudagar) pada tahun 1918. Jauh sebelum organisasi itu lahir, sudah ada kelompok diskusi Rashwirul Afkar (Kawah Pemikiran) atau sering juga disebut Nahdlatul Fikr (kebangkitan Pemikir).
Untuk kelahiran Nahdlatul Ulama NU tak lepas dari isyaroh (petunjuk) tongkat dan tasbih dari Syaikhona Muhammad Kholil bin Abdul Lathif al-Bankalany. Kedua petunjuk ini dibawa KHR Asad Syamsul Arifin (almaghfurlah). Isyaroh tongkat dan tasbih ini untuk menguatkan Hadratussyaikh Muhammad Hasyim Asyari untuk mendirikan organisasi yang bermagna Kebangkitan Ulama.
Kisahnya bermula pada tahun 1924, Kyai Hasyim Asyari diminta petunjuknya oleh kelompok diskusi Taswirul Afkar untuk mendirikan sebuah organisasi atau jamiah. Sebelum memutuskannya, pendiri Pondok Pesantren Tebu Ireng Jombang itu meminta waktu untuk mengerjakan Sholat Istikharah terlebih dahulu. Namun setelah sekial lama petunjuk tersebut belum juga datang, sehingga Kyai Hasyim Asyari menjadi gelisah.
Dalam hatinya kiyai Hasyim ingin berjumpa dengan gurunya Syakhona Kholil di Bangkalan. Namun Syakhona Kholil terlebih dahulu sudah mengetahui kegelisahan Kyai Hasyim Asyari, sehingga mengutus salah satu santrinya Asad Syamsul Arifin.
Awalnya Asad Syamsuk Arifin diberikan amanah Syakhona Kholil untuk menyampaikan sebuah tongkat kepada Kyai Hasyim Ashari di Tebuireng. Saat sampai di Tebuireng, Asad dipesan agar membacakan alquran surat Thaha ayat 17-23 kepada Kyai Hasyim. Saat Kyai Hasyim menerima kedatangan Asad dan mendengarkan ayat tersebut, hatinya langsung bergetar. Keinginan untuk membentuk sebuah jamiyah akan tercapai. Demikian Kyai Hasyim bergumam dalam hati sambil meneteskan air mata.
Namun kunjungan pertama Asad tersebut belum membuat Kyai Hasyim bergerak segera mendirikan jamiyah. Sehingga satu tahun kemudian Syakhona Kholil dari Bangkalan mengutus Asad kembali. Kali ini diamanahi sebuah tasbih untuk disampaikan ke Kyai Hasyim Asyari.
Saat membawa tasbih tersebut, Syakhona Kholil berpesan kepada Asad untuk mengamalkan sebuah wirid Ya Jabbar, Ya Qohhar selama perjalanan dari Bangkalan menuju Tebuireng Jombang. Di hadapan Kyai Hasyim Asyari, pemuda Asyad langsung menyampaikan tasbih dari Syakhona Kholil.
Kehadiran Asad kedua kalinya ke Tebuireng ini membuat Kyai Hasyim Asyari semakin mantap untuk mendirikan NU, lantaran menangkap isyarat bahwa Syakhona Kholil sebagai gurunya tidak keberatan. Maka tepat 16 Rajab 1344 Hijriah atau 31 Januari 1926, organisasi NU resmi didirikan dan Kyai Hasyim Asyari dipercaya menjadi Rais Akbar. Untuk kegiatan organisasi awalnya di rumah KH Ridwan Abdullah jalan Bubutan VI nomor 20 yang kini menjadi kantor PCNU Surabaya. Kemudian beberapa kali rapat-rapat strategis mulai 1926-1930 menggunakan gedung Onderlingblang beralamat di Jalan Penghela nomor 2 Surabaya yang sebelumnya bangunan percetakan.
Syakhona Kholil Inspirator Berdirinya NU
Syakhona Muhammad Kholil bin Abdul Lathif al Bankalany merupakan tokoh inspirator berdirinya Nahdlatul Ulama. Guru para ulama ini dikenal luas ilmunya, baik fikih, ushul, tasawuf dan bidang ilmu keislaman lainnya. Syakhona Kholil selalu bersanad pada ulama-ulama penganjur Islam ala Ahlussunnah Waljamaah.
Syakhona Kholil lahir di kampung Seneran Desa Kemayoran bangkalan Madura pada 27 Januari 1820. Sejumlah nama pernah menjadi guru Syakhona Kholil, misalnya KH Abdul Lathif (ayah dari KH Muhammad Nur di PP Langitan Tuban), KH Nur Hasan di PP Sidogiri Pasuruan, Syaikh Nawawi al-Bantani di Mekkah.
Syakhona Kholil dikenal memiliki metode khusus dalam menggembleng para santrinya. Syakhona Kholil tidak hanya mengajar biasa-biasa saja seperti membaca kitab kuning, namun juga mendengarkan dan menulis pelajaran. Kemudian mempelajari dan menghafalnya.
Sebagai Kyai dan seorang pemimpin, Syakhona Kholil juga memikirkan rakyat. Ulama pesantren ini tidak hanya seorang pemimpin dan intelektual di pesantren saja, namun juga terjun langsung ke masyarakat. Dari sini Syakhona Kholil mengetahui apa saja kesulitan rakyat, sehingga kehadirannya bisa menjadi pengayom dan pelindung. Syakhona Kholil meninggal dunia pada 14 Mei 1923 di Bangalan Madura.
NU dan Kyai Hasyim Asyari
Perkembangan NU tidak lepas dengan pemikiran Hadratussyaikh Muhammad Hasyim Asyari dalam paham keagamaan. Terlihat dalam pembelaan terhadap cara beragama dengan sistim bermazhab. Inilah pandangan yang erat kaaitannya dengan sikap beragama mayoritas kaum Muslimin, islam ala Ahlussunnah Waljamaah. Pemikiran tentang bermazhab ini tertuang dalama karyanya Qanun Asasy LilJamiyyati Nahdlatul Ulama yang kemudian menjadi pijakan organisasi NU.
Menurut catatan Riadi Ngasiran dalam Media 1 Abad Nahdlatul Ulama, pandangan Hasyim Asyari soal mermazhab timbul sebagai upaya untuk memahami Al Quran dan Al Sunnah secara benar. Sebab dalam sejarahnya sebagai upaya pemahaman terhadap dua sumber utama ajaran islam itu sering terjadi perselisihan pendapat. Hal ini menyebabkan banyak lahir pemikiran besar (mujtahid). Namun karena pemikiran mereka tidak gampang dirumuskan secara sederhana, Hasyim Asyari menyimpulkan bahwa untuk pemahaman keagamaan dan fiqih (Syafii, Maliki, Hambali dan Hanafi) yang menjadi ciri utama paham Ahlusunnah Waljamaah An Nahdliyah.
Dalam pertemuan para ulama di pesantren Surabaya pada 31 januari 1926 itu, Kyai Mas Alwi bin Abdul Aziz turut hadir mengusulkan sebuah nama yang mempresentasikan utusan para ulama yang dikirim ke Hijaz dengan nama “ Nahdlatul Ulama”. Sebelum nama NU ini disepakati, Hasyim Asyari bertanya ke Kyai Mas Alwi apa alasan mengusulkan nama tersebut.
“ Karena tidak semua ulama memiliki jiwa Nahdlah (bangkit), banyak Kyai yang sekedar diam di pondoknya saja, dan yang ada di organisasi ini adalah ulama yang memiliki jiwa Nahdlah, ” kata Kyai Mas Alwi.
Mendengar argumen tersebuy, Hasyim Asyari dan para kyai yang hadir bisa memahami. Beberapa ulama yang hadir saat awal pendirian KH Hasyim Asyari dari Tebuireng, KH Ahmad Dahlan Ahyad dari Surabaya, KH Wahab Hasbullah (saat itu tinggal di kertopaten Surabaya, kemudian pindah ke Tambakberas Jombang), Kh Bisri Syamsuri Denanyar Jombang, KH Ridwan Abdullah Bubutan Surabaya, KH Nawawie Sidogiri Pasuruan, Kh Abdul Halim Leuwemunding Cirebon, KH Khalil Masyhuri bin Abdurrasyid Lasem Rembang, Syekh Ghanaim al Mishri Mesir, KH Nahrawi Thahir Malang, KH Ndoro Muntaha (Menantu Syaikhona Kholil) Bangkalan Madura, KH Muhammad Zubair Sedayu Gresik, KH Muhammad Fakih Maskumambang Dukun Gresik, KH Mas Alwi bin Andul Aziz Surabaya, KH Abdullah Ubaid Surabaya, KH Muhammad Maruf Kedunglo Kediri, KH Ridwan Mujahid Semarang, KH Raden Hambali Kudus, serta H Hasan Gipo.
Dalam perkembangannya corak NU sangat dipengaruhi Hasyim Asyari. Saat pidato iftitah yang disampaikan kepada warga NU tentang faham Ahlussunnah Wal Jamaah yang menganut satu dari empat Mazhab yang dijadikan asas NU. Organisasi NU yang menegakan nilai nilai toleransi (tasamuh), moderat (tawasuth) keseimbangan (tawazun) dan Adil (taadul) serta amar maruf nahi munkar. (pul)